Berinvestasi pada Pendidikan Berkualitas
Pengembangan sumber daya manusia merupakan kunci untuk memanfaatkan bonus demografi. Dengan modal sumber daya manusia berkualitas, bangsa ini dapat menghasilkan tenaga kerja maupun wirausaha berproduktivitas tinggi untuk menggapai Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi.
Namun, pengembangan SDM yang akan menjadi fokus utama dalam pembangunan mulai tahun 2019, masih menghadapi banyak tantangan. Setidaknya ada tiga aspek inti yang mendukung penguatan SDM Indonesia ke depan yakni pendidikan, kesehatan, dan inovasi/ilmu pengetahuan.
Kontribusi pendidikan penting karena investasinya akan memberikan imbal balik yang menguntungkan bagi masa depan bangsa. Bukan saja dari sisi peningkatan ekonomi dengan mendorong mobilitas peserta didik untuk mencapai pekerjaan yang lebih baik. Lebih dari itu, pendidikan juga menjadi modal penting untuk membangun peradaban bangsa yang berbasis nilai-nilai budaya bangsa serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Modal ini akan membawa Indonesia menuju negara modern yang tetap memegang nilai-nilai budaya bangsa.
Pendidikan juga menjadi modal penting untuk membangun peradaban bangsa yang berbasis nilai-nilai budaya bangsa serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Namun, ketika mengedepankan pendidikan menjadi bagian vital dalam pengembangan SDM, ada satu kata kunci yang tidak bisa ditawar. Pendidikan berkualitas yang merata dan inklusif harus menjadi komitmen. Apalagi dengan komitmen Indonesia untuk ikut serta mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs 2030, pendidikan berkualitas dari pendidikan anak usia dini hingga pendidikan tinggi menjadi penting untuk mewujudkan masyarakat yang akan menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Membuka akses pendidikan bagi semua orang untuk menikmati pendidikan, baik formal maupun noformal, sangat penting. Namun, apalah artinya membuat banyak anak masuk ke dalam sistem persekolahan, jika tidak didukung dengan menyediakan pembelajaran yang bermakna, yang memampukan mereka untuk menguasai kecakapan dasar yang dibutuhkan dalam hidup. Tak kalah penting pula dukungan untuk membantu anak-anak ini memiliki karakter baik untuk menyiapkan mereka menjadi warga negara yang baik dan mampu beradaptasi dalam dunia kerja.
Investasi menguntungkan
Berinvestasi secara serius dalam sektor pendidikan tidaklah mubazir ketika syarakat kualitas juga diletakkan sebagai fondasi. Berinvestasi di pendidikan anak usia dini (PAUD), misalnya, berdasarkan kajian ekonom dari Universitas Chicago, James J Heckman, peraih Nobel tahun 2000, akan menghasilkan investasi yang menjanjikan bagi masa depan suatu bangsa.
Menurut Heckman, investasi satu dollar Amerika Serikat (AS) dalam PAUD berkualitas memperoleh imbalan 13 dollar AS atau 13 kali lipat. Selain itu, PAUD berkualitas meningkatkan kelulusan siswa perempuan SLTA 13 persen menjadi 25 persen. Juga meningkatkan penghasilan laki-laki dewasa antara 19.000 hingga 24.000 dollar AS.
Dari kajian di Indonesia, ketika negara berinvestasi pada pendidikan berkualitas, berdasarkan kajian lembaga riset Article 33, akan memberikan peluang bagi anak untuk memiliki masa depan lebih baik dengan adanya mobilitas ekonomi. Direktur Eksekutif Article 33 Indonesia Santoso pada Juli 2018 mengatakan, dari kajian data di Indonesia Family Life Survey dengan sampel sekitar 33.000 orang lulusan SD-SMA pada tahun 1999, lalu didata ketika sudah bekerja di tahun 2007 dan 2014, membuktikan anak-anak yang mendapatkan pendidikan berkualitas membuat anak di kelompok miskin bergeser signifikan menjadi di kelompok menengah dan kaya.
Ketika negara berinvestasi pada pendidikan berkualitas, berdasarkan kajian lembaga riset Article 33, akan memberikan peluang bagi anak untuk memiliki masa depan lebih baik dengan adanya mobilitas ekonomi.
Dampak pendidikan berkualitas pada mobilitas ekonomi, misalnya, terlihat pada mereka yang pada tahun 1993 masih bersekolah, pada 2007 bergeser menjadi kelompok miskin 31,85 persen, menengah 44,95 persen, dan kaya 24,2 persen. Khusus di kelompok miskin, pendidikan berkualitas membuat mereka yang ada di kelompok itu bergeser ke kelompok menengah dan kaya sekitar 56 persen.
Dari kajian Article 33, indikator penyediaan pendidikan berkualitas, minimal ada tiga hal penting yang harus dipenuhi. Pertama, memastikan sekolah dipimpin kepala sekolah yang berpendidikan SMA ke atas dan mendapatkan pelatihan manajemen. Kedua, guru yang berpendidikan SMA ke atas dan pelatihan serta guru muda. Ketiga, sarana dan prasarana, utamanya perpustakaan dengan buku-buku bacaan pendukung pelajaran. Terpenuhinya tiga hal penting tersebut berkaitan positif pada perubahan ekonomi siswa saat dewasa dari kelompok ekonomi miskin ke menengah dan kaya.
Namun, dari kajian Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam beberapa tahun terakhir, tiga hal penting dalam mendukung pendidikan berkualitas masih minim. Dari survei pada kepala sekolah dan guru, dukungan bagi guru dan tenaga kependidikan dari pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan profesionalisme hingga dukungan sarana dan prasarana di sekolah secara umum dirasakan kurang dan cukup.
Tidak heran, jika hasil AKSI pada siswa juga menunjukkan hasil belajar yang tidak menguasai kecakapan minimal yang seharusnya sudah dikuasai sesuai jenjang pendidikan, terutama untuk kemampuan membaca, matematika, dan sains. Hasil AKSI untuk siswa SD di bidang Matematika kurang (77,13 persen), Sains (73,61 persen), dan membaca (46,83 persen).
Jika mengacu pada capain ujian nasional (UN) yang masih jadi salah satu barometer mutupendidikan utama dari pemerintah, hasilnya juga masih di bawah standar. Hasil UN Tahun 2017 untuk SMP yang masuk dalam pendidikan dasar sembilan tahun, menggambarkan hasil belajar yang rendah. Dari skala 0-100, rata-rata nasional untuk IPA 50,72; Matematika 49,67; Bahasa Inggris 49,78; dan Bahasa Indonesia 61,59.
Capaian UN yang lebih rendah justru terjadi di jenjang SMA dan SMK. Untuk Matematika SMA baik jurusan IPS maupun IPA di kisaran 37-38, bahkan yang SMK sekitar 35.
Perkuat pendidikan dasar
Dari berbagai indikator mutu yang mulai dipetakan pemerintah, terlihat fondasi pendidikan dasar sembilan tahun belum memadai untuk melejitkan SDM Indonesia yang unggul. Meskipun tidak menapikkan cukup banyak siswa sekolah yang tampil sebagai juara di ajang olimpiade keilmuan di tingkat internasional, capaian prestasi ini dinilai belum sebagai kontribusi sistem pendidikan nasional. Ketidakmerataan pada akses dan kualitas pendidikan membuat pendidikan nasional belum mampu mendongkrak daya saing Indonesia di tingkat global hingga mutu SDM Indonesia di regional dan internasional.
Peringkat daya saing global Indonesia di tahun 2018 memang membaik menjadi peringkat 45 dari sebelumnya di urutan 47. Namun, indikator penting dalam mendongkrak daya saing yang terkait pendidikan yang masih lemah. Kapasitas inovasi rendah di urutan ke-68.
Indikator penting dalam mendongkrak daya saing yang terkait pendidikan yang masih lemah. Kapasitas inovasi rendah di urutan ke-68.
Kemampuan inovasi ini diyakini erat dengan penyediaan pendidikan berkualitas yang memampukan anak muda bangsa cakap menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dan memiliki karakter baik. Dengan penguasaan ilmu yang baik, budaya akademik terbangun baik untuk mendukung pengembangan riset yang mampu melahirkan inovasi unggul.
Modal manusia
Sementara itu, dari hasil Indeks SDM atau Human Capital Index 2018 yang dirilis Bank Dunia, daya saing SDM Indonesia masih rendah. Indonesia berada di urutan ke-87 dari 187 negara di angka 0,53 dari skala 1.
Indonesia masih tertinggal dari negara-negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Thailand. Termasuk pula Vietnam, yang dalam survei pendidian internasional PISA juga mampu melampaui Indonesia. Pengukuran indeks SDM meliputi survival, pendidikan, dan kesehatan. Untuk pendidikan, Bank Dunia menghitung rata-rata jumlah tahun sekolah warga di suatu negara saat berusia 18 tahun dan kualitas hasil belajar.
Angka harapan lama sekolah Indonesia meningkat karena dukungan anggaran untuk yang konsisten setiap tahunnya minimal 20 persen. Berdasarkan data di Indeks Pembangunan Manusia dari UNDP, Perserikatan Bangsa-bangsa, pada 2017 terdata 12,85 tahun. Artinya, peluang untuk membuat anak bangsa menikmati pendidikan tinggi akan semakin besar di kemudian hari.
Namun, berbagai kajian nasional dan internasional yang menempatkan capaian hasil belajar siswa Indonesia di pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang belum beranjak dari kategori di bawah rata-rata, harus jadi refleksi bangsa yang serius. Bangsa ini jangan terjebak menjadi negara yang masuk dalam jebakan negara berpendapatan ekonomi menengah atau middle income trap. Padahal, kajian internasional dengan optimis menunjukkan kondisi ekonomi Indonesia yang melesat, yakni di urutan ketujuh dunia pada 2030 dan di urutan keempat dunia pada 2050.
Oleh karena itu, klaim tentang suksesnya wajib belajar sembilan tahun, bahkan kini menuju wajib belajar 12 tahun, harus dibarengi dengan indikator mutu yang jelas dan substantif. Pasalnya, di tahun 2007, Pemerintah sudah mengklaim tuntasnya wajib belajar sembilan tahun (SD-SMP) dengan indikator angka partisipasi kasar (APK) anak usia 13-15 tahun yang sudah mencapai 92,52 persen. Namun, potret capaian mutu belajar siswa yang lulusan SMP saja masih di bawah standar, apalagi yang di pendidikan menengah.
Demikian pula penguatan pendidikan vokasi sebenarnya sudah lama digaungkan. Di masa Orde Baru ada istilah link and match pendidikan, utamanya pendidikan vokasi dan perguruan tinggi agar terhubung dengan dunia usaha/industri. Namun, hasilnya, saat tenaga kerja berpendidikan menengah dan tinggi masih minim, justru mereka juga menjadi penyumbang pengangguran terdidik dalam angakatan kerja saat ini.
Pendidikan vokasi di Indonesia, tingkat SMK dan politkenik, masih terus mencari bentuk yang ideal. Lewat komitmen revitaliasi pendidikan vokasi yang didukung Presiden Joko Widodo, penyiapan SDM yang terdidik dan terampil di jenjang pendidikan menengah dan tinggi diharapkan bisa menggantikan tenaga kerja saat ini yang sebagai besar masih berpendidikan SMP ke bawah.
Penguatan pendidikan dasar
Bank Dunia yang merilis laporan Growing Smarter-Learning & Equitable in East Asia & Pacific pada Maret 2018, mengatakan penguatan pendidikan dasar dan menengah menjadi kunci Indonesia untuk membawa SDM berkualitas melalui pendidikan. Hal inilah yang dilakukan Vietnam sehingga membuat negara ini melesat maju dalam kapaistas SDM yang berdampak pada kemajuan ekonomi Vietnam yang semakin kompetitif di regional dan global.
Ekonom Senior Bank Dunia Amer Hasan mengatakan angka lama sekolah di Indonesia memang baik, tetapi harus dilihat selama sekolah itu apakah para siswa mempelajari pengetahuan yang bermakna untuk menyiapkan mereka menguasai kecakapan abad 21. Ada dua hal penting yang perlu dibenahi yakni kesiapan siswa untuk belajar serta mutu guru.
Dengan demikian, mengedepankan pendidikan untuk membawa lompatan pada mutu SDM bangsa tidak semata hanya soal pendidikan. Ada dukungan soal tersedianya lingkungan yang aman, bersih, pelayanan kesehatan yang baik, pemenuhan gizi, dan keterlibatan orangtua mendidik anak. Pencapaian ini tak lepas dari pembangunan infrastruktur dan ketersediaan SDM.
Dari sisi guru, dibutuhkan komitmen penyeleksian calon guru secara ketat. Di samping itu, harus ada evaluasi dan pelatihan guru secara berkala yang bisa diakses oleh semua guru.
Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Subandi Sardjoko mengatakan pada sepuluh tahun lalu, bicara kinerja pendidikan memang ke akses. Upaya mengukur kualitas sudah ada, melalui guru. Namun, indikator yang ditetapkan pun baru meliputi jumlah guru yang S1 dan bersertifikat pendidikan. Kemudian disadari, indikator mutu ini tidak relevan meningkatkan mutu pendidikan.
Fokus pada mutu pendidian harus dimulai pada hal-hal substantif dan strategis. Pemihakan pada mutu pendidikan, salah satunya, dengan memasukkan capaian hasil belajar siswa. Acuannya untuk meningkatkan hasil belajar secara nasional dan internasional yang harus diintervensi agar merangkak naik secara tepat.
Pendidiri dan Peneliti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan Njelaa Shihab mengingatkan mutu pendidikan tidak cukup diukur dari pencapaian hasil akademik atau kognitif siswa semata. Pemerintah harus mulai mengakui indikator nonkognitif seperti pembentukan karakter juga sama pentingnya dengan pencapaian akademik.
Mutu pendidikan tidak cukup diukur dari pencapaian hasil akademik atau kognitif siswa semata.
“Dalam abad ke-21, justru penting membekali siswa dengan karakter dan keterampilan abad 21. Pembelajaran harus memampukan siswa untuk memiliki keterampilan berpikir kritis, kreatif, berkomunikasi, dan berkolaborasi. Jadi, mutu pendidikan pun harus bergerak ke sana. Untuk itu, butuh rencana aksi yang jelas dan indikator yang disepakati bersama,” kata Najelaa.
Pencapaian mutu pendidikan yang mampu membawa lompatan pada SDM Indonesia untuk menyiapkan lulusan dari dunia pendidikan yang profesional di dunia kerja maupun mandiri menjadi wirausaha, butuh dukungan untuk memastikan ekosistem pendidikan berjalan dengan baik. Sinergitas tri pusat pendidikan sudah pasti harus berjalan baik yakni adanya dukungan bersama sekolah, orang tua, dan masyarakat. Tak kalah penting, kebijakan pendidikan mengarah pada mutu.
Utamanya, desentralisasi pendidikan harus membuat pemerintah daerah bukan saja berkomitmen pada pendidikan. Kapasistas pemerintah daerah untuk menegakkan tata kelola pendidikan yang baik juga harus mengarah pada terwujudnya kualitas pendidikan dalam upaya memperkuat SDM di daerah masing-masing.