Karut-marut KTP Elektronik
Temuan harian Kompas terkait peredaran blangko kartu tanda penduduk elektronik di pasaran seakan menggenapi karut-marut pengelolaan administrasi kependudukan di Indonesia.
Proyek KTP elektronik sebelumnya menjadi bancakan sejumlah penyelenggara negara dan pengusaha. Ingatan publik terhadap KTP-el tak bisa lepas dari praktik korupsi yang mengakibatkan kerugian negara hingga Rp 2,3 triliun. Komisi Pemberantasan Korupsi pun masih terus menyidik perkara ini karena ada sejumlah pihak lain diduga terlibat.
Hingga kini, sejumlah warga harus menunggu bertahun-tahun untuk memperoleh kartu identitas itu. Akibat tak memiliki KTP-el, sejumlah warga kesulitan memperoleh pekerjaan yang lebih baik dan bahkan tak dapat menggunakan hak politiknya dalam pemilu.
Sebaliknya, di pasaran ditemukan peredaran blangko KTP-el, seperti di Pasar Pramuka Pojok, Jakarta Pusat, dan pasar daring Tokopedia. Tersedianya blangko KTP-el di pasaran semakin mempermudah praktik pembuatan KTP-el palsu.
Penggunaan KTP-el asli tapi palsu, alias aspal, telah mendorong banyak praktik kriminalitas, mulai dari penipuan, kejahatan perbankan, hingga pencucian uang korupsi. Di sisi lain, KTP-el aspal itu juga mengancam praktik demokrasi yang berintegritas. Salah satunya karena KTP-el digunakan sebagai syarat dukungan dalam pemilu.
Dalam Satu Meja The Forum di Kompas TV yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, Rabu (12/12/2018), kembali didiskusikan peredaran blangko KTP-el di pasaran dengan tajuk ”Jebol KTP Elektronik, Lalai atau Agenda Politik?”.
Hadir dalam diskusi, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh, komisioner Komisi Pemilihan Umum Viryan Azis, dan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Selain itu, hadir pula anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P, Arif Wibowo, yang sekaligus mewakili partai politik pendukung pemerintah, dan Ahmad Riza Patria dari Partai Gerindra mewakili oposisi.
Tanggung jawab
Zudan mengakui ada unsur pidana dalam penjualan blangko KTP-el asli karena blangko tersebut merupakan dokumen negara. Bahkan, distribusinya, menurut Zudan, semestinya dilakukan dengan sangat terbatas.
”Distribusinya pertama dari perusahaan pencetak. Ketika belum diberikan kepada Dirjen Dukcapil, tanggung jawab sepenuhnya ada di pencetak. Dari perusahaan pencetak diberikan kepada Ditjen Dukcapil, maka tanggung jawab beralih ke dirjen. Ketika dari dirjen didistribusikan ke dinas dukcapil, tanggung jawab beralih ke dinas dukcapil. Jadi, dalam tata kelola administrasi kependudukan Indonesia ada tanggung jawab yang bertingkat sesuai barang milik negara atau dokumen yang dipegang itu,” papar Zudan.
Sebagai dokumen negara, blangko KTP-el tak seharusnya dibawa pulang ke rumah oleh pejabat yang bertugas menyimpannya. Kemungkinan penyelewengan bisa terjadi seperti pada blangko yang dijual di Tokopedia oleh anak mantan pejabat dukcapil Lampung.
”Yang tidak boleh itu adalah jika tak ada keperluan, itu tak boleh dibawa pulang. Ini ada pelanggaran SOP (prosedur standar operasi),” ujar Zudan.
Bagi penyelenggara pemilu seperti KPU, peredaran blangko KTP-el dinilai tak mengganggu penyusunan daftar pemilih tetap. ”Poin penting KPU, kami prihatin karena sedikit banyak penyusunan daftar pemilih juga terkait dengan data kependudukan. Namun, kemudian kasus ini dalam konteks penyusunan DPT (daftar pemilih tetap) tidak pengaruh. Dalam menyusun DPT atau memutakhirkan data pemilih, selain bersumber dari data yang diberikan dukcapil beserta dengan tanggapan masyarakat, semua itu kami lakukan dalam kegiatan verifikasi faktual di lapangan,” ujar Viryan.
Namun, menurut Riza, persoalan peredaran blangko KTP-el hingga tercecernya KTP-el rusak di sejumlah daerah bisa menimbulkan asumsi bahwa dokumen kependudukan dengan mudah diakses pihak yang tidak bertanggung jawab.
”Jangan sampai manajemen (KTP-el) ini tidak valid dan masyarakat berasumsi KTP-el ini mudah diakses, dibuat, segalanya, sehingga mudah digunakan saat pemilu,” katanya.
Jangan sampai manajemen (KTP-el) ini tidak valid dan masyarakat berasumsi KTP-el ini mudah diakses, dibuat, segalanya, sehingga mudah digunakan saat pemilu
Viryan pun mengakui potensi tersebut ada. Titi juga mengatakan, karut-marut persoalan KTP-el ini sebenarnya telah memunculkan kecurigaan sejak lama.
”Sejak verifikasi partai politik peserta pemilu. Jadi kalau kita tanya kepada KPU, soal isu atau rumor KTP-el palsu dan sebagainya, itu sudah muncul sejak fotokopi KTP-el digunakan untuk verifikasi parpol peserta pemilu,” ujar Titi.
Hanya saja, menurut Arif, sejumlah persoalan KTP-el akhir-akhir ini justru seperti tindakan mendelegitimasi pemerintah. ”Justru pemerintah yang dirugikan. Apalagi ini sudah jelang pemilu, tiba-tiba banyak KTP-el yang sudah tidak bisa dimanfaatkan, rusak, dan sebagian masih berlaku, kemudian dibuang, dan diberitakan luas. Ini, kan, berarti ada upaya mendelegitimasi,” ujarnya.