Jakarta di Peta Kontemporer
Peta perupa kontemporer Indonesia tidak hanya diwarnai perupa dari Kota Bandung atau Yogyakarta. Pameran Exi(s)t #7 ingin menguatkan posisi seniman muda Jakarta untuk mewarnai peta tersebut.
”Saya menggubah irama lagu keagamaan saya dengan gitar, bas, dan drum menjadi musik punk rock. Saya ingin menyampaikan, agama bisa dijadikan apa saja sesuai kepentingan,” kata Yovista Ahtadija (27), Kamis (6/12/2018), di dia.lo.gue Artspace, Kemang, Jakarta. Lalu, ia menambahkan, kepentingannya saat ini adalah dari wilayah keagamaan bisa diwujudkan estetika karya seni rupa kontemporer.
Yovista merupakan satu dari tujuh peserta Program Pameran Exi(s)t #7 pada 2018. Ia terpilih dari sekitar 100 seniman muda yang mendaftar. Para seniman muda terpilih lain adalah Alexandra Karyn, Aziz Amri, Ella Wijt, Rummana Yamanie, Semburat, Shercle, dan Tandika Cendrawan.
Program Exi(s)t diprakarsai seniman FX Harsono bersama seorang desainer grafis, Hermawan Tanzil, sejak 2011. Program ini memfasilitasi anak muda di Jakarta di bawah umur 30 tahun untuk menciptakan karya-karya seni rupa kontemporer.
Setelah mengikuti berbagai lokakarya dan diskusi selama lima bulan, para peserta terpilih memamerkan karya mereka di dia.lo.gue Artspace. Pameran Exi(s)t untuk ketujuh kali ini bertema ”From Another Time” atau ”Dari Waktu yang Lain”.
”Karya seni rupa kontemporer lebih mengutamakan gagasan daripada estetikanya,” ujar kurator Pameran Exi(s)t #7 Evelyn Huang. Karya seni rupa kontemporer ini menepis batas material dan wujud. Sebab, yang diutamakan adalah gagasan atau pesan kontekstual, yang kerap diwujudkan menjadi bentuk atau hal-hal tidak terduga.
Yovista, misalnya, tumbuh di lingkungan pendidikan keagamaan. Melalui karya seni rupa kontemporer, ia ingin menyampaikan gagasan atau pesan kontekstual bahwa agama bisa dikomodifikasi. ”Agama bisa dijadikan alat untuk meraih kepentingan tertentu, baik seni maupun ekonomi, sosial, dan politik,” kata Yovista.
Ia memamerkan instalasi video lirik musik punk rock. Lirik-lirik lagu diambil dari lagu yang pernah diajarkan semasa ia mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar Islam Terpadu Iqro, Jatimakmur, Pondok Gede, Bekasi. ”Lagu-lagu itu berirama mars, seperti juga lagu-lagu punk rock. Saya kemudian menggubahnya dengan memainkan alat musik, lalu merekamnya di kamar,” kata Yovista.
Karya instalasi Yovista dilekatkan di sebuah dinding. Ia memberi judul Nasyid Goes Punk Vol 1. Pesannya dalam karya ini cukup kontekstual. Seni rupa kontemporer meninggalkan seni rupa modern dengan ciri karya patung dan lukisan. ”Ini diawali kegelisahan saya, mengapa forum seni rupa kontemporer Jakarta tidak pernah disebut. Paling-paling Bandung dan Yogyakarta,” kata Harsono.
Harsono mengatakan, peserta yang terpilih selama lima bulan mengikuti lokakarya dan diskusi. Mereka tidak boleh absen lebih dari dua kali. Melalui lokakarya dan diskusi itu, para peserta dibekali materi untuk menggarap karya-karya seni rupa kontemporer. Hermawan Tanzil mengatakan, program ini lebih mengutamakan proses, bukan hasil.
Para narasumber yang memberikan materi lokakarya dan diskusi, selain para kurator, meliputi Timoteus Anggawan Kusno, seniman yang kerap menghadirkan tema sejarah fiktif; Victoria Tunggono, penulis fiksi yang tertarik soal okultisme Jawa; Lilawati Kurnia, dosen kajian budaya; dan Saleh Husein, seniman yang akhir-akhir ini berkarya dengan tema sejarah personal.
Mereka memantik ide seputar tema ”From Another Time”. Tema yang mengacu pada sebuah masa. Tema yang ingin mendekati sebuah alternatif sejarah dan ingin menangkap makna yang relevan dengan kekinian dan generasinya.
”Ini menjadi pendidikan seni alternatif. Lembaga pendidikan seni formal tidak siap menghadapi perkembangan seni rupa kontemporer,” ujar Harsono.
Mengejutkan
Program Exi(s)t dirancang untuk mengejar kualitas karya seni rupa kontemporer. Maka, jadilah karya Yovista dan para peserta pameran lain itu mengejutkan, seperti diungkap pencinta seni rupa Melani Setiawan saat membuka pameran tersebut.
”Saya melihat kembali ada ruang bagi seni rupa kontemporer kita di Jakarta. Karya-karya yang dipamerkan sungguh mengejutkan,” ujar Melani.
Pada diskusi sebelum pembukaan pameran, seniman Tandika Cendrawan mengatakan, dirinya memiliki pengalaman menjumpai nama-nama leluhurnya tertera di pemakaman mereka dan selalu menggunakan nama China.
”Nama China menggunakan tiga suku kata. Saya kemudian ingin tahu mengapa saya tidak lagi memiliki nama China,” ujar Tandika. Dari situ, Tandika menyuguhkan karya instalasi dokumentasi foto. Ia menelusuri memori kolektif sebuah marga Tionghoa.
”Saya kemudian tahu tentang peristiwa sejarah di Indonesia yang mewajibkan nama marga Tionghoa diganti nama Indonesia,” kata Tandika.
Karya-karya mereka memiliki pesan mendalam. Salah satu peserta pameran, Rummana Yamanie, misalnya, menyuguhkan gagasan sejarah pada masa lampau yang sudah mengenalkan peran perempuan di kancah politik kekuasaan. Tokoh perempuan Ken Dedes dari Singasari dan Gayatri dari Majapahit, misalnya.
Melalui performans, Rummana membuat karya dengan tanah liat yang menyedot perhatian pengunjung. Ia menggunakan sebuah bidang persegi yang diletakkan sedikit miring. Bidang itu hampir setinggi tubuhnya. Rummana melumuri permukaan bidang dengan tanah liat. Cukup tebal. Ia kemudian menggarisnya untuk membentuk vulva atau kelamin perempuan.
Beberapa kali ia melibatkan pemirsa untuk ikut melemparkan bulatan tanah liat ke bidang itu. Rummana juga melumuri rambut dan tubuhnya dengan tanah liat. ”Saya ingin menyampaikan pesan, sejak zaman dulu perempuan sudah berperan,” kata Rummana.
Peran perempuan di ranah sosial ekonomi, termasuk politik, hingga kini masih kerap disangsikan. Gagasan Rummana memang sederhana tetapi relevan mengingatkan tentang peran perempuan agar tidak diabaikan.
Rummana dan para peserta lainnya berhasil mengunggah gagasan dan pesan menjadi karya seni rupa kontemporer.