Wisata Rakyat di Ujung Jalur Kereta
Wisata rakyat murah meriah tersembunyi di ujung jalur kereta KRL jurusan Jakarta Kota-Cikarang, dari wisata pedesaan hingga wisata arsitektur sejarah. Tempat-tempat wisata yang belum banyak dikenal itu begitu bersahaja, murah, namun semangat di baliknya terbilang luar biasa.
Tak jauh dari Stasiun Cikarang yang berada paling ujung di jalur KRL Jakarta Kota-Cikarang, tersembunyi tempat wisata bernuansa pedesaan bernama Taman Limo. Letaknya begitu tersembunyi di balik lahan pengolahan batu kerikil di Jalan Taman Limo Jatiwangi, Desa Jatiwangi, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi.
Kamis (13/12/2018), bunga-bunga marigold kuning tengah bermekaran di beberapa lokasi menarik segerombolan kupu-kupu dan lebah liar. Angsa-angsa dan belasan burung dara bebas berkeliaran di antara saung-saung makan yang berumput hijau tebal. Sementara puluhan ikan mas berukuran besar terlihat jelas dari jembatan bambu yang dibangun di atas sungai-sungai buatan.
Sesekali satwa-satwa itu menikmati makan gratis yang diberikan pengunjung. Taman wisata itu memang menyediakan makanan ikan dan burung untuk diberi pengunjung di beberapa warung yang ada di sana.
Anak-anak dan orangtua tampak berbagi keceriaan saat puluhan ikan mas besar yang tak takut manusia itu berkumpul berebut makanan saat butiran-butiran pellet ditebar.
Taman wisata keluarga ini bisa dicapai dengan perjalanan sekitar 30 menit dengan kendaraan bermotor dari Stasiun Cikarang. Jalan yang dilalui merupakan jalan-jalan perkampungan kecil dan pabrik besar pengolahan baja. Jangan khawati tersesat, sebab jalan menuju ke taman ini sudah ada di aplikasi pemandu peta Google Map.
Untuk masuk ke sana, tidak ada pungutan biaya apapun. Pengunjung bisa bebas langsung masuk dan menikmati taman, danau dan sungai buatan dari saung-saung warung makan yang banyak ada di sana. Banyak juga permainan anak-anak seperti komidi putar ukuran odong-odong serta perahu angsa di danau yang bisa disewa setiap hari.
Meskipun bukan hari libur, taman wisata seluas sekitar enam hektar itu tetap ramai pengunjung. Ada rombongan kantor, ada rombongan arisan ibu-ibu, dan anak-anak yang datang bersama orangtuanya.
Mila Nursholihah (26) rela menempuh perjalanan satu jam dari datang ke taman dari rumahnya di Tambelang. Ia datang membawa dua anaknya dan dua keponakannya yang masih balita.
Mila mengatakan, ini baru pertamakalinya ia datang ke sana. Ia tertarik datang karena banyak temannya mengunggah foto-foto di Taman Limo itu. “Katanya di sini ada pecak enak sekali, lalu ada mainan anak-anak juga. Jadi saya tertarik datang,” katanya.
Setiap akhir pekan, Taman Limo tambah meriah. Ada permainan flying fox serta panggung keseniang rakyat digelar. “Rencananya kami mau buat pertunjukan bedug untuk akhir pekan ini,” kata salah satu pengurus Taman Limo Syuhada (23).
Beragam permainan di sana harganya sangat murah, berkisar Rp 10.000-30.000 per permainan. Setelah lelah menikmati permainan atau nuansa pedesaan, ada sekitar 200 warung yang bisa dipilih. Salah satu yang paling unik adalah Waroeng Apoeng 99.
Seperti namanya, warung ini terapung di danau yang dihiasi enceng gondok. Menu andalannya adalah ikan nila goreng atau bakar pecak.
Ikan yang diolah saat dipesan itu disajikan panas-panas di atas cobek dengan dilumuri sambal bawang yang menerbitkan air liur. Ada juga beberapa olahan sayuran dan tempe tahu sebagai pelengkap nasi hangat. Untuk pelepas dahaga, tersedia kelapa muda butiran.
Harganya cukup bersahabat, dengan Rp 130.000 sudah bisa makan kenyang dan menikmati segarnya kelapa muda untuk dua orang. Namun, jangan lupa bawa uang tunai ke sana sebab belum ada pembayaran non-tunai.
Inisiatif warga
Taman Limo betul-betul wisata yang dikelola rakyat dan untuk rakyat. Harganya yang bersabahat dan tanpa pungutan untuk masuk itu membuat tempat wisata itu bisa dinikmati berbagai kalangan.
Tempat wisata ini dikelola oleh warga Desa Jatiwangi yang menamakan diri Kelompok Swadaya Masyarakat Col Blem. Nama Col Blem diambil dari lagu Doel Sumbang yang artinya lebih kurang orang susah, modal kecil, sekolah tak tinggi.
Seperti lirik lagu itu, seluruh pegawai hingga pemilik usaha adalah warga desa yang lokasinya berada di antara pabrik-pabrik dan kawasan industri itu. Rata-rata mereka adalah orang-orang merasa kurang modal usaha, tak terlalu tinggi pendidikan sehingga sulit diterima kerja di perusahaan atau pabrik di sekitarnya, sementara lahan untuk bertani makin menciut.
Salah satu pengelola Suharto bin Tu’i (38) mengatakan, Taman Limo resmi berdiri pada 2016. Keberadaannya langsung membantu ekonomi warga sekitar. Sudah sekitar 300 keluarga Desa Jatiwangi terbantu ekonominya dari taman itu.
“Kami ada juga koperasi buat pinjaman modal usaha di awal, bisa pinjam minuman dan makanan dulu, bayarnya kalau sudah laku,” kata Suharto.
Taman wisata ini terwujud atas ide sang Kepala Desa Jatiwangi yang dipanggil warga Abah Janger. Lahan tempatnya berdiri pun hanya pinjam pakai dari salah satu perusahaan di kawasan industri MM 2100 itu.
Gedung Juang
Dari Stasiun Cikarang, petualangan wisata murah bisa diteruskan ke Stasiun Tambun. Sekitar 400 meter dari sana, berdiri sebuah rumah tua peninggalan tuan tanah China yang dinamai Gedung Juang. Pengunjung bisa menjangkaunya dengan berjalan memutari lingkar luar stasiun selama 10 menit.
Bangunan dua lantai itu begitu megah di tengah warung semipermanen yang mengelilingi areal luar pagarnya. Perpaduan arsitektur Belanda dan China membuatnya semakin memukau.
Bangunan itu begitu luas, kusen pintu dan jendelanya pun amat tinggi dan lebar. Dominasi warna putih pada dinding dan hitam pada seluruh kayu menandakan pengaruh Belanda.
Sementara itu, pengaruh China tampak pada detail pahatan pintu, jendela, serta bentuk atap.
Interiornya pun tak kalah menawan. Sebagian besar dinding dilapisi panel kayu tebal bermotif persegi setinggi satu meter. Sebagian besar lantai menggunakan tegel coklat muda dengan ornamen bunga. Hanya lantai tangga yang menggunakan marmer abu-abu yang kilaunya tak berkurang saat ditempeli debu.
Baik lantai dasar maupun kedua pada dasarnya terbagi menjadi tiga baris, yaitu kanan, tengah, dan kiri. Bagian kanan dan kiri terdiri dari sejumlah ruang yang saling terhubung dengan sebuah pintu. Di ruang terakhir, pada setiap sisi, terdapat jalan untuk bertemu di ruangan luas yang berada pada sisi tengah.
Pegiat Sanggar Pejuang Asep Awaludin (35), di Bekasi, Jumat (14/12/2018), mengatakan, Gedung Juang dibangun pada 1910 oleh tuan tanah China yang bermukim di Bekasi. Tanah partikelir atau tanah untuk bisnis yang dikuasainya membentang dari Jatinegara, Bekasi, hingga Karawang. Sebagian besar merupakan areal persawahan yang membutuhkan pengawasan.
“Oleh karena itu, ada ruang teropong di atasnya,” kata Asep. Ruangan berdinding kaca itu menyembul di antara atap. Selain itu, rumah juga dilengkapi empat paviliun terpisah yang konon digunakan sebagai kantor.
Menurut Asep, tuan tanah hanya menempati rumah tersebut selama 20 tahun. Sejak 1930, bangunan sudah digunakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, baik untuk kantor maupun rumah tinggal.
Di masa revolusi fisik (1945-1949), seluruh wilayah Bekasi merupakan arena peperangan memertahankan Republik Indonesia. Rumah itu pun digunakan sebagai markas para pejuang republik. Bahkan, Presiden Soekarno pun pernah singgah ke sana, untuk keperluan perjuangan.
Namun, setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia di Den Haag pada 1949, gedung itu tidak digunakan. Lahannya yang semula mencakup hingga Stasiun Tambun sedikit demi sedikit ditempati warga. Kini, yang tertinggal hanyalah gedung utama dan empat paviliun.
Meski masih begitu megah, sebagian ruangan tidak terawat. Saat memasuki pintu utama, aroma pesing langsung menyergap. Debu bercampur sisa kotoran kelelawar yang suaranya terdengar jelas di lantai dua pun memenuhi beberapa ruangan.
Menurut Asep, areal tersebut pernah ditempati untuk kantor Pemerintah Kabupaten Bekasi pada 2013. Namun, hanya paviliunnya yang digunakan sedangkan gedung utamanya tidak.
Gedung utama direnovasi pemeritah pada 2017, yaitu pada bagian atap, cat dinding, dan kusen. Akan tetapi, tidak ada petugas khusus perawatan. Hingga saat ini, perawatan dilakukan secara sukarela oleh pegiat seni dan budaya setempat.
Mereka juga berupaya menghidupkan areal tersebut dengan membuat Museum Bekasi pada salah satu paviliun. Museum diisi dengan berbagai artikel koran serta foto-foto pada masa kolonial dan revolusi fisik, yang memberitakan berbagai peristiwa yang terjadi di Bekasi.
Selain Gedung Juang, Stasiun Tambun juga merupakan bangunan cagar budaya. Namun, saat ini stasiun tersebut tengah dibangun. Sisa-sisa bangunan lamanya pun sudah tidak terlihat.
Oleh karena itu, Gedung Juang dan Stasiun Tambun semestinya dikelola secara lebih profesional. Di samping bernilai sejarah tinggi, kini sejumlah warga pun antusias. Setiap hari, ada saja pengunjung yang datang, baik untuk sekadar berfoto hingga meneliti.
Gedong Papak
Serupa dengan Gedung Juang, rumah peninggalan tuan tanah China juga bisa ditemui di sekitar Stasiun Bekasi. Bangunan itu kini dikenal dengan nama Gedong Papak, berada di kompleks dinas teknis Pemerintah Kota Bekasi, Jalan Ir H Djuanda, berjarak sekitar 2 kilometer dari stasiun. Dari Stasiun Bekasi, pengunjung bisa menaiki bus TransPatriot lalu berhenti di halte persis di depan Gedong Papak.
Gedung berarsitektur khas Belanda itu juga pernah menjadi markas tentara Republik pada masa revolusi fisik. Setelah itu, gedung difungsikan sebagai rumah dinas Bupati Bekasi, kemudian Wali Kota Bekasi saat pemekaran wilayah sudah dilakukan. Saat ini, gedung berfungsi sebagai musala.
Wisata-wisata murah meriah ini bisa jadi alternatif, sekaligus menengok semangat warga di ujung jalur kereta KRL itu. Perjalanan ke sana memang cukup panjang. Namun seperti pepatah, kenikmatan perjalanan ada pada prosesnya, bukan tujuannya.