Motif di Balik Keluarnya Qatar dari OPEC
Direktur Utama Qatar Petroleum, Saad al-Kaabi, sudah lama ingin agar Qatar meninggalkan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Keinginan itu bahkan sudah ada di benaknya sebelum Doha memilih Kaabi untuk mengambil alih kepemimpinan di perusahaan pengelola kebijakan energi dalam perombakan pemerintah Qatar, bulan lalu.
Sejumlah sumber mengungkapkan, Kaabi khawatir keanggotaan Qatar di OPEC dapat menjadi batu sandungan bagi ambisi perseroan di Amerika Serikat. Di negara Paman Sam itu, Qatar Petroleum (QP) memiliki salah satu terminal gas alam cair (LNG) terbesar di dunia. Doha tidak ingin ada gangguan apapun saat negeri itu berupaya menggandakan produksi gasnya.
Undang-Undang AS yang sedang diusulkan--yang dikenal sebagai UU Anti Kartel Penghasil dan Pengekspor Minyak atau NOPEC (No Oil Producing and Exporting Cartels Act) dapat menyeret negara anggota klub pengekspor minyak itu ke dalam gugatan antitrust. Hal itu menjadi ancaman bagi QP yang berencana untuk berinvestasi miliaran dollar AS di AS.
Salah satu sumber mengatakan bahwa keluarnya Qatar sebenarnya telah disiapkan dan dipikirkan selama berbulan-bulan, didorong oleh keinginan Kaabi untuk fokus pada kekuatan Qatar dalam gas alam cair (LNG) daripada minyak. Keputusan untuk keluar dari OPEC, yang telah “dihuni” Qatar selama 57 tahun itu, diambil hanya dua hari sebelum pertemuan penting tetkait produksi minyak oleh OPEC di Vienna, Austria, pekan lalu.
Pada sisi lain, keputusan tersebut bisa dinilai juga sebagai tamparan pada Arab Saudi, yang bersama dengan Bahrain, Mesir dan Uni Emirat Arab telah memberlakukan boikot terhadap Qatar sejak Juni 2017. Absennya Emir Qatar dari KTT tahunan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) di Arab Saudi beberapa waktu lalu juga dilihat sebagai tanda belum ada akhir terkait perselisihan itu.
Keluarnya Qatar dari OPEC sebenarnya telah disiapkan dan dipikirkan selama berbulan-bulan, didorong oleh keinginan untuk fokus pada kekuatan Qatar dalam gas alam cair.
Qatar pun memilih mencari jalan sendiri di luar enam negara blok Arab Teluk yang retak itu. Meskipun demikian, Doha masih akan menyambut baik pencabutan boikot perdagangan dan transportasi yang telah memukul maskapai penerbangan nasional Qatar Airways serta perusahaan-perusahaan yang memiliki kepentingan dengan negara-negara pemboikot.
Negara-negara yang memboikot Qatar menuduh Doha telah mendukung terorisme. Doha bergeming dengan bantahannya bahwa mereka tidak mendukung terorisme.
Selain itu, Presiden AS Donald Trump selama ini juga menjadi pengritik yang vokal terhadap OPEC. Organisasi ini dinilai Terump membuat posisi harga minyak tetap tinggi. Para anggota OPEC juga dbuat bingung oleh hubungan AS-Arab Saudi terkait pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi di konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki.
Senat AS telah mengeluarkan sebuah resolusi bersama yang menyebut Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam kasus pembunuhan Khashoggi. Trump mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa dia berdiri di pihak sang Putra Mahkota sebagai penguasa dan sekutu strategis. Pangeran Mohammed sendiri diketahui telah berulang kali membantah terlibat dalam pembunuhan itu.
Namun, risiko tindakan hukum yang mungkin ada terkait NOPEC telah menjadi perhatian utama bagi Doha. Risiko itu dinilai dapat mengancam negara itu di tengah upayanya memperkuat peringkatnya sebagai produsen LNG terbesar dunia. Pihak QP dengan kepemilikan negara adalah pemilik mayoritas terminal LNG Golden Pass di Texas, di mana perusahaan minyak AS, Exxon Mobil Corp dan ConocoPhillips, memiliki saham yang lebih kecil.
QP juga mempertimbangkan untuk membeli aset gas AS dan akan segera memutuskan untuk berinvestasi lebih banyak dalam proyek Golden Pass LNG.
Di sisi lain, dalam hal minyak, Qatar adalah salah satu produsen OPEC terkecil dengan produksi sekitar 600.000 barel per hari atau 0,6 persen dari permintaan global. Namun, sebaliknya dalam hal gas. Doha adalah salah satu pemain paling berpengaruh di pasar gas global berkat produksi tahunan sebesar 77 juta ton gas alam cair.
"Kami tidak memiliki cukup bobot di OPEC untuk memiliki efek."
Produksi gas Qatar telah menjadi faktor penting dalam membantu negeri itu mengatasi boikot Arab Teluk dan berencana untuk meningkatkan kapasitas 43 persen pada 2023-2024. Kaabi mengatakan di Vienna pekan lalu bahwa sebagai produsen gas, Doha tidak melihat nilai tambah dalam menjadi anggota OPEC dan bahwa kepergiannya "100 persen bukan keputusan politik".
"Kami tidak memiliki cukup bobot di OPEC untuk memiliki efek," katanya kepada wartawan pada malam pertemuan pertama dan terakhirnya sebagai kepala delegasi OPEC Qatar.
Ambisi Kaabi
Kaabi berjanji QP akan membuat "percikan besar" segera. Sumber-sumber industri mengatakan, pintu keluar OPEC oleh Doha melahirkan tanda-tanda seorang CEO yang secara agresif menyederhanakan QP sejak memimpin tahun 2014, menggabungkan anak perusahaan dan mem-PHK ribuan karyawan untuk fokus kembali pada satu hal: menghasilkan lebih banyak gas.
"Ini konsisten dengan keinginannya untuk menyederhanakan, fokus pada minyak dan gas dan mencoba untuk menghindari hal-hal periferal yang digunakan QP. Ini sangat sejalan dengan dorongan itu untuk keluar dari kegiatan yang tidak mendasar," kata salah satu sumber.
Kaabi, seorang insinyur yang berpendidikan AS, adalah salah satu tokoh terkuat Qatar dan setelah bertahun-tahun terlibat dalam QP ia dikenal sebagai “Tuan Gas”. Meskipun bukan anggota keluarga yang berkuasa, ia bertanggung jawab atas sumber daya gas penting di sebuah negara yang hanya berpenduduk 2,6 juta orang dan dekat dengan lingkaran dalam pembuatan kebijakan.
Rencana untuk menarik diri dari OPEC kemungkinan dimulai pada Juni lalu ketika Kaabi menghadiri pembicaraan OPEC di Vienna dengan Menteri Energi saat itu, Mohammed al-Sada. Karena persoalan dengan kuartet Arab, Qatar tidak bisa lagi menghadiri pertemuan tertutup tradisional para menteri minyak dari negara-negara Arab Teluk untuk menyetujui kebijakan sebelum pembicaraan dua kali setahun dengan semua anggota OPEC.
(REUTERS)