Perlu Tegas, Tapi Berintegritas
Ada harapan, media sosial dapat dimanfaatkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, faktanya, medsos juga menjadi lahan subur untuk menyemai hoaks. Bagaimana mengantisipasi banjirnya berita bohong yang kini menjelma sebagai ïndustri politik?
Ada harapan, media sosial dapat dimanfaatkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, faktanya, medsos juga menjadi lahan subur untuk menyemai hoaks. Muncul gerakan publik melawan berita bohong itu, tetapi perlu langkah bersama yang lebih sistematis.
"Kali ini saya adalah pencipta hoaks terbaik yang mengacaukan masyarakat,” kata Ratna Sarumpaet, aktivis politik, dalam jumpa wartawan di rumahnya di Kampung Melayu, Jakarta Selatan, Rabu (3/10/2018), sebagaimana dilaporkan Kompas.id (Rabu, 3 Oktober 2018).
Baca: Ratna Sarumpaet: Saya Pencipta Hoaks Terbaik
Pengakuan itu meruntuhkan isu yang menghebohkan sebelumnya. Mantan anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno itu sempat dikabarkan dianiaya orang tidak dikenal di Bandung, Jawa Barat. Sejumlah elite politik mengutuk dugaan penganiayaan tersebut. Prabowo menggelar jumpa pers, mengecam kekerasan itu sebagai tindakan pengecut dan mengancam demokrasi.
Begitu Ratna mengaku berbohong, Prabowo lantas menggelar jumpa pers lagi. Kali ini, dia meminta maaf karena turut serta menyuarakan sesuatu yang belum diyakini kebenarannya. Ratna pun mundur dari anggota BPN capres-cawapres itu.
Baca: Prabowo: Ratna Sarumpaet Mungkin Alami Tekanan Jiwa
Kasus Ratna adalah hoaks (dalam pengertian berita bohong) yang paling mengguncang di media sosial (medsos) di Indonesia sepanjang tahun 2018. Isu ini santer dibicarakan warga internet (warganet), terutama di Twitter, Facebook, Instagram, dan grup-grup WhatsApp. Banyak akun terlibat obrolan sehingga topik ini cukup lama bertahan sebagai salah satu trending.
Berdasar catatan Departemen Media Sosial harian Kompas, selain kasus Ratna, ada sejumlah hoaks yang santer beredar di medsos sejak Januari sampai Desember. Umumnya terkait politik. Sebut saja, antara lain, kabar bohong terkait unjuk rasa rusuh di Mahkamah Konstitusi (MK), serbuan jutaan tenaga kerja asing (TKA) asal China, isu PKI dan kriminalisasi ulama, dan soal telur palsu.
Hoaks lain, seperti soal penculikan anak atau isu bom gereja di Duren Sawit, Jakarta, juga ramai, tapi tidak menggoyahkan dominasi isu-isu politik. Selama 2018, sebagian besar hoaks menyeruak sebagai bagian dari pertarungan politik. Gejala ini tentu bakal semakin marak, tajam, dan ”kreatif” seiring penyelenggaraan pemilu presiden dan pemilu legislatif tahun 2019. Ini perlu diantisipasi.
Pertarungan
Kenapa hoaks mudah menyebar? Karena hoaks menemukan habitatnya yang paling subur, yaitu jagat medsos yang bersifat terbuka, interaktif, masif, dan cepat. Begitu terunggah, satu kabar palsu sontak tersebar ke jaringan luas, di-copy-paste, diunggah ulang, dan dipendarkan terus dari satu lingkaran ke lingkaran berikutnya. Kondisi kian rentan karena sebagian publik belum sepenuhnya melek literasi medsos atau kurang memiliki akses cukup untuk menguji ulang dan menemukan fakta sejatinya.
Saat bersamaan, nilai-nilai sosial bergeser. Keberpihakan militan pada kelompok politik tertentu cenderung mendorong sebagian masyarakat menyebarkan kabar apa saja, bahkan bohong sekalipun, asalkan menguntungkan kelompoknya dan sebisa mungkin melemahkan lawan. Benar-salah tak lagi dipertimbangkan. Perilaku demikian, meminjam istilah filsuf Jerman Friedrich Nietzsche (1844-1900), mencerminkan kehendak untuk berkuasa (the will to power) manusia yang ditempuh dengan segala cara, termasuk bersikap munafik atau memanipulasi kenyataan.
Menurut pengajar sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Robertus Robet, di Indonesia hoaks tumbuh sebagai gejala umum pasca-demokrasi dan kebebasan informasi. Kabar bohong jadi bagian dari ”industrialisasi politik” yang dikemas untuk merekayasa satu versi kebenaran semu seraya menegatifkan versi pesaing. Rekayasa itu antara lain dilancarkan dengan menempel pada metode kerja pers.
”Di era new media, hoaks itu sejenis virus yang beredar dalam pasar gelap pers dan merusak pers,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (11/12/2018).
Masyarakat, yang lekat dengan gawai, dibanjiri informasi yang berubah terus-menerus sehingga tak sempat lagi mencari konfirmasi, hanyut dalam permukaan, dan gagal mendapatkan esensi kebenarannya. Dalam konteks pemilu, hoaks mengikis akal sehat dan menggiring publik untuk memilih presiden dan legislator berdasarkan isu-isu yang dangkal.
Hoaks menjadi semakin berbahaya ketika diniatkan untuk menyemai kebencian, permusuhan, dan adu domba dengan memantik sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Lewat operasi sistematis, hoaks disisipkan ke alam bawah sadar publik agar menumbuhkan kegelisahan atau perasaan terancam dari kelompok berbeda. Dengan pemantik tertentu, perasaan itu bisa meledak dalam bentuk konflik antarkelompok masyarakat—yang memang punya akar sejarah di negeri ini. Bangunan kebangsaan Indonesia yang majemuk pun terancam.
Menyadari situasi bahaya ini, muncul semangat untuk menangkal pergerakan hoaks. Ada beberapa organisasi masyarakat sipil yang getol berkampanye memukul balik hoaks. Kita bisa mencatat Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) dengan laman mafindo.or.id, turnbackhoax.id, cekfakta.com, Indonesian Hoax Busters, dan Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax (FAFHH). Mereka bahu-membahu untuk membuka hotline pengaduan masyarakat, menggelar forum saling tukar informasi di medsos, berdiskusi, dan memverifikasi hoaks yang gentayangan. Mafindo bahkan merilis aplikasi Hoax Buster Tools (HBT) di Google Play sebagai alat untuk mengecek dan verifikasi informasi (artikel, foto, video) yang dicurigai bohong.
Baca: Masyarakat Antifitnah Indonesia Melawan Berita Hoaks
Penindakan
Perlawanan masyarakat sipil itu lumayan berhasil membangun literasi medsos sekaligus menangkal beberapa kasus hoaks. Namun, gerakan itu tidaklah cukup. Soalnya, produsen dan distributor kabar bohong punya jaringan yang luas dan modus operandi canggih.
Ambil contoh, Saracen dan Muslim Cyber Army (MCA). Berdasarkan penelusuran kepolisian, dua kelompok ini membangun struktur organisasi, jaringan, penguasaan teknologi informasi, sumber dana, dan modus kerja yang rapi. Bagi para pelakunya, memproduksi dan mendistribuskan hoaks adalah profesi yang menguntungkan.
Untuk mengantisipasinya, kita perlu membangun pers yang berintegritas, independen, dan tepercaya. Media ditantang membangun kredibilitas dirinya sehingga dapat menjadi rujukan bagi publik di tengah belantara hoaks. Apa pun orientasi politiknya, semua kelompok masyarakat patut mendapatkan konfirmasi atau pencerahan dari media tepercaya tentang satu isu tertentu yang meresahkan. Jangan sampai pers justru turut mereproduksi kabar bohong.
Saat bersamaan, aparat penegak hukum perlu bertindak sigap dan tepat. Dalam kasus Ratna, patut dihargai kerja cepat polisi dalam membongkar fakta operasi plastik yang mementahkan isu penganiayaan. Setelah mengakui kebohongannya, Ratna ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta, saat hendak terbang ke Chile. Kini dia menjadi tersangka, ditahan di Kepolisian Daerah Metro Jaya, dan kasus hukumnya diproses.
Sebelumnya, polisi juga meringkus admin grup Saracen, jaringan MCA, dan grup Whatsapp ”The Family MCA” serta beberapa anggota jaringannya. Begitu pula dengan penyebar hoaks unjuk rasa rusuh di MK. Mereka dijerat dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Langkah tegas itu penting demi mencegah hoaks merajalela. Apalagi, kabar bohong sebagai strategi kampanye bakal kian marak saat pemilu presiden dan pemilu legislatif tahun 2019. Tanpa pencegahan dan penindakan, orang merasa bebas menebar kehobongan tanpa khawatir terjerat sanksi. Tentu, kita tidak ingin pesta demokrasi tahun 2019 menjadi pesta hoaks.
Namun, penerapan UU ITE juga mesti dilakukan secara terukur dan hati-hati. Bagaimanapun, perundangan itu rentan diselewengkan untuk melayani egoisme kekuasaan birokrasi, termasuk di daerah-daerah. Jika terjadi, itu bisa membungkam kebebasan berpendapat dan kritik dan mengorbankan masyarakat sipil.
Lantas, bagaimana jalan keluar idealnya? ”Kita mesti mencari keseimbangan: memberantas hoaks tanpa membunuh kebebasan informasi sebagai modal dasar pengembangan demokrasi. Tegas, tapi berintegritas,” kata Robertus Robet.
(BONDAN WIBISONO)