Puncak Bonus Demografi Makin Dekat, Kualitas SDM Masih Jauh dari Ideal
Tahun 2019 segera menjelang. Puncak bonus demografi yang singkat kian mendekat. Di tengah hadangan era Industri 4.0 yang mengubah struktur dan pola ekonomi, persiapan menggapai bonus yang tak gratis itu masih sangat lambat. Peluang untuk melompat menjadi negara maju pun bisa terbuang sia-sia.
Tahun depan, Indonesia memiliki 183 juta penduduk usia produktif berumur 15-64 tahun. Jumlah itu hampir setara dengan 1,5 kali penduduk Jepang. Banyaknya penduduk usia produktif itu adalah modal besar pembangunan.
Namun, modal besar itu akan termanfaatkan jika penduduknya berkualitas, produktif dan tersedianya lapangan kerja. Tentu bukan asal bekerja, namun pekerjaan yang mampu menyejahterakan pekerjanya hingga mereka mampu menabung dan berinvestasi untuk masa depan.
Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045 memprediksi puncak bonus demografi terjadi pada 2021-2022. Meski proyeksi buatan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pusat Statistik dan Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) itu masih diperdebatkan para ahli demografi, tapi proyeksi itu jadi acuan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024.
Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045 memprediksi puncak bonus demografi terjadi pada 2021-2022.
Meski waktu yang tersisa menuju puncak bonus demografi sangat singkat, nyatanya kualitas sumber daya manusia Indonesia masih jauh dari ideal. Nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia 2018 baru 0,694, lebih rendah dari nilai global 0,728. Dengan nilai IPM yang sama dengan Vietnam, kedua negara menduduki peringkat 116 dari 189 negara.
Di kawasan ASEAN, nilai IPM Indonesia kalah dibanding Singapura yang ada di peringkat 9, Brunei Darussalam (39), Malaysia (57), Thailand (83) dan Filipina (113).
Dalam penilaian IPM itu, orang Indonesia memiliki harapan lama sekolah yang cukup tinggi mencapai 12,8 tahun. Namun rata-rata lama sekolahnya baru 8 tahun atau setara kelas 8 sekolah menengah pertama.
Tak hanya rata-rata lama sekolah yang rendah, kualitas pendidikan pun masih jadi masalah besar. Uji tiga tahunan Program Penilaian Siswa Internasional (PISA) untuk siswa usia 15 tahun atau kelas 9 di bidang sains, membaca dan matematika menunjukkan nilai siswa Indonesia pada 2015 hanya 403, jauh lebih rendah dari nilai rata-rata global sebesar 493.
Rendahnya nilai PISA itu menunjukkan kualitas siswa Indonesia yang lemah dalam bernalar dan berargumentasi lisan dan tulisan. Lemahnya kemampuan berpikir kritis dan kreatif serta berkomunikasi dan berbahasa merupakan buah dari proses pembelajaran yang lebih menekankan pada hafalan dan pengulangan buku teks.
Rendahnya nilai PISA itu menunjukkan kualitas siswa Indonesia yang lemah dalam bernalar dan berargumentasi lisan dan tulisan.
Kemampuan berpikir yang rendah itu mungkin cukup jika ingin jadi pekerja kasar. Namun jika pembangunan mengarah ke Industri 4.0 yang mengedepankan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendorong inovasi, jelas kemampuan itu jauh dari memadai.
Bukan saja kompetensi teknis (hardskill), kompetensi lunak (softskill) yang berfungsi untuk membentuk karakter, berkomunikasi, hingga bekerja dalam tim pun masih menjadi tantangan berat.
Posisi Indonesia dalam Indeks Daya Saing Global (GCI) 2017-2018 memang membaik, naik dari peringkat 41 dari 138 negara pada 2016-2017 menjadi ranking 36 dari 137 negara. Namun, persoalan sumber daya manusia yang menghambat kemudahan berbisnis di Indonesia masih sama, mulai rendahnya kemampuan inovasi, kualifikasi pendidikan tidak memadai, kualitas kesehatan masyarakat yang buruk hingga rendahnya etika kerja.
Lemahnya kompetensi lunak itu menunjukkan proses pendidikan harus dibenahi. Pendidikan yang menekankan pada kemampuan kognitif siswa semata nyatanya tak memenuhi tuntutan dunia kerja. Karena itu, penanaman nilai dan pembentukan karakter siswa perlu ditata ulang.
Sementara itu, masalah kesehatan masyarakat yang buruk berimbas pada rendahnya produktivitas pekerja. Pekerja formal Indonesia memang telah memiliki jaminan pembiayaan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat. Namun aspek pencegahan penyakit masih kurang terperhatikan.
Buruknya pola makan, kurangnya aktivitas fisik, hingga paparan rokok yang sulit dikendalikan membuat banyak penyakit degenarif dialami para pekerja di usia yang sangat muda. Situasi itu sangat memengaruhi produktivitas pekerja yang akhirnya turun membebani perusahaan dan negara.
Persoalan lain, lemahnya kemampuan berpikir anak Indonesia tidak terlepas dari buruknya kondisi kesehatan mereka sejak lahir. Selama hampir 15 tahun terakhir, lebih sepertiga balita Indonesia mengalami stunting atau tumbuh lebih pendek dari yang seharusnya sesuai umur mereka. Pendek hanya salah satu manifestasi dari kondisi yang terjadi, namun yang lebih parah, kemampuan berpikir dan otak mereka tidak bisa berkembang optimal.
Kebijakan
Untuk mengatasi semua itu, dibutuhkan kebijakan pemerintah yang berkesinambungan, tidak mudah berubah saat kepemimpinan politik berganti. Kebijakan dengan visi yang jauh ke depan dan berkesinambungan itu juga harus memperhatikan kelompok sasaran mengingat kelompok penduduk produktif terentang dalam umur yang sangat panjang.
Untuk kelompok muda yang masih menempuh pendidikan, upaya mendorong partisipasi pendidikan tetap harus dilakukan. Meski peluang belajar makin baik, angka partisipasi murni sekolah menengah atas dan perguruan tinggi di Indonesia pada 2017 baru mencapai 60,19 persen dan 18,62 persen. Jumlah itu jauh lebih rendah dibanding negara maju atau negara ASEAN yang lebih baik kesejahteraannya.
Kurikulum pendidikan juga harus mampu menjawab tuntutan Industri 4.0. Berbagai kemampuan terkait teknologi informasi dan komunikasi mutlak diperlukan, namun siswa perlu dibekali dengan keterampilan lain yang tak bisa dilakukan mesin atau robot.
“Nilai, kepercayaan, berpikir mandiri, kerja sama dan kepedulian adalah kompetensi lunak yang perlu diajarkan pada siswa,” kata pendiri perusahaan e-dagang raksasa Ali Baba, Jack MA dalam Forum Ekonomi Dunia (WEF) Januari 2018.
Kemampuan beradaptasi
Sementara untuk menghadapi perubahan zaman yang cepat, Guru Besar Matematika Institut Teknologi Bandung Iwan Pranoto mengingatkan anak Indonesia harus dilatih mengantisipasi perubahan yang sering tak terduga. Kemampuan itu membuat mereka lebih mampu beradaptasi menghadapi ketidakpastian masa depan. (Kompas, 1 Oktober 2018)
Namun kemampuan adaptasi itu juga perlu diberikan kepada tenaga produktif yang berumur lebih lanjut. Balai Latihan Kerja yang ada di berbagai daerah bisa dioptimalkan untuk memberikan keterampilan-keterampilan baru bagi mereka sehingga pekerja berumur lanjut pun memiliki peluang yang sama untuk bersaing dan tidak tersisih akibat perubahan zaman.
Untuk memperbaiki kualitas tenaga kerja Indonesia, sektor pendidikan saja tidak cukup. Peningkatan kualitas kesehatan mereka juga harus diperhatikan, khususnya pada 1.000 hari pertama kehidupan atau sejak janin terbentuk hingga anak berumur dua tahun.
Perbaikan kualitas kesehatan itu tidak bisa dilakukan hanya oleh kementerian atau lembaga yang mengurusi kesehatan. Keterlibatan kementerian yang mengurusi infrastruktur mutlak diperlukan karena banyak persoalan kesehatan anak-anak Indonesia terjadi akibat buruknya sarana air bersih dan sanitasi.
Segala hal untuk memperbaiki pendidikan dan kesehatan anak Indonesia harus segara dilakukan karena puncak bonus demografi tinggal dua tahun lagi. Jika tidak, puncak bonus akan lewat dan tergantikan dengan persoalan baru yang membebani pembangunan, khususnya lonjakan jumlah lansia.
Kegagalan memanfaatkan bonus demografi itu akan menjadikan penduduk Indonesia yang besar, keempat terbanyak di dunia, hanya menjadi beban dan menjadi bencana kependudukan. Situasi itu bisa membuat Indonesia masuk ke dalam jebakan kelas menengah yang membuat rakyat Indonesia keburu tua sebelum sempat menjadi kaya.