JAKARTA, KOMPAS -- Besarnya anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk bidang pendidikan menjadikan sektor ini lahan basah bagi koruptor. Banyaknya institusi yang perlu dimonitor dan lemahnya pengawasan membuat korupsi di sektor ini sulit dicegah.
Sektor pendidikan kembali menjadi sorotan setelah ditangkapnya Bupati Cianjur, Jawa Barat Irvan Rivani Muchtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penyidik KPK menyita uang senilai Rp 1,57 miliar. Kini Irvan telah ditetapkan sebagai tersangka (Kompas, 13/12/2018).
"Ini kasus lama (berulang) dan polanya juga pola lama. Korupsi pendidikan salah satu yang paling besar dan banyak ditangani. Paling tidak masuk lima besar," kata Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan.
Ade menerangkan, dalam konstitusi diatur bahwa alokasi anggaran untuk pendidikan minimal 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara juga Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dana yang besar tersebut kemudian harus melalui banyak jenjang mulai dari pembuat kebijakan hingga institusi yang menggunakan. Alhasil, peluang dana tersebut untuk ditilap pun semakin besar.
"Pengawasannya juga lemah dengan
rentang areanya juga sangat luas," imbuhnya.
Berdasarkan kajian ICW, ada tiga lapis korupsi di sektor pendidikan. Ketiganya bisa berdiri sendiri, tetapi bisa juga berkaitan antara satu dengan yang lain. Di tingkat pusat misalnya, aktornya bisa institusi yang mengelola pendidikan di Kementerian Pendidikan atau Dewan Perwakilan Rakyat. Salah satu caranya dengan pola "tender suap", yakni daerah yang memberi suap paling banyak maka dia dapat alokasi paling besar.
Kedua, ranahnya ada tingkat daerah. Aktornya bisa kepala daerah seperti kasus di Cianjur dan dinas pendidikan. Ketiga, di level sekolah dimana pelakunya didominasi oleh kepala sekolah.
Untuk diketahui, Bupati Cianjur ditangkap KPK bersama Kepala Dinas Kabupaten Cianjur Cecep Soebandi dan Ketua Majelis Kepala Sekolah Cianjur Rudiansyah.
Ade berpendapat, korupsi di sektor pendidikan adalah sesuatu yang ironis. Pasalnya, institusi pendidikan merupakan tempat yang paling tepat untuk mengajarkan pendidikan antikorupsi.
Namun, faktanya justru bidang inilah yang menjadi lahan basah untuk dikorupsi. Contoh kecil adalah guru yang menerima hadiah dari orang tua murid.
"Itu sudah termasuk korupsi pendidikan. Tapi sekarang guru malah bangga menunjukkan dia dikasih hadiah. Ini sudah melanggar etika dia sebagai guru. Tidak bagus dalam pendidikan antikorupsi," terangnya.
Sementara itu, pengamat pendidikan Jimmy F Paat mengatakan, berulangnya korupsi di sektor ini menunjukkan sistem pencegahannya tidak bekerja. Padahal upaya untuk mencegah korupsi justru harus dimulai dari sekolah.
Salah satu caranya dengan melatih daya kritis murid terhadap penggunaan anggaran pendidikan di sekolah dan daerahnya. Paling tidak, katanya, murid dan orang tua siswa sebagai bagian dari masyarakat harus tahu seberapa banyak anggaran yang dialokasikan dan digunakan untuk apa saja.
"Misalnya sekolah terima dana Rp 100 juta, harus sampai segitu. Kalau tidak masyarakat harus menuntut," tegasnya. (SITA NURAZMI MAKHRUFAH)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.