Zonasi Pariwisata Bali Diwujudkan 2019
DENPASAR, KOMPAS — Wakil Gubernur Bali Tjokorda Arta Ardhana Sukawati berjanji segera membenahi tata kelola pariwisata Bali secara menyeluruh. Zonasi pariwisata pun harus direalisasikan pada tahun 2019. Selama ini, zonasi wisata masih pada tataran wacana dan belum tersusun rapi.
Hingga Jumat (14/12/2018), pariwisata Bali masih terpusat pada destinasi di wilayah selatan, yakni Kota Denpasar serta Kabupaten Badung, Gianyar, dan Tabanan.
”Ya, tahun depan (zonasi pariwisata) segera diwujudkan. Penting untuk Bali menuju one island management. Pariwisata perlu terus dibenahi,” kata Cok Ace, panggilan Wakil Gubernur Bali yang juga Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali ini.
Ia menambahkan, zonasi itu kemungkinan tidak berbasis wilayah kabupaten/kota, tetapi dimungkinkan berdasarkan jenis wisatanya. Hal ini diharapkan mampu menyebar wisatawan, terutama asing, untuk tidak hanya berkunjung ke wilayah selatan, tetapi juga ke utara, barat, dan timur Bali.
Soal destinasi, menurut Cok Ace, Bali sudah memiliki terlalu banyak destinasi. Hal yang paling menjadi tantangan ke depan adalah pembenahan destinasi. Oleh karena itu, usulan zonasi yang terus ditekankan berdasarkan kajian Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali perlu dipertimbangkan untuk penyusunan kebijakan terkait pariwisata Bali ke depan.
Calon investor
Menurut Kepala Kantor Perwakilan BI Provinsi Bali Causa Iman Karana, kajian tersebut merupakan usulan saja. ”Tidak ada pemaksaan agar pemerintah Bali mengacu kajian BI Provinsi Bali. Hanya saja, zonasi ini menurut analisis BI Bali memungkinkan memberi dampak ke perekonomian, terutama mempermudah menarik calon investor di bidang pariwisata,” tuturnya.
Berdasarkan zonasi kajian itu, wilayah Kuta (Badung) merupakan zona mass tourism dan tidak perlu memaksakan untuk mengubah ke golongan turis kelas atas. Sementara zona turis kelas MICE (pertemuan, insentif, konvensi, dan ekshibisi) berada di Nusa Dua. Adapun zona wisatawan menengah ke atas dengan potensi belanja tinggi berada di Ubud (Gianyar).
”Hal ini beberapa contoh saja dan terserah pihak pemerintah Bali untuk memanfaatkannya dalam pengambilan kebijakan,” ujar Iman.
Pada paparan akhir tahun BI Provinsi Bali, bidang usaha pariwisata masih menjadi tantangan ekonomi Bali. Berdasarkan perhitungan tahun 2017 (mengacu pada Neraca Satelit Pariwisata Nasional atau Nesparnas 2017), kontribusi bagian bidang usaha pariwisata tercatat 52,99 persen terhadap ekonomi Bali.
Angka ini masih menunjukkan kerentanan terhadap kontinuitas dan kesinambungan pertumbuhan ekonomi. Hal itu misalnya jika di Bali terjadi bencana atau terdampak bencana dari daerah lain, seperti penutupan Bandara Internasional Ngurah Rai karena Gunung Agung (Bali) dan Gunung Barujari (Jawa Timur).
Penutupan bandara ini, ujar Iman, memengaruhi ekonomi Bali, khususnya pariwisata. Kedatangan wisatawan menurun sehingga membuat pertumbuhan ekonomi melambat. Saat terjadi bencana di Lombok (NTB), wisata Bali juga terpengaruh.
”Karena itu, Bali perlu mengatasi tantangan ekonomi dengan pengembangan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru melalui hilirisasi komoditas pasar ekspor, seperti kopi dan kakao. Pengembangan industri kreatif yang juga terus maju di Bali menjadi tak kalah penting dikembangkan,” tutur Iman.
Rata-rata lama tinggal wisatawan di Bali, lanjut Iman, masih belum bertambah dari 2-3 hari. Lama tinggal menjadi salah satu harapan wisatawan akan menambah belanja di Bali. Namun, kualitas wisata Bali dianggap bertambah baik dengan mulai beragam dan kreatif, tidak hanya berbasis pantai dan mengandalkan pesona alam.
Rekomendasi lainnya, selain zonasi, kajian BI Provinsi Bali memberi catatan agar pemerintah setempat mengembangkan paket wisata minat khusus. Paket wisata khusus ini antara lain medical tourism, sport tourism, dan retired tourism. Negara-negara yang perlu dijajaki dan berpotensi selain China, Australia, Arab Saudi, dan India adalah negara-negara di kawasan Eropa Tengah, Timur Tengah, Rusia, serta beberapa kawasan di Afrika.
”Jangan lupa, pertemuan IMF-Bank Dunia pada bulan Oktober lalu mampu menambah nilai jual Bali di bidang MICE yang berskala internasional. Diperkirakan event ini memberikan kontribusi pada triwulan IV tahun 2018, yang bertumbuh 6,8-7,2 persen,” katanya.
Bali saat ini bertumbuh 6,2 persen, naik dari tahun lalu yang tercatat 6,11 persen. Cok Ace berharap, pada tahun 2019 Bali dapat bertumbuh hingga 6,6 persen.