Jalan Buntu bagi Theresa May
Drama politik dalam sepekan terakhir menunjukkan bahwa kesepakatan Brexit yang diperjuangkan Perdana Menteri Inggris Theresa May semakin mengarah kepada ketidakpastian. Kemungkinan bahwa Inggris akan keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan makin besar.
Setelah didera kekalahan berturut-turut pada pekan lalu di parlemen, pada hari Kamis (13/12/2018) Perdana Menteri Theresa May bisa sejenak menarik napas lega. Ia lolos dari upaya kudeta anggota parlemen Konservatif yang mengajukan mosi tidak percaya terhadap kepemimpinannya di partai.
Dalam voting yang krusial itu, May lolos dengan selisih 200 berbanding 117 suara. Dibutuhkan minimal 158 suara untuk melengserkannya sebagai ketua Partai Konservatif.
Kemenangan May juga harus dibayar mahal karena May berjanji akan mundur sebagai ketua partai jika seluruh proses Brexit telah terlewati dan Inggris bisa keluar dari Uni Eropa (UE) dengan mulus dan teratur. Dengan demikian, May tidak akan mencalonkan diri dalam pemilihan umum 2022.
Voting yang dilakukan Partai Konservatif itu juga memberi sedikit keleluasaan bagi May untuk menyelesaikan urusan Brexit karena Konservatif tidak bisa mengajukan mosi tidak percaya lagi kepada May sedikitnya setahun ke depan.
Persoalannya, perjuangan May untuk meloloskan kesepakatan Brexit di parlemen justru jauh lebih berat. Dengan jumlah pembangkang partai yang mencapai 117 orang, sudah dipastikan kesepakatan Brexit yang diusulkannya akan ditolak parlemen, bahkan kemungkinan dengan suara telak.
Dari 650 kursi di parlemen, partai oposisi Buruh memiliki 257 kursi dan secara solid menyatakan akan menolak kesepakatan. Partai Nasionalis Skotlandia (35) dan Liberal Demokrat (11) juga menyatakan akan menolak. Bahkan mitra koalisi pemerintah, Partai Unionis Demokrat (DUP), yang memiliki 10 kursi, juga menyatakan akan menolak karena tidak sepakat dengan backstop Irlandia Utara.
Perlakuan parlemen terhadap May sudah tergambar pada awal Desember lalu ketika mereka melakukan voting dan menyatakan bahwa pemerintahan May telah melakukan penghinaan kepada parlemen (contempt of parliament). Alasannya, May tidak memublikasikan pandangan Jaksa Agung Inggris mengenai kesepakatan Brexit. Hasil voting saat itu menunjukkan selisih suara 311 berbanding 293. Selain itu, parlemen juga kini memiliki hak yang lebih besar untuk menyetir proses Brexit jika kesepakatan May ditolak parlemen.
Ditolak UE
Menurut rencana, pemungutan suara akan dilakukan sebelum 21 Januari 2019. Dengan waktu yang demikian pendek, apa yang bisa dilakukan May? Ia mencari bantuan ke UE yang sedang melaksanakan konferensi tingkat tinggi di Brussels, Belgia. May mencoba meyakinkan para pemimpin UE untuk membantunya dengan memberikan ”revisi” pada kesepakatan Brexit terkait backstop di perbatasan Irlandia Utara.
Backstop merupakan komitmen Inggris dan UE untuk menghindari perbatasan fisik antara Irlandia Utara (Inggris) dan Republik Irlandia (UE) sesuai dengan Kesepakatan Jumat Agung 1998, terlepas apakah kelak Brexit berakhir dengan kesepakatan atau tidak.
Berhubung belum ditemukan formula yang pas tentang pengaturan perbatasan, maka pergerakan bebas barang dan orang dari Irlandia Utara ke Irlandia dan sebaliknya akan mengikuti aturan bea cukai UE sampai tercapai kesepakatan perdagangan bebas Inggris-UE. Hal inilah yang ditentang kubu pro Brexit karena periode backstop membuat Inggris tetap terbelenggu pada aturan UE.
Brussels kemarin menanggapi permintaan May dengan menegaskan, UE tidak akan menegosiasikan kembali kesepakatan yang tebalnya 585 halaman itu. UE, yang sepanjang dua tahun perundingan berkali-kali merasa frustrasi dengan sikap Inggris yang berubah-ubah, merasa persoalan terbesar adalah terletak pada politisi dan Pemerintah Inggris yang tidak siap untuk lepas dari UE, tetapi juga tidak mau ikut dalam aturan UE.
Itu sebabnya UE memberikan masa transisi selama 21 bulan agar Inggris bisa menata dirinya sebelum benar-benar keluar dari UE. Dalam masa transisi itu, Inggris akan memperoleh semua keuntungan seperti yang diperolehnya saat ia menjadi anggota UE, hanya tanpa hak suara. Namun, jika Brexit berakhir tanpa kesepakatan, masa transisi tersebut tidak akan berlaku. Inggris akan putus hubungan total tanpa ada kesepakatan apa pun. UE menyatakan siap dengan kemungkinan ini.
Jika ditolak
Opsi yang kini tersedia bagi masa depan Inggris ada tiga, yaitu Brexit dengan kesepakatan yang diusulkan May, Brexit tanpa kesepakatan, dan tidak ada Brexit (tetap bersama UE). Jika parlemen menolak kesepakatan Brexit sebelum 21 Januari 2019, May masih memiliki kesempatan untuk voting putaran kedua meskipun hasilnya kemungkinan tidak jauh berbeda jika May tidak mampu mengajukan kesepakatan yang diperbarui.
Parlemen bisa memilih Inggris akan keluar dari UE pada 29 Maret tanpa kesepakatan. Ini merupakan pilihan yang paling buruk karena akan menyulut guncangan politik, ekonomi, dan sosial seperti yang diprediksi para ahli di kedua belah pihak. Partai Sinn Fein di Irlandia Utara sudah mendeklarasikan, jika Brexit berakhir tanpa kesepakatan, mereka akan melakukan referendum untuk bergabung dengan Republik Irlandia. Partai Nasionalis Skotlandia juga akan mengambil langkah serupa, menggalang referendum untuk berpisah dari Inggris.
Jika Parlemen menolak kesepakatan Brexit usulan May, te- tapi tidak ingin Brexit berakhir tanpa kesepakatan, parlemen bisa menyerahkan pilihan kepada rakyat Inggris melalui referendum kedua Brexit. Namun, melaksanakan referendum bukan soal gampang. Komisi pemilu menyatakan, minimal dibutuhkan 22 pekan untuk mempersiapkan referendum. Seandainya prosesnya pun dipercepat, kendala muncul soal pertanyaan di kertas suara. Sejauh ini ada tiga opsi, yaitu Brexit’s May, Brexit Without Deal, dan No Brexit.
Kendala berikutnya akan menjadi tidak adil jika suara untuk satu pilihan hanya memperoleh 30-40 persen suara, yang berarti tidak merepresentasikan mayoritas. Oleh karena itu, ada pertimbangan untuk menjadikan referendum bertingkat. Dua pilihan yang memperoleh suara tertinggi akan diadu kembali di referendum tahap final.
Namun, jika mayoritas anggota parlemen memilih menyelenggarakan percepatan pemilu, ketidakpastian politik akan semakin besar, khususnya jika yang memenangi pemilu adalah Partai Buruh pimpinan Jeremy Corbyn. Untuk opsi ini, para anggota parlemen dari Partai Konservatif sepertinya akan kompak menolak percepatan pemilu.
Persoalan utama yang muncul apabila parlemen memilih referendum ataupun percepatan pemilu adalah soal waktu. Sebab, Inggris harus keluar pada 29 Maret 2019. Oleh karena itu, jika sampai opsi ini yang dipilih, Inggris harus meminta izin agar tanggal perceraian diperpanjang, dan izin tersebut harus disetujui oleh ke-27 negara UE.
Dengan kata lain, tiga bulan menjelang tenggat perceraian, yang pasti dalam perkembangan ini adalah ketidakpastian arah Brexit.