Hari Minggu, 20 Oktober 2019 penting bagi kalender konstitusional bangsa Indonesia. Pada hari itu mandat Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla berakhir. Keduanya memimpin Indonesia sejak 20 Oktober 2014 hingga 20 Oktober 2019. Pemerintahan tidak boleh kosong karena itulah regularitas demokrasi harus dijaga. Sirkulasi elite hanya melalui pemilihan umum, tidak ada jalan lain!
Sebelum 20 Oktober 2019, Pemilu 17 April 2019 menjadi penting. Saat itu akan menjadi tahap akhir konsolidasi demokrasi Indonesia. Jika semuanya terlaksana dengan baik (dan diyakini akan baik berdasarkan catatan sejarah) Indonesia akan bisa mengukuhkan diri sebagai negara dengan demokrasi yang kian matang (mature democracy). Namun demikian komitmen dan kepercayaan pada demokrasi harus tetap ada di elite politik. Jangan pernah ada pikiran untuk memprovokasi massa untuk menciptakan situasi yang kurang kondusif untuk demokrasi.
Sirkulasi elite kekuasaan (eksekutif dan legislatif) akan ditentukan pada Rabu, 17 April 2019. Ada 186 juta pemilih yang tercatat akan memberikan suaranya. Pemilih dalam rentang usia 17-35 tahun berkisar pada angka 79 juta. Sedang pemilih pemula yang baru pertama kali memilih diperkirakan 14 juta. Generasi muda pemilih ini adalah warga net yang sudah terkoneksi dalam jaringan di berbagai media sosial.
Salah satu hal yang harus menjadi perhatian adalah ancaman tren penurunan tingkat partisipasi politik dari pemilu ke pemilu. Jika pada Pemilu 1999 tingkat partisipasi politik mencapai 92,71 persen, anjlok menjadi 70,96 persen pada pemilu legislatif 2009, dan naik sedikit menjadi 75,11 persen pada pemilu 2014. Kelelahan politik tampaknya menjadi isu yang harus kembali didalami. Di sejumlah kota, termasuk Kota Medan, tingkat golput dalam pilkada besar, pernah mencapai 74 persen.
Rabu 17 April 2019 adalah hari libur atau hari yang diliburkan. Bagi penganut Kristen-Katolik, mulai Kamis 18 April 2019 sampai dengan Sabtu (20 April 2019) adalah Trihari Suci Paskah yang juga merupakan hari libur. Ketika politik justru membikin stress dan mencekam, pilihan paket liburan boleh jadi menjadi lebih menarik. Perlu ada upaya ekstra agar pemilu bukan lagi hal menakutkan melainkan sebuah kegembiraan.
Perjalanan waktu masih 195 hari lagi menuju apa yang disebut sebagai “referendum”. Masih cukup panjang. Ketegangan sosial politik masih akan terjadi. Polarisasi masyarakat akan menguat di awal Januari hingga April 2019. Sebagai referendum, pilihannya dikembalikan kepada rakyat. Apakah rakyat masih akan memberikan kembali mandat kepada Presiden Joko Widodo dan pasangannya KH Ma’ruf Amin atau mengalihkan mandat kepada pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Semuanya terserah pada rakyat Indonesia?
Memilih pemimpin adalah kemewahan bagi rakyat yang selama 32 tahun dipasung oleh Orde Baru
Pemilu adalah sarana demokrasi untuk memilih pemimpin mereka. Memilih pemimpin adalah kemewahan bagi rakyat yang selama 32 tahun dipasung oleh Orde Baru. Gerakan Reformasi Mei 1998 yang menumbangkan kekuasaan Orde Baru, menjadi pintu pembuka kembalinya kedaulatan rakyat. Gerakan reformasi telah memberikan ruang kepada kebebasan berpolitik, kebebasan berorganisasi, dan termasuk kebebasan pers dengan segala permasalahannya. Melalui momentum Perubahan UUD 1945 itulah, rakyat berdaulat memilih sendiri pemimpinnya.
Media Sosial
Dalam 195 hari ke depan, boleh jadi menjadi perjalanan melelahkan secara psikologis politik. Media sosial kian mempertajam polarisasi di masyarakat. Algortima di media sosial membuat pengguna informasi terpapar dengan informasi yang sepandangan dengannya. Dalam buku Satu Meja The Forum (2018) ditulis, dalam beberapa jurnal kajian media dan politik, disebut memunculkan efek “gheto siber”, “efek ruang gema’, atau “kepompong informasi”. Situasi inilah yang kian mempertajam polarisasi masyarakat.
Dalam kubangan itulah, kebenaran ditentukan keyakinan.
Masyarakat akan terpecah dalam “kubangan cebong” atau “kubangan kampret”. Dalam kubangan itulah, kebenaran ditentukan keyakinan. Pendapat yang mengafirmasi keyakinan akan diterima sebagai kebenaran, sementara fakta obyektif jika tak sesuai dengan keyakinan, akan diperlakukan sebagai hoaks belaka.
Mesin-mesin digital yang kian cerdas bisa memetakan preferensi pilihan orang di berbagai media sosial. Kampanye di daerah mana harus bicara apa disuplai dengan data-data dari mesin-mesin digital. Survei elektabilitas pasangan calon presiden berdasarkan percakapan di media sosial, bisa dilakukan secara periodik tiap minggu. Namun, hari penentuan tetaplah suara pemilih yang diberikan di bilik suara, bukan percakapan di media sosial.
Keyakinan publik terhadap pilihan capres akan terus digoyang, dengan berbagai “informasi” atau informasi, antara “data” atau data, antara noise dan voice, antara substansi dan sensasi, antara hate speech dan love speech, antara realitas dan citra, antara pujian dan kritik, antara kebohongan atau kebenaran. Begitu berlimpahnya, “informasi” di jagat media sosial, bisa membuat orang kehilangan orientasi, mana yang benar, mana yang separuh benar, mana yang salah. Begitu kisruhnya jagal media sosial, sampai-sampai ada meme secara berkelakar menyampaikan pesan, “Anda memasuki kawasan padat hoax. Pasang sabuk pengaman akal sehat, dan tegakkan sandaran otak.” Akal sehat dan skeptisisme memang menjadi kata kunci untuk menyaring informasi. Berita bohong adalah racun demokrasi. Akal sehat akan memandu siapa yang akan dipilih.
Berita bohong adalah racun demokrasi. Akal sehat akan memandu siapa yang akan dipilih.
Viral telah menjadi alat politik. Alat politik untuk menekan pemerintah, alat politik untuk mendelegitimasi dan mendekonstruksi pasangan calon. Viral yang selama ini hanya merupakan upaya menyebarkan informasi (video, foto, kutipan) kepada masyarakat telah berubah sebagai alat politik. Viral sebagai alat untuk melakukan pemasaran politik untuk membentuk citra diri.
Kontestasi di media sosial menambah keriuhan demokrasi. Ini harus jadi perhatian. Kontestasi online bisa berubah jadi offline dan terciptalah kriminalitas. Peristiwa kekerasan di Sampang, Madura, karena perbedaan pilihan capres haruslah diantisipasi.
Media sosial berkontribusi menciptakan penajaman polarisasi di masyarakat. Sebuah penelitian Daryna Grechhyna dalam artikel, “On the Determinant of Political Polarization (2016) menemukan kesimpulan, faktor sosio historis dan fenomena ekonomi mempengaruhi polarisasi di masyarakat. Ada 10 faktor yang menjadi penentu yaitu produk domestik bruto per kapita, kesenjangan pendapatan, globalisasi, pembelanjaan pemerintah, independensi media, fraksionalisasi etnolinguistik, kepercayaan, demokrasi, kepadatan penduduk dan faktor geografis. Dan yang paling determinan menentukan adalah kepercayaan dan kesenjangan pendapatan. (Catatan Satu Meja, halaman 137).
Semua masalah itu ada di Indonesia. Karena itulah, meski pemilu adalah instrumen demokrasi untuk memilih pemimpin, tetaplah perlu pergerakan di media sosial maupun akar rumput, untuk merajutkan kembali keindonesiaan, beberapa jam setelah hasil hitung cepat memperkirakan siapa pemimpin Indonesia 2019-2024.
Bangsa ini sudah terlalu banyak politisi, namun miskin negarawan. Ketika politisi hanya berpikir pemilihan, negarawan memikirkan jauh masa depan bangsanya. Pemilu 2019 akan menentukan Indonesia akan menjadi masyarakat yang terbelah atau masyarakat yang dewasa untuk kembali berekonsiliasi. Upaya inilah yang harus digagas dan diciptakan. Kompetisi kemudian rekonsiliasi.