JAKARTA, KOMPAS — Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Susana Yembise, menyambut gembira atas putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan Koalisi 18+. Putusan tersebut sejalan dengan harapan pemerintah saat ini untuk mencegah praktik-praktik perkawinan anak yang masih terjadi di tengah masyarakat.
“Putusan tersebut semacam lampu hijau, yang memberikan kami semangat untuk bergerak cepat. Kami akan segera manfaatkan waktu tiga tahun ini, supaya segera ada perubahan, apakah dalam bentuk revisi Undang-Undang Perkawinan atau diganti soal umur perkawinan anak perempuan, itu segera akan kami tindaklanjuti,” ujar Yohana, ketika dihubungi Kamis malam.
Menurut Yohana, semakin cepat tindaklanjut dari putusan MK tersebut akan semakin bagus. Bahkan Yohana berharap perubahan umur perkawinan anak perempuan dilakukan sebelum Kabinet Kerja selesai. “Lebih cepat lebih bagus. Karena sebenarnya Menteri Agama sudah setuju soal perubahan umur perkawinan anak perempuan, tinggal diganti atau direvisi,” papar Yohana.
Sementara itu, Indry Oktaviani, Koordinator Koalisi 18+ mengapresiasi putusan MK tersebut, karena putusan tersebut merupakan bentuk perhatian negara terhadap kondisi perkawinan anak saat ini. MK dinilai berani menyatakan perkawinan anak tidak sesuai dengan UUD 1945.
“Ini tonggak sejarah. Karena bagi kami putusan ini merupakan titik terang, karena akhirnya negara mengakui bahwa perkawinan anak melanggar UUD 1945. Kami sangat terharu, karena negara berani menyatakan UU Perkawinan sudah tidak sesuai dengan UUD 1945,” kata Indry.
Karena itu, setelah putusan MK, Koalisi 18+ akan segera bertemu pihak-pihak terkait seperti Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, dan lembaga terkait lainnnya.
Putusan MK juga disambut gembira oleh para aktivis organisasi perempuan.
“MK dalam uji konstitusinya menyimpulkan bahwa ada kesenjangan hukum hukum atau bertentangan dengan konstitusi dalam bentuk bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dan pelanggaran dengan hak konstitusional anak perempuan atas pendidikan,” kata Rita Serena Kolibonso, Ketua Pengurus Mitra Perempuan.