MENGUJI KOMITMEN PADA OLAHRAGA
Sukses Asian Games dan Asian Para Games 2018 membangun optimisme, olahraga Indonesia mampu bersaing di tingkat tertinggi. Dalam ingar-bingar tahun politik, komitmen pemerintah mendukung para atlet menuju SEA Games 2019 serta kualifikasi Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo 2020 akan diuji.
Dunia olahraga Indonesia memasuki tahun 2019 dengan optimisme yang terbangun dari kesuksesan penyelenggaraan dan prestasi pada Asian Games dan Asian Para Games 2018. Kebersamaan yang terbentuk sejak persiapan hingga usainya pesta olahraga itu menunjukkan bangsa ini mampu menyelenggarakan ajang besar dan berprestasi setara bangsa lain.
Sepanjang tahun ini, semua pihak bekerja keras dan mencurahkan perhatian, termasuk anggaran, pada dua ajang itu. Sukses Asian Games dan Asian Para Games 2018 pun menjadi pertaruhan pemerintah.
Kerja keras itu membuahkan hasil. Terlepas dari sejumlah kekurangan, Asian Games dan Asian Para Games berhasil membangun kebanggaan dan rasa nasionalisme bangsa. Dari sisi prestasi, para atlet Indonesia di Asian Games merebut 31 medali emas, 24 perak, dan 43 perunggu, dan menempati posisi keempat. Hasil terbaik yang pernah dicapai atlet Indonesia setelah posisi kedua pada Jakarta 1962.
Hasil ini disusul dengan prestasi para atlet Para Games yang meraih 33 medali emas, 42 perak, dan 48 perunggu, dan menempati posisi keenam.
Pembinaan olahraga
Di samping optimisme yang terbangun, muncul pertanyaan sejauh mana kesuksesan ini berpengaruh pada pembinaan olahraga nasional. Karena, pada 2019 kondisinya sangat berbeda.
Perhatian bangsa ini akan terfokus pada pemilihan presiden dan anggota legislatif pada 17 April. Agenda politik berlanjut hingga pelantikan presiden,
20 Oktober.
Perubahan itu tergambar pada besaran anggaran yang dialokasikan untuk Kementerian Pemuda dan Olahraga. Dari nilai Rp 5,037 triliun pada 2018—yang sebagian besar untuk penyelenggaraan Asian Games dan Asian Para Games—jumlahnya turun menjadi Rp 1,951 triliun pada 2019. Anggaran untuk pemusatan latihan nasional pun menyusut, dari Rp 735 miliar (2018) menjadi sekitar Rp 500 miliar (2019).
Anggaran tersebut dibutuhkan untuk mendanai agenda utama olahraga pada 2019, yakni pesta olahraga Asia Tenggara, SEA Games, 2019 di Filipina pada 30 November-10 Desember. Dana juga dibutuhkan untuk mengirimkan atlet mengikuti sejumlah turnamen yang menjadi kualifikasi Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo 2020.
Terbatasnya anggaran ini, seperti diakui Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, jadi tantangan bagi pemerintah dan pemangku kepentingan olahraga. Mau tak mau, perlu ada program prioritas agar dana yang terbatas dapat memberi hasil optimal.
Langkah yang dipertimbangkan adalah mengarahkan atlet berprestasi mengikuti kualifikasi Olimpiade dan mengirim atlet muda untuk berkompetisi pada SEA Games 2019.
Kemenpora memperkirakan, 60 persen dari sekitar 600 atlet yang akan dikirim ke SEA Games 2019 adalah atlet muda. Sisanya atlet yang dipersiapkan untuk kualifikasi Olimpiade 2020.
Adapun sebanyak 96 nomor pertandingan dari 10-12 cabang olahraga disiapkan mengikuti kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020. Diharapkan setidaknya Indonesia dapat meloloskan atlet pada 30 nomor di cabang potensial, antara lain bulu tangkis, angkat besi, panjat tebing, taekwondo, panahan, karate, tenis, atletik, renang, dan senam.
Untuk itu, Menpora pun menyerukan agar atlet elite yang meraih medali pada Asian Games 2018 untuk meningkatkan kemampuan agar mampu lolos kualifikasi Olimpiade dan kejuaraan dunia di cabang masing-masing. Dengan demikian, mereka tak perlu turun pada SEA Games, apalagi pada Pekan Olahraga Nasional.
”Atlet-atlet elite tidak usah lagi tampil di PON atau SEA Games. Biarlah mereka fokus di level kejuaraan lebih tinggi. PON dan SEA Games cukup untuk atlet pelapis atau atlet muda agar mereka punya kesempatan berkembang. Ini penting untuk regenerasi,” kata Imam, Selasa (4/12/2018).
Kemenpora menjanjikan membuat peraturan dan kriteria atlet pelapis yang tampil di tingkat SEA Games. Regulasi ini diperlukan untuk menghindari kebingungan pengurus cabang yang menyiapkan atlet.
Bagi cabang seperti bulu tangkis, yang nyaris tak pernah absen menyumbang emas Olimpiade, pembatasan ini masih mungkin dilakukan. Meski bersaing ketat, atlet muda Cipayung masih bisa diandalkan untuk berprestasi di Asia Tenggara.
Pada sejumlah cabang lain, seperti di angkat besi dan senam, hal ini tak bisa sepenuhnya dilakukan. Persaingan di tingkat Asia Tenggara cukup sengit, sedangkan kualitas antara atlet elite dan atlet pelapis cukup lebar.
Namun, pilihan harus dilakukan untuk terus mendorong atlet pelapis mencapai prestasi setara dengan atlet elite. Langkah yang dilakukan negara yang memiliki konsep pembinaan olahraga yang lebih maju patut menjadi cermin. Seperti Jepang, yang membina atlet untuk mencapai puncak penampilan saat menjadi tuan rumah Olimpiade Tokyo 2020.
Saat negara lain menurunkan tim sepak bola usia 23 tahun pada Asian Games 2018, Jepang berani menurunkan tim U-21. Penampilan mereka pun tidak mengecewakan. Timnas Jepang lolos ke final dan meraih perak setelah menyerah dari Korea Selatan.
Jepang juga menurunkan atlet muda di cabang lain. Rikako Ikee, misalnya. Atlet terbaik Asian Games 2018 itu baru berusia 18 tahun. Ikee mengoleksi enam emas dan dua perak dari kolam renang, menjadikannya perenang pertama yang meraih enam emas dalam satu Asian Games.
Secara keseluruhan, para atlet muda ini tampil membanggakan, merebut 75 emas, 56 perak, dan 74 perunggu. Mereka mengangkat Jepang kembali ke posisi kedua, prestasi yang terakhir kali diraih di Hiroshima 1994.
Deputi Bidang Peningkatan Prestasi Kemenpora Mulyana mengatakan, kriteria atlet pelapis, termasuk berusia di bawah 25 tahun, dimungkinkan pernah tampil di Asian Games, tetapi belum berprestasi, dan perstasinya tak jauh dari atlet elite.
Namun, kriteria ini tidak akan diterapkan secara kaku untuk menjaga momentum prestasi yang diraih pada Asian Games 2018. Padahal, momentum prestasi itu juga yang seharusnya menjadi modal bagi Kemenpora dan pengurus cabang untuk menyusun program pembinaan jangka panjang, yang menjamin regenerasi dan menjaga kesinambungan prestasi.
Harus diakui, dana berperan besar dalam pencapaian prestasi olahraga. Tak banyak cabang olahraga di Tanah Air yang cukup mandiri membiayai latihan dan kompetisi seperti bulu tangkis.
Untuk itu, komitmen pemerintah diperlukan buat membangun prestasi olahraga, termasuk menggandeng swasta lewat program bapak angkat. Kejelasan dan akuntabilitas anggaran diperlukan agar program yang terhenti pada 2014 tersebut bisa dihidupkan lagi. (J WASkita Utama)