JAKARTA, KOMPAS — Tertundanya pembangunan kilang baru dan peningkatan kapasitas kilang berpotensi membuat angka impor bahan bakar minyak membengkak. Pada 2017, nilai impor minyak mentah dan bahan bakar minyak mencapai 16,5 miliar dollar AS. Pemerintah didesak konsisten dengan cita-cita membangun kilang di dalam negeri.
Sepanjang 2017, nilai impor BBM mencapai 9 miliar dollar AS atau melampaui nilai impor minyak mentah yang sebesar 7,5 miliar dollar AS. Hingga Agustus tahun ini, nilai impor BBM juga masih lebih tinggi dari impor minyak mentah. Sebanyak 7,4 miliar dollar AS dibelanjakan untuk impor BBM, sedangkan belanja impor minyak mentah sebanyak 5,5 miliar dollar AS.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara, tertundanya penuntasan pembangunan kilang baru dan peningkatan kapasitas kilang menjadi 2026 merugikan PT Pertamina (Persero) dan dapat mengganggu kekuatan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Indonesia juga kehilangan potensi peroleh nilai tambah dari produk kilang dan petrokimia.
"Kian besarnya impor minyak dan BBM akan membuat defisit transaksi berjalan melebar. Selain itu, tertundanya kilang membuat Indonesia harus mengeluarkan devisa lebih besar untuk kebutuhan impor produk-produk petrokimia," kata Marwan, Jumat (14/12/2018), di Jakarta.
Marwan menyebut keterlambatan tersebut dapat memengaruhi kepercayaan publik terhadap kesungguhan pemerintah membangun kilang. Penundaan atau keterlambatan pembangunan kilang akan membuat Indonesia kian tergantung pada impor. Padahal, impor kerap dijadikan lahan praktik para pemburu rente sektor migas.
"Pemerintah semestinya mendukung penuh Pertamina menuntaskan program tersebut. Pembebasan lahan untuk pembangunan kilang baru sebaiknya dipermudah. Selain itu, kebijakan pemerintah di sektor hilir menggerus kemampuan finansial Pertamina," ujar Marwan.
Sebelumnya, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengakui ada keterlambatan pembangunan kilang baru dan peningkatan kilang yang ada. Namun, dirinya menolak menjelaskan apa penyebab keterlambatan tersebut. Menurut dia, keterlambatan itu masih lebih baik ketimbang tidak sama sekali.
Pada Senin (10/12/2018) lalu, Pertamina menandatangan kontrak pengerjaan rancangan, konstruksi, dan rekayasa (EPC) untuk pengembangan kilang Balikpapan, Kalimantan Timur. Perusahaan yang memenangi lelang EPC tersebut adalah SK Engineering & Construction Co Ltd, Hyundai Engineering Co Ltd, PT Rekayasa Industri, dan PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk. Pertamina juga menandatangani dokumen kerangka kerja sama dengan Overseas Oil & Gas (OOG), perusahaan migas asal Oman, untuk membangun kilang baru di Bontang, Kalimantan Timur.
Sementara itu, Presiden Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA) Tumbur Parlindungan mengatakan bahwa ambisi pemerintah membangun kilang baru harus dibarengi dengan usaha menemukan cadangan migas lewat eksplorasi. Sebab, tanpa penemuan cadangan baru, Indonesia belum sepenuhnya terbebas dari impor meski punya kilang dalam kapasitas besar.
"Semuanya amat bergantung pada hulu. Tanpa penemuan cadangan baru, kilangnya nanti akan mengolah apa? Apa selamanya bergantung pada impor? Tentu tidak bagus untuk ketahanan energi kita," ucap Tumbur.
Kapasitas kilang minyak Indonesia saat ini hanya 1 juta barrel per hari. Padahal, konsumsi BBM nasional mencapai 1,5 juta barel per hari sampai 1,6 juta barel per hari. Adapun kemampuan produksi minyak mentah di dalam negeri kurang dari 800.000 barel per hari.
Selain kilang Balikpapan, proyek pengembangan kilang dilakukan juga di kilang Cilacap, Jawa Tengah, Balongan di Jawa Barat, dan Dumai di Riau. Adapun kilang baru yang akan dibangun, selain di Bontang, ada di Tuban, Jawa Timur. Apabila seluruh proyek itu tuntas, kapasitas terpasang kilang akan naik dari 1 juta barel per hari menjadi 2 juta barel per hari.