JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah diminta memperkuat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu yang masih memiliki sejumlah kelemahan. Transparansi dan peningkatan pengawasan serta penegakan hukum agar terus ditingkatkan agar sistem yang dibangun sejak belasan tahun lalu ini lebih kredibel.
Ini menjadi Kertas Posisi 2 Tahun Pelaksanaan Lisensi FLEGT yang disusun Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) yang berisi sejumlah kelompok masyarakat sipil Indonesia. Mereka merekomendasikan kepada Pemerintah Indonesia, Uni Eropa, lembaga sertifikasi, dan pelaku usaha di sektor kehutanan dan perdagangannya untuk meningkatkan transparansi, peningkatan pengawasan dan penegakan hukum, peninjauan ulang perizinan, peningkatan dan penguatan SVLK sebagai sebuah sistem. Selain itu, Uni Eropa sebagai importir kayu dari Indonesia juga memastikan penanganan kasus yang berkaitan dengan UU Perdagagangan Kayu Uni Eropa (EUTR) berjalan efektif.
M Kosar, Dinamisator JPIK, Kamis (13/12/2018), di Jakarta, mengatakan, pemantauan pada pemegang izin yang memiliki Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK), ditemukan sebagian besar tata batas konsesi tak jelas. Ini termasuk ketidakjelasan mekanisme pembuatan batas/rekonstruksi batas kawasan secara partisipatif dan penyelesaian konflik batas kawasan.
Persoalan ini membawa konsekuensi konflik dan permasalahan di tingkat masyarakat local dan masyarakat adat. Dengan demikian, JPIK merekomendasikan agar standar penilaian S-LK menempatkan aspek konflik dan proses perolehan izin menjadi indikator utama kelulusan penilaian.
Selain itu, jejaring JPIK menemukan pemegang izin yang sertifikatnya dibekukan atau dicabut serta kayu yang tak bersertifikat SVLK bisa masuk ke dalam Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) atau sistem ketelusuran bahan baku.
Hal ini memungkinkan terjadinya pencampuran bahan baku yang sumbernya tidak jelas. Karenanya, JPIK meminta agar data dan informasi penatausahaan kayu dan peredarannya dalam SIPUHH bisa diakses secara detail oleh pemantau independen dan masyarakat luas.
Dikonfirmasi hal ini, Eko Novianto dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengapresiasi masukan JPIK. Masukan-masukan ini memungkinkan untuk diakomodasi dalam peraturan menteri. “Selama ini juga permen terkait SVLK berubah karena mengikuti aturan yang berubah,” kata dia.
Pengawasan ditingkatkan
M Kosar pun mendorong agar pengawasan lembaga berwenang ditingkatkan. Ia memisalkan tempat penampungan terdaftar – kayu bulat (TPT-KB) dan tempat penampungan terdaftar – kayu olahan (TPT-KO) yang terindikasi menjadi tempat “pencucian” kayu. Maksudnya, TPT disalahgunakan untuk menstempel kayu-kayu liar menjadi legal.
Temuan ini pun diakui Komisaris Besar Irsan, Kepala Subdirektorat III Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri. Dia pernah menemukan TPT di Kalimantan Barat yang menggunakan modus tersebut. TPT dimanfaatkan untuk menjual dokumen bagi kayu-kayu yang tidak jelas sumber asal-usulnya menjadi legal.
“Sistem (SVLK) sudah bagus tapi mekanisme dan pengawasannya bagaimana itu harus ditingkatkan,” kata dia.