Keterlaluan! Barangkali hanya sekata itu yang tepat menggambarkan betapa destruktifnya korupsi terus merusak watak banyak pemegang mandat rakyat di negeri ini. Satu per satu pemimpin di daerah bertumbangan. Mereka bukan pemimpin yang tegar, tetapi justru terkapar tak mampu menahan godaan korupsi. Bukannya memikirkan rakyat malah memusingkan rakyat. Bayangkan, masak setiap bulan di tahun 2018 ini sedikitnya ada dua kepala daerah ditangkap KPK. Belum lagi anggota DPRD dan pejabat birokrasi. Operasi tangkap tangan (OTT) terakhir menyeret Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar bersama beberapa pejabat Pemkab Cianjur, Rabu (12/12/2018). Irvan diduga korupsi dana pendidikan. Keterangan KPK menyebutkan sekitar 14,5 persen dana alokasi khusus untuk membangun fasilitas 140 SMP ditilep. Bupati dan para pejabat diduga memeras kepala SMP. Bahkan, saat OTT, uang haram Rp 1,5 miliar ditransaksikan di halaman Masjid Agung Cianjur selepas Subuh.
Kerakusan telah meredupkan masa depan anak-anak usia sekolah. Hak mereka untuk mendapatkan pendidikan layak tercampakkan. Bukannya menyiapkan jalan mulus untuk dilewati anak-anak yang akan menjadi generasi harapan bangsa di masa depan, sebaliknya justru menutup semua pintu harapan anak-anak tentang masa depannya. Padahal, anak-anak adalah masa depan negeri ini. Para koruptor telah merampas masa depan negeri ini. Bisa jadi, itulah yang membuat masyarakat marah. Saking jengkelnya, tak heran ada masyarakat yang menganggap penangkapan Irvan sebagai ”berkah”. Bentuk ”rasa syukurnya” macam-macam. Ada yang menggelar nazar mencukur rambut secara massal, ada angkot yang menggratiskan sebagai bonus OTT KPK, hingga warga berbondong-bondong memenuhi alun-alun pada Jumat (14/12) siang.
Sebetulnya Irvan adalah pemimpin yang dapat menjadi harapan. Sebab, ia masih muda (kelahiran tahun 1980), termasuk generasi milenial. Generasi milenial sesungguhnya merupakan tumpuan harapan yang akan memegang mandat penyelenggara negeri ini dalam rentang sekitar 30 tahun mendatang. ”Tugas anak-anak muda adalah melawan korupsi,” kata Kurt Cobain (1967-1994), vokalis Nirvana. Tetapi, sayang sudah layu sebelum benar-benar berkembang mekar, seperti halnya Zumi Zola (juga kelahiran 1980), mantan Gubernur Jambi, yang bulan lalu divonis 6 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Inilah anomali negeri ini. Korupsi yang kita tahu menjadi kanker ganas sering kali cuma sebatas komoditas politik ketimbang gerakan serius yang benar-benar ingin diberantas sampai ke akar-akarnya. Banyak kepala daerah atau politikus berkoar-koar antikorupsi, bahkan membuat pakta integritas, tetapi berulang kali ada yang tertangkap KPK. Misalnya pada 1 Maret 2016 Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti memimpin 1.108 pejabat di lingkungan Pemprov Bengkulu untuk meneken pakta integritas, bahkan disaksikan Ketua KPK Agus Rahardjo. Tetapi, lebih dari setahun kemudian, sang gubernur ditangkap KPK, malah menyeret istrinya juga.
Apabila mencermati korupsi yang semakin hari kian menyeramkan, pantas saja Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra yang juga calon presiden di Pilpres 2019, bilang bahwa korupsi sudah sampai stadium 4. Posisi stadium 4 itu berarti korupsi sudah menyebar ke seluruh organ, dengan tingkat harapan hidup penderita yang begitu rendah. Artinya, korupsi akan membenamkan negeri ini ke dasar samudra.
Namun, di tengah kegawatan seperti itu, justru tidak linier dengan upaya konkret partai politik. Seharusnya parpol bisa berperan lebih proaktif dan dominan untuk mencegah menjalarnya korupsi, karena parpol adalah ”rumah” kepala daerah dan politikus. Biasanya parpol akan menggunakan dalih asas praduga tak bersalah hingga menunggu sampai kasusnya berkekuatan hukum tetap. Bukti paling jelas adalah pencalonan anggota legislatif pada Pemilu 2019. Mayoritas parpol tetap mencalonkan orang-orang yang pernah terjerat korupsi dalam daftar calon anggota legislatif (caleg).
Masalah caleg bekas narapidana korupsi ini memang sempat menimbulkan pro-kontra beberapa waktu lalu. KPU mencoba mencegah dengan peraturan yang melarang bekas narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, dan kasus kejahatan seksual terhadap anak menjadi caleg. Namun, Mahkamah Agung membolehkan bekas koruptor menjadi caleg asalkan mengumumkannya ke publik. Peraturan KPU dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu (Nomor 7 Tahun 2017). Memang tak boleh membatasi hak politik warga negara, termasuk bekas narapidana korupsi. Namun, ingat juga bahwa hak rakyat untuk hidup di negara yang bebas dari korupsi.
Kalau demikian, lalu bagaimana kita mengaitkan dengan kondisi korupsi yang sudah stadium 4? Apakah sekadar retorika politik atau hanya untuk konsumsi kampanye politik? Maklum pilpres dan pemilu sekitar empat bulan lagi. Semua politikus dan capres-cawapres sibuk-sibuknya berebut panggung demi mendulang suara rakyat. Kasihan rakyat kalau agenda pemberantasan korupsi cuma sebatas kampanye politik. Padahal, ”Korupsi adalah kanker, yang menggerogoti kepercayaan masyarakat demokratis, mengurangi naluri inovasi dan kreativitas; mengesampingkan investasi penting. Ini membuang bakat seluruh generasi,” kata Joe Biden, Wapres AS (2009-2017), ”dan memerangi korupsi bukan hanya pemerintahan yang baik. Ini pertahanan diri. Ini patriotisme.” Ya, di negeri ini di mana patriotisme itu?