Menakar Komitmen Kesehatan Capres-Cawapres
Prevalensi penyakit tidak menular terus naik dan menyebabkan kesakitan juga kematian yang tinggi. Negara pun akan terbebani dengan biaya kesehatan yang tinggi. Akhirnya, produktivitas dan kualitas hidup manusia Indonesia pun tergerogoti.
Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi stroke, naik dari 7 per mil (1.000 penduduk) di tahun 2013 menjadi 10,9 per mil tahun 2018. Prevalensi penyakit jantung untuk semua kelompok umur sebesar 1,5 persen. Begitu juga dengan prevalensi kanker yang naik dari 1,4 per mil tahun 2013 menjadi 1,8 per mil di tahun 2018.
Orang yang terkena stroke atau mengalami serangan jantung juga semakin banyak. Bahkan, di masyarakat banyak ditemui pasien penyakit tidak menular masih berada pada rentang usia 30-40 tahunan.
Sebenarnya fakta tersebut tidaklah mengherankan jika kita lihat data faktor risiko. Salah satu faktor risiko utama terjadinya penyakit tidak menular adalah merokok yang tidak sungguh-sungguh dikendalikan dengan serius sejak dini.
Riskesdas 2018 menunjukkan adanya peningkatan prevalensi merokok penduduk kelompok umur 10-18 tahun dari 7,2 persen tahun 2013 menjadi 9,1 persen tahun 2018. Padahal, target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) menargetkan tahun 2019 prevalensinya sebesar 5,4 persen.
Riskesdas 2018 menunjukkan adanya peningkatan prevalensi merokok penduduk kelompok umur 10-18 tahun dari 7,2 persen tahun 2013 menjadi 9,1 persen tahun 2018.
Adiksi rokok merupakan persoalan yang berdampak multidimensi bagi bangsa ini. Namun, capaian program pengendalian tembakau oleh pemerintah berjalan begitu lambat. Ini terlihat dari prevalensi merokok penduduk umur 10 tahun ke atas yang hanya bergeser 0,5 persen dari 29,3 persen menjadi 28,8 persen dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Kini, Indonesia memasuki tahun politik. Dua pasangan calon presiden-wakil presiden berkontestasi untuk Pilpres 2019, yaitu Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Melalui visi dan misinya mereka menawarkan solusi atas persoalan bangsa ini termasuk persoalan bidang kesehatan, tak terkecuali soal epidemi tembakau yang telah berdampak multidimensi pada bangsa ini.
Kualitas manusia
Pasangan Jokowi-Ma’ruf menempatkan peningkatan kualitas manusia Indonesia sebagai urutan pertama dari sembilan misinya. Jokowi berkomitmen pada pembangunan manusia setelah selama ini fokus pada pembangunan infrastruktur.
Komitmen ini diterjemahkan dalam enam program aksi yang dua di antaranya berkaitan dengan kesehatan, yaitu penurunan angka stunting dan reformasi sistem kesehatan. Merokok, kurang aktivitas fisik, pola makan tidak sehat sebagai faktor risiko utama terjadinya penyakit tidak menular tidak disinggung sama sekali.
Dalam penurunan stunting, ada beberapa yang disebut eksplisit, antara lain, jaminan asupan gizi, perbaikan pola asuh keluarga, perbaikan fasilitas air bersih dan sanitasi. Sementara dalam reformasi sistem kesehatan ada penguatan promotif preventif, peningkatan akses warga miskin terhadap program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pemerataan pelayanan kesehatan di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar, serta penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).
Juru bicara Tim Kampanye Nasional pasangan Jokowi-Ma’ruf, Meutya Hafid, menyampaikan, visi misi yang telah didaftarkan pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu bukan sesuatu yang baru sama sekali melainkan kelanjutan dari Nawacita yang digulirkan pada periode 2014-2019.
“Saat ini adalah periode infrastruktur sebagai pembuluh darah pembangunan. Tahap berikutnya adalah periode pembangunan manusia, bagaimana menciptakan kualitas sumber daya manusia yang baik,” ujarnya.
Di bidang kesehatan, salah satu upaya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas adalah dengan Program Indonesia Sehat yang mengedepankan pendekatan promotif dan preventif. Meski begitu, sisi pengendalian faktor risiko penyakit tidak terlihat sama sekali dalam visi misi pasangan ini. Meutya mengakui bahwa isu pengendalian tembakau sama sekali tidak dibahas khusus ketika merumuskan visi dan misi.
Layanan kesehatan
Pasangan Prabowo-Sandiaga dalam visi-misinya juga menekankan pada paradigma sehat. Beberapa hal yang disebut secara eksplisit adalah peningkatan kualitas pelayanan kesehatan yang merata, memastikan ketersediaan obat di fasilitas kesehatan, perbaikan gizi untuk mencegah stunting, penguatan tata kelola JKN, serta peningkatan anggaran kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga untuk mengatasi terjadinya AKB dan AKI.
Salah seorang juru bicara tim Badan Pemenangan Nasional pasangan Prabowo-Sandiaga, Irene, menyampaikan, visi misi yang mereka buat bersumber pada landasan negara yang selama ini belum maksimal atau luput dari perhatian pemerintah, yaitu menjamin hak warga negara mendapat pelayanan kesehatan yang layak di mana pun mereka berada. Visi misi Prabowo-Sandiaga adalah bentuk hajat hidup masyarakat yang selama ini belum terakomodasi dengan baik. Salah satu persoalan yang harus diselesaikan adalah defisit JKN.
Irene mengatakan, visi misi Prabowo-Sandiaga juga menekankan pentingnya pelayanan kesehatan ibu yang belum memadai sebagai salah satu faktor penyebab tingginya AKB dan AKI. Untuk itu, pemerintah dinilai harus menggencarkan pembangunan dan peningkatan kualitas pelayanan di puskesmas.
Ketika ditanya lebih jauh bagaimana pandangan dan program pasangan Prabowo-Sandiaga terkait pengendalian faktor risiko penyakit tidak menular termasuk menekan konsumsi rokok Irene tidak menjawab. Juru bicara pasangan Prabowo-Sandiaga lainnya, Gamal Albinsaid, yang sebelumnya berkomitmen memberikan jawaban pun pada akhirnya tidak memberikan jawaban.
Tak ada terobosan
Meski menekankan pada paradigma sehat, dalam visi misi kedua pasangan capres-cawapres tersebut tidak terlihat ada program terobosan yang ditawarkan untuk mengendalikan faktor-faktor risiko penyakit tidak menular yang dominan saat ini.
Tidak terlihat ada program terobosan yang ditawarkan untuk mengendalikan faktor-faktor risiko penyakit tidak menular yang dominan saat ini.
Secara logika sederhana, jika pasangan capres-cawapres berkomitmen pada upaya promotif dan preventif, maka seharusnya upaya mencegah tingginya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit tidak menular dengan menekan konsumsi rokok menjadi program aksi utama yang ditawarkan kepada publik. Akan tetapi, ternyata program penurunan konsumsi rokok tidak disebut eksplisit.
Pakar ekonomi politik yang juga peneliti pada Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, menyayangkan penurunan konsumsi rokok tidak menjadi perhatian kedua pasangan capres-cawapres. Sebagai faktor risiko utama penyakit tidak menular seharusnya penurunan prevalensi merokok disebutkan secara eksplisit sebagai target yang terukur dan ingin dicapai untuk menjadikan penduduk makin sehat.
Tiadanya target menurunkan konsumsi rokok juga menghilangkan kesempatan untuk mengurangi beban JKN yang selama ini "berdarah-darah”. Tanpa ada target yang jelas untuk menurunkan konsumsi rokok sama dengan memberikan jaminan pertumbuhan pada penjualan rokok oleh industri.
Penurunan konsumsi rokok akan berdampak multidimensi. Tidak hanya akan membuat manusia Indonesia makin sehat seperti yang diidamkan kedua pasangan, penurunan konsumsi rokok juga bisa mengeluarkan penduduk dari jurang kemiskinan sambil di saat yang sama kecukupan nutrisi anak dan keperluan pendidikan anak bisa terpenuhi. Rokok tidak lagi menyedot pengeluaran terbesar keluarga miskin setelah makanan pokok.
Penurunan konsumsi rokok juga bisa mengeluarkan penduduk dari jurang kemiskinan sambil di saat yang sama kecukupan nutrisi anak dan keperluan pendidikan anak bisa terpenuhi.
Sementara Ilham Akhsanu Ridlo dari Kelompok Riset Kebijakan Kesehatan, Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya, menyebutkan, tidak banyak hal baru yang ditawarkan oleh dua pasangan calon presiden-wakil presiden. Bahkan, visi dan misi keduanya terkesan business as usual.
Ilham berharap kedua kandidat menyadari bahwa harus ada sinergi antara pembangunan kesehatan dengan pembangunan di sektor lainnya, seperti ekonomi dan pendidikan. Isu kesehatan seharusnya muncul di sektor-sektor itu. Namun, rupanya ini luput dari perhatian kedua pasangan calon.
Selain itu, Ilham juga mengharapkan ada pernyataan yang jelas soal keberpihakan kedua kandidat pada isu pengendalian tembakau, termasuk apakah kedua kandidat akan mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/ FCTC).