JAKARTA, KOMPAS --Tekanan volatilitas ekonomi global terhadap perekonomian nasional diperkirakan mengendur pada 2019, kendati risiko negatif tetap ada. Situasi ini mesti dimanfaatkan Indonesia untuk memperbaiki komponen neraca pembayaran yang masih defisit.
Dalam neraca pembayaran Indonesia triwulan III-2018, transaksi berjalan defisit 8,846 miliar dollar AS atau 3,37 persen produk domestik bruto (PDB). Adapun transaksi finansial surplus 4,164 miliar dollar AS.
Kepala Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Anton Gunawan mengatakan, normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat pada 2019 tidak akan seagresif pada 2018. Bank sentral AS, The Fed, diperkirakan mematok suku bunga acuan pada kisaran 2,5 persen. Oleh karena itu, tekanan yang selama setahun terakhir bersumber dari volatilitas perekonomian global sedikit mengendur.
Risiko negatif justru bersumber dari dampak lanjutan perang dagang AS-China yang dipicu penangkapan Direktur Keuangan Huawei Technologies Meng Wanzhou. Sejumlah pihak menilai, perang dagang hanya menjadi celah masuk AS untuk menghambat China dalam mengembangkan jaringan telekomunikasi global.
Ketegangan antara dua kekuatan ekonomi dunia ini bisa menimbulkan efek domino, mulai dari penurunan volume perdagangan global, harga komoditas yang merosot, arus modal keluar, hingga kebijakan moneter yang semakin ketat. Rentetan situasi ini bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi global, yang semula diproyeksikan 3,9 persen, menjadi sekitar 3,5 persen.
“Risiko ketidakpastian masih tinggi, tetapi dampaknya akan sedikit berbeda. Setidaknya, Indonesia akan sangat terkena fluktuasi harga komoditas,” kata Anton dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (12/12/2018).
Meski demikan, risiko ketidakpastian global dapat diimbangi dengan pencapaian indikator makroekonomi yang diproyeksikan bisa diatas ekspektasi.
Tim ekonom Bank Mandiri memperkirakan, pertumbuhan ekonomi 2019 mencapai 5,2 persen dan inflasi sedikit naik pada kisaran 4 persen.
Anton berpendapat, kebijakan pemerintah yang selama ini cukup responsif terhadap gejolak ekonomi global mesti diimbangi dengan perbaikan neraca pembayaran. Salah satu hal yang menjadi sorotan adalah defisit transaksi berjalan akibat impor bahan baku yang tinggi. Hilirisasi industri dan keterlibatan Indonesia dalam rantai nilai global mesti segera direalisasikan.
“Orientasi kebijakan bukan hanya substitusi impor, tetapi mendorong indusri untuk ekspor. Arah bagaimana (kebijakan) mesti jelas,” ujar Anton.
Selain itu, sektor jasa, terutama dari logistik dan perjalanan, harus dioptimalkan untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan. Penjualan jasa di bidang logistik mesti diperbanyak untuk mengakomodasi kebutuhan industri yang cukup besar. Jasa perjalanan di bidang pariwisata sedang digenjot pemerintah sehingga diharapkan bisa dengan cepat menambah cadangan devisa dan ekspor.
Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menambahkan, perbaikan fundamen ekonomi Indonesia tidak terlepas dari kualitas sumber daya manusia. Upaya mengundang investasi asing untuk masuk ke dalam negeri harus diimbangi ketersediaan tenaga kerja yang ahli di bidang tertentu. Oleh karena itu, investasi di bidang pendidikan, terutama vokasi, sangat penting.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam berbagai kesempatan mengatakan, APBN 2019 difokuskan untuk meningkatkan daya saing bangsa melalui peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Khusus bidang pendidikan, pemerintah mengalokasikan 20 persen dari APBN 2019, yakni sebesar Rp 492,5 triliun. Anggaran pendidikan juga meningkat, yakni dari Rp 406,1 triliun pada 2017 menjadi Rp 432 triliun pada 2018.
Anggaran pendidikan disalurkan melalui belanja pemerintah pusat Rp 163,1 triliun, transfer ke daerah Rp 308,4 triliun, serta pembiayaan investasi dana pengembangan pendidikan nasional (DPPN) Rp 20 triliun dan dana abadi penelitian Rp 990 miliar.
Belanja masyarakat
Indonesia diprediksi akan tumbuh konstruktif di sisi makro ekonomi pada 2019. Salah satu penyangganya ialah konsumsi dan belanja masyarakat yang pulih.
Equity Strategist and Head of ASEAN Equity Research Morgan Stanley Asia (Singapore) PTE, Sean Gardner, optimistis PDB Indonesia akan tumbuh 5,3 persen pada 2019. Konsumsi dan belanja masyarakat menjadi salah satu aspek yang menyokong optimisme pertumbuhan itu.
"Rupiah juga akan terapresiasi 5 persen," ujarnya dalam diskusi di Jakarta, Rabu.
Sean menuturkan, sentimen terhadap belanja masyarakat pada 2017 cukup anjlok karena belanja pada periode Ramadhan-Lebaran tidak menggembirakan.
Chief Economist and Investment Strategist Manulife Asset Management Katarina Setiawan menambahkan, pemulihan belanja dan konsumsi masyarakat tersebut tidak terlepas dari langkah pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat. (KRN/JUD)