Menegakan Lima Pilar Di Arena Baru
Menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa bukan sesuatu yang baru. Namun, tarikan kuat antara unilateralisme dan multilateralisme menuntut Indonesia mengambil peran terukur.
Indonesia akan kembali mengulang peran penting di pentas diplomasi internasional mulai 1 Januari 2019, anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Peran kali ini dilakoni dengan situasi yang berbeda dibandingkan dengan keadaan saat Indonesia menyandang predikat sama beberapa waktu lalu.
Sebelum ini, keanggotaan di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) sudah tiga kali disandang Indonesia, yakni pada 1973-1974, 1995-1996, dan 2007-2008.
Pada periode 1995-1996, Indonesia menghasilkan Panduan Wisnumurti. Panduan itu dinamakan sesuai nama Wakil Tetap RI untuk PBB pada periode tersebut, Nugroho Wisnumurti. Sampai sekarang, DK PBB masih memakai panduan itu dalam proses seleksi calon sekretaris jenderal PBB.
Pada periode 2007-2008, Indonesia membuat DK PBB mengubah bentuk laporan tahunan dari sekadar paparan fakta menjadi analisis fakta. Indonesia juga mendorong transparansi kinerja DK PBB.
Untuk periode 2019-2020, Indonesia akan fokus menegakkan empat agenda utama atau pilar dan satu isu prioritas. Keempat agenda itu yaitu memperkuat ekosistem perdamaian dan stabilitas global; meningkatkan sinergi dan kerja sama organisasi kawasan; menjadikan pembentukan pendekatan global dan komprehensif untuk memerangi terorisme dan radikalisme; serta mendorong terciptanya kemitraan global untuk menghasilkan perdamaian demi mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030.
Selain keempat agenda tersebut, Indonesia juga akan fokus mendorong isu Palestina. Indonesia akan mengajak anggota dewan lainnya untuk menjadikan lembaga itu lebih efisien dan kerjanya bisa dipertanggungjawabkan.
Modal dan persiapan
Menjadi anggota DK PBB memang bukan perkara mudah. Indonesia sudah menyiapkan sejumlah hal. Di dalam negeri, Kementerian Luar Negeri menyiapkan penjelasan rutin kepada parlemen dan masyarakat soal perkembangan di PBB.
Disiapkan pula penjelasan soal mekanisme kerja dan pengambilan keputusan PBB. Penjelasan-penjelasan itu diharapkan membantu masyarakat memahami kinerja dan dinamika PBB, khususnya DK PBB.
Indonesia juga menyiapkan korps diplomatik negara-negara rawan konflik untuk menjadi pemasok dan pemeriksa data. Pasokan dan verifikasi dari perwakilan-perwakilan itu bisa membuat Indonesia tidak bergantung pada data dari negara besar.
”Pemerintah harus mendayagunakan seluruh potensi kekuatan agar pengaruh sebagai anggota DK PBB bisa dirasakan banyak pihak,” kata Nur Rachmat Yuliantoro, Ketua Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tantangan
Hasrat Indonesia menegakkan ”4+1 Pilar” memang akan menghadapi sejumlah tantangan. Dari dalam negeri, ada pelemahan stabilitas keamanan dan pembangunan yang bisa mengurangi kredibilitas Indonesia di pentas internasional.
”Potensi konflik terkait pemilu dan keterlambatan mencapai target SDGs. Status mulia di DK PBB dengan segala ide luar biasa bagi kebaikan dunia berbanding terbalik dengan praktik di dalam negeri,” kata pengajar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah.
Terkait Palestina, masyarakat Indonesia ada yang berharap amat tinggi dan ada yang pesimistis. ”Status anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB tidak bisa membuat keputusan apa pun. Bisa diveto oleh anggota tetap DK PBB,” kata Ketua Komite Nasional Rakyat Palestina (KNRP) Suripto.
Isu Palestina terbukti puluhan tahun tidak bisa diselesaikan. Karena itu, di masa keanggotaan kali ini, Indonesia akan mendorong melihat isu Palestina dari sudut pandang lain. Salah satunya masalah kemanusiaan.
”Palestina akan terus diingat dalam setiap agenda PBB. Setiap bulan, di Dewan Keamanan PBB ada pembahasan soal Timur Tengah dan di sana pasti dibahas soal Palestina,” ujar Direktur Jenderal Multilateral pada Kementerian Luar Negeri Febrian Alphyanto Ruddyard.
Indonesia berulang kali menunjukkan komitmen pada Palestina di panggung internasional dan secara bilateral. Resolusi Majelis Umum PBB yang mengecam pengakuan Amerika Serikat terhadap Jerusalem sebagai ibu kota Israel adalah salah satu bukti komitmen Indonesia. Bersama sejumlah negara, Indonesia mendorong resolusi itu disetujui secara mayoritas.
Selain soal Palestina, tantangan Indonesia adalah situasi DK PBB dan pentas internasional masa kini berbeda. Ada kecenderungan menjauhi multilateralisme yang, ironinya, dipelopori oleh negara-negara besar.
Kecenderungan unilateralisme itu menjadi tantangan besar atas berbagai persoalan yang membutuhkan kerja sama lintas negara.
Indonesia menyikapi fenomena itu dengan berkonsultasi dengan para anggota DK PBB, tetap ataupun tidak tetap. Indonesia sudah menyampaikan isu-isu prioritas kepada 14 anggota DK PBB. ”Indonesia ingin mendorong kesatuan di antara DK PBB,” kata Febrian.
Melihat sejumlah tantangan itu, Indonesia tampaknya akan mengoptimalkan—salah satu— peran pentingnya lewat keterlibatan dalam pengerahan pasukan keamanan (PKO).
Hingga saat ini, Indonesia adalah salah satu negara penting dalam PKO. Indonesia masuk dalam 10 besar negara penyumbang pasukan penjaga perdamaian PBB.
Dewan Keamanan merupakan satu-satunya organ PBB yang bisa mengambil keputusan mengikat secara hukum, memiliki otoritas untuk menjatuhkan sanksi, dan mengotorisasi pengerahan pasukan keamanan. ”PKO adalah produk utama PBB. Orang akan menilai PBB dari keberhasilan PKO,” kata Febrian.
Pentingnya PKO membuat Indonesia menjadikan isu tata kelolanya menjadi salah satu prioritas pada masa kepemimpinan di DK PBB. Seperti yang sudah berlaku selama ini, anggota DK PBB bergiliran menjadi ketua badan tersebut.
Untuk periode 2019-2020, Indonesia akan mendapat giliran dua kali menjadi pimpinan. Selain PKO, Indonesia juga mendorong penanganan radikalisme dan terorisme.
Rekam jejak Indonesia di isu diakui negara-negara lain. Isu lain adalah Migrasi dan perubahan iklim. ”Lapangan permainannya sudah berbeda dan Indonesia harus menghadapi itu,” ujarnya.