Meredup Akibat Gemuruh Perang Dagang
Di tengah konflik dan perseteruan lama di sejumlah tempat belahan dunia, muncul pergolakan baru berpusat pada persaingan dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia: Amerika Serikat versus China. Perang dagang, salah satu arena persaingan itu, bakal menimbulkan dampak lebih nyata pada 2019. Tak hanya perlambatan global, demikian peringatan sebagian ekonom, tetapi bisa juga berujung resesi.
Ekonomi global sudah menunjukkan tanda-tanda perlambatan ketika Presiden AS Donald Trump mengingatkan dunia tentang kecintaannya terhadap tarif, awal Desember lalu. Sehari setelahnya, berita penangkapan anggota direksi perusahaan China, Huawei Technologies Co Ltd, Meng Wanzhou, di Kanada atas permintaan AS terungkap ke publik. Pasar saham global pun anjlok.
”Saya seorang Tariff Man,” demikian Trump menggambarkan dirinya melalui cuitan di Twitter. Publik tahu, tarif adalah senjata dalam perang dagang yang ditabuh Trump ke berbagai pihak. Genderang paling keras ditabuh Washington terhadap China. Animo pada ”gencatan senjata” yang diklaim Trump tercapai seusai pertemuannya dengan Presiden China Xi Jinping di sela- sela Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Buenos Aires, Argentina, pun pudar. Beijing meradang akibat penangkapan Meng.
Dua hal yang terjadi berurutan itu pun mengecilkan kemungkinan AS mengakhiri perang dagangnya dengan China. Investor dan pelaku pasar kembali khawatir, bahkan takut, eskalasi tarif akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan kemungkinan mengirim perlambatan global ke dalam resesi. Harian The New York Times sudah mewanti-wanti Trump akan sepak terjang diri dan pemerintahannya. Trump, yang sesumbar menyebut dirinya tariff man, perlu siap-siap mengubah julukan menjadi recession man jika AS mengalami resesi di tahun depan atau awal 2020.
Defisit perdagangan AS mencapai 55,5 miliar dollar AS pada Oktober, tertinggi sejak Oktober 2008. Kenaikan defisit terjadi karena pertumbuhan impor terus berlanjut, sementara ekspor benar-benar turun. Mengurangi defisit perdagangan AS adalah tujuan utama perang dagang Trump. Namun, nyatanya, kebijakan presiden sendiri kemungkinan mendorong jurang defisit itu semakin melebar. Defisit perdagangan dengan China juga mencapai level rekor tertinggi.
Trump telah lama fokus pada defisit perdagangan sebagai sinyal bahwa tarif yang diterapkan pemerintahnya pada barang dan logam China berfungsi. Namun, faktanya sebagian besar ekonom mengabaikan ukuran sebagai tanda kebijakan perdagangan yang efektif. Ekonomi AS lebih kuat dan selera konsumen AS melebihi kemampuan negara untuk memproduksi barang yang mereka inginkan. Ini berarti, AS membutuhkan barang dari negara lain untuk memenuhi permintaan konsumen, yang mengarah ke pertumbuhan impor.
Peningkatan permintaan itu sebagian terjadi karena jumlah stimulus fiskal yang signifikan disuntikkan ke dalam ekonomi melalui pemotongan pajak oleh Trump dan kesepakatan anggaran bipartisan besar. Mencapai perekonomian, sambil membantu Trump mengklaim kemenangan pada hal-hal seperti GDP yang lebih kuat, juga berarti kartu laporan perdagangan presiden terlihat lebih buruk. Pada saat yang sama ekspor cenderung turun karena tarif pembalasan terhadap produk-produk AS.
Kepala ekonom di Pantheon Macroeconomics, Ian Shepherdson, mengaku khawatir,
kesukaan Trump pada tarif itu sendiri sudah cukup untuk menekan pertumbuhan lebih lanjut. Kelindan rantai pasokan yang kemungkinan besar terganggu akibat perang dagang mau tak mau harus diganti atau berubah jalur- jalurnya. ”Ketidakpastian yang disebabkan oleh omongan pendirian perdagangannya berarti bahwa investasi bisnis akan ditunda atau dibatalkan, keputusan perekrutan secara marginal akan ditunda, dan potensi mitra bisnis luar negeri akan mencari tempat lain,” kata Shepherdson.
Trump memberlakukan tarif 10 persen terhadap barang-barang China senilai 200 miliar dollar AS pada September. Tarif- tarif itu akan meningkat menjadi 25 persen pada 1 Januari 2019. Trump juga mengancam akan mengenakan tarif pada semua barang lain dari China yang belum dikenai tarif lebih tinggi. Jeda penerapan tarif lanjutan selama 90 hari negosiasi ditunggu realisasinya. Trump mengatakan, dia ingin mengecilkan defisit perdagangan AS senilai 336 miliar dollar AS dengan Beijing—kesenjangan antara berapa banyak yang dibeli Amerika dari China dan berapa banyak yang dijualnya—dan menghentikan pencurian atau pemaksaan penyerahan teknologi dan kekayaan intelektual AS kepada China.
Kepala ekonom Dana Moneter Internasional (IMF) Maurice Obstfeld memroyeksikan dan memperingatkan, AS bakal mulai merasakan dampak perlambatan ekonominya tahun depan dan bisa berujung resesi. Dia berbicara dalam wawancara dengan The Wall Street Journal dan Financial Times hanya beberapa hari sebelum dia pensiun dari IMF. ”Kami telah lama memprediksi pertumbuhan AS yang agak lebih rendah untuk 2019 daripada apa yang kami lihat tahun ini,” kata Obstfeld, yang dikutip AFP. Ditegaskan, hal-hal itu antara lain karena efek dari langkah-langkah fiskal dan anggaran pemerintah Trump yang mulai memudar.
Menurut dia, perlambatan tahun 2020 mungkin akan lebih tajam dibandingkan pada 2019. IMF telah merevisi turun prediksi pertumbuhan 2019 bagi AS: dari 2,8 menjadi 2,5 persen. Pengaruh langkah AS itu juga terasa pada ekonomi Asia dan Eropa yang melambat. Perlambatan- perlambatan itu pun akan kembali dan juga memengaruhi AS.
Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow berujar, kebijakan Trump soal tarif hanya sebagai alat untuk menjalin perjanjian yang sebenarnya akan menghilangkan semua pajak impor. Washington sudah mengklaim kemajuan dengan China pada pembelian barang-barang AS senilai 1,2 triliun dollar AS, sekalipun tidak ada rincian yang diberikan Gedung Putih. ”Presiden Trump menganggap dirinya sebagai reformis perdagangan,” kata Larry Kudlow, Direktur Dewan Ekonomi Nasional Gedung Putih. ”Dia ingin dunia dengan tarif nol dan bersih hambatan nontarif dan nol subsidi.”
Prospek meredup
Gemuruh perang dagang dari Trump terhadap ekonomi global terjadi pada saat genting. Prospek ekonomi pada 2019 meredup dengan titik-titik kekhawatiran tentang ancaman resesi. Stimulus ekonomi lewat pemotongan pajak AS mulai memudar. Inggris berupaya meninggalkan Uni Eropa. Utang Italia melebar. China mencoba menavigasi perlambatan setelah beberapa dekade pertumbuhan cepat yang tak berkelanjutan. Jerman, negara dengan perekonomian terbesar Eropa, mengalami penyusutan ekonomi pada triwulan terakhir.
Brexit kemungkinan juga bisa berujung keluarnya Inggris dari UE tanpa kesepakatan, menyebabkan munculnya tarif dan pemeriksaan bea cukai pada ratusan miliar dollar AS dalam ekspor antara Inggris dan 27 negara UE lainnya.[/caption]
Pertumbuhan global sudah diproyeksikan turun ke level 3,5 persen tahun depan dari 3,7 persen—bahkan tanpa memperhitungkan risiko peningkatan tarif AS dan kontra-tarif China. Hal itu merujuk proyeksi Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), lembaga think tank antarpemerintah dari 36 negara. Itu berarti saat ini kalangan bisnis, konsumen, dan bahkan negara harus memperhitungkan kebingungan yang disuntikkan oleh pesan Trump, yang berkembang dan bertentangan tentang hubungan dagang yang panas antara AS-China.
Rumitnya masalah adalah bahwa semua ini terjadi dengan latar belakang melemahnya pertumbuhan di seluruh dunia. Ekonomi dari 19 negara yang menggunakan mata uang euro, misalnya, tersandung pada periode Juli- September. Kekhawatiran meningkat setelah data menunjukkan, ekonomi Italia dan Jerman, yang bergantung pada ekspor global, menyusut selama periode itu. ”Gambaran global semakin suram, dan itu akan memengaruhi zona euro lewat perdagangan dan sentimen,” kata Erik Nielsen, kepala ekonom
di UniCredit bank, dalam catatannya kepada klien-klien UniCredit.
Italia menderita ketidakpastian atas prospek ekonomi di bawah pemerintahan baru yang populis. Pemerintah ingin meningkatkan belanja publik sehingga menambah beban utangnya yang besar, lebih dari 130 persen. Hal itu menghidupkan lagi kekhawatiran akan kembalinya krisis utang Eropa.
Brexit kemungkinan juga bisa berujung keluarnya Inggris dari UE tanpa kesepakatan. Itu skenario terburuk yang akan segera menyebabkan munculnya tarif dan pemeriksaan bea cukai pada ratusan miliar dollar AS dalam ekspor antara Inggris dan 27 negara UE lainnya.