Johan Philip Ranty, Warga Amsterdam yang Kangen Semarang
Banyak yang menyadari Kota Semarang, Jawa Tengah, dengan lanskap kotanya begitu indah, perpaduan dataran rendah di utara dan lekukan perbukitan di bagian selatan, sudah sejak abad ke-16 memiliki potensi besar di perdagangan. Kala itu Kota Semarang menjadi incaran Portugis, Jepang, Belanda, dan terakhir orang-orang Tionghoa.
Portugis memang belum pernah menjejak kaki di Kota Semarang. Dampak politik akibat upaya Pati Unus menggempur Portugis di Malaka 1913 telah mendorong armada kapal perang Portugis pada abad ke-17 untuk menyusuri pelayaran ke Semarang hingga berakhir mendirikan benteng di Keling, Kabupaten Jepara.
Jepang sempat menorehkan timbulnya Pertempuran Lima Hari di Kota Semarang, 15-20 Oktober 1945. Sebaliknya, peran Belanda cukup lama tinggal dengan jejak-jejak bangunan bersejarah, di antaranya Lawang Sewu, Wisma Perdamaian, kawasan Kota Lama. Di Kota Lama berjuluk ”Little Netherland” punya maskot Gereja Blenduk, Taman Srigunting, gedung-gedung tua khas tropis dengan desain ala Eropa.
”Peran warga Tionghoa yang tiba di Semarang dari Batavia, kala itu akibat politik Belanda, justru menjadi pewarna kehidupan warga Semarang, menyentuh budaya pribumi (Jawa) ataupun etnis Arab. Di pusat-pusat kekuasaan Hindia Belanda justru tumbuh subur permukiman multietnis dengan kerukunan, suasana guyub yang kental. Proses akulturasi berlangsung alami, bagian dari kesamaan nasib melindungi diri dari tekanan Belanda,” kata penulis buku Pecinan Semarang dan Dar Der Dor, Tubagus, orang yang lahir dan dibesarkan di Gang Cilik, Pecinan Semarang, Sabtu (15/12/2018) sore.
Oleh karena itu, pada waktu saya menyusuri jejak-jejak akulturasi di Kota Semarang, mulai dari gedung teater Sobokartti, kampung Pecinan, Kelenteng Tay Kak Sie, Kelenteng Sam Poo Kong juga kampung-kampung tua, seperti Kauman, Gedangan, Sekayu, dan Pekojan, biasanya langkah itu berakhir di Semarang Heritage Cuisine Restaurant, Jalan Gajahmada. Restoran tua yang dikelola oleh sejarawan juga pendongeng kampung Pecinan, Tjongkie Tio.
Begitu tiba di Semarang Heritage Cuisine Restaurant, niat menikmati menu lontong Cap Go Meh, lontong khas warga Tionghoa pada perayaan Imlek, jadi suguhan khas wisatawan pun muncul. Lontong Cap Go Meh diakui warga Tionghoa Semarang bagai cucu dari lontong opor warga Jawa Muslim. Namun, niat menikmati lontong Cap Go Meh jadi tertunda ketika Tjongkie Tio agak serius mengenalkan saya dengan sosok orang Belanda, Johan Philip Ranty (93), warga asal Amsterdam, yang kebetulan sudah empat hari mengunjungi Kota Semarang.
Bertemu eks sipir penjara Demak
Perjumpaan dengan Johan Philip Ranty begitu menarik. Ternyata Ranty seorang Indo-Belanda, yang lahir, besar, dan pernah bekerja di Kota Semarang semasa pra-kemerdekaan sampai pasca-Presiden Soekarno.
Menurut Tjongkie Tio, jejak-jejak sejarah masa Hindia Belanda di ”Kota Lumpia” ini masih banyak bisa disaksikan hingga hari ini. Alangkah baiknya agar sejarah itu gamblang kisahnya perlu orang tepat yang bisa membunyikan jejak-jejak semua itu. ”Lha ini ada Mister Ranty, salah satu pelaku sejarah. Dia orang Indo-Belanda yang juga pernah dipenjara oleh Jepang,” ujar Tjongkie Tio.
Ranty, seorang diri, tiba dari Amsterdam setelah perjalanan 13 jam ke Indonesia minggu lalu. Dia suka menginap di hotel tua, yakni Hotel Merbabu di Jalan pemuda. Orangtuanya, Arnold, bersama keluarga tinggal di kampung Kelengan Besar (daerah Jalan Depok). Sebagai orang Indo-Belanda, Ranty tidak mau masuk militer, padahal waktu itu memungkinkan. Terlebih karena ayahnya, Arnold, adalah seorang polisi berpangkat komisaris.
”Saya tidak mau masuk militer atau polisi. Saya justru pernah bekerja di hotel, jadi ahli keuangan di perusahaan swasta sampai saya juga jadi petugas sipir penjara,” tutur Ranty, kakek dengan 7 anak, 14 cucu, dan 8 cicit di Amsterdam.
Di restoran milik Tjongkie Tio, Ranty suka menikmati minuman wedang ronde, minuman yang diakui paling berkesan selama ini. Kadang di kampungnya di Amsterdam bermimpi ada yang jual wedang ronde. Kalau di rumah, tuturnya, dia suka memasak sayur lodeh dan sambel terasi. Meski usianya sudah uzur, hal yang mengagumkan ialah daya ingatnya yang masih kuat. Dia masih ingat tanggal, bulan, dan tahun saat diangkat jadi pegawai Mclean Watson (perusahaan Inggris bidang eskpor impor) serta diangkat jadi sipir penjara juga ketika meninggalkan Kota Semarang pulang ke Belanda pada 14 Agustus 1961.
Kali pertama bertemu dengan Ranty sekilas menunjukkan kalau orang ini suka ngobrol. Kadang kalau cerita serius, kerap pula saat cerita terlontar kosakata bahasa Jawa, juga kromo inggil untuk kosakata tertentu tanpa diduga.
Hanya saja, apabila ditanyakan tentang sejarah sepak terjang Belanda masa itu, ia tidak terlalu terbuka pada hal-hal tertentu. Dia memilih tidak menjawab, kemungkinan tidak dijawab bisa karena sensitif atau tidak suka menyinggung sejarah yang buruk. Arnold, sang ayah dulunya kepala bagian reserse kepolisian, berkantor di pelabuhan Semarang. Tugasnya mengawasi perdagangan opium.
Dampingi Tjongkie Tio selama berbincang, Ranty yang suka menyelipkan bahasa Belanda dalam perbincangan sudah hampir lebih dari 10 tahun tidak lagi mengunjungi Kota Semarang sejak 1995. Semarang dinilai sudah maju, makin ramai, padahal dulu ketika masih tinggal pada 1920-1961 masih sepi. Kota ini juga memelihara dengan baik bangunan bersejarah peninggalan Hindia Belanda.
Kritikan Ranty atas kota ini ialah lalu lintas kendaraan bermotor di semua jalan sangat padat. Pengendara harus mengatur sendiri, tanpa harus dengan bantuan polisi lalu lintas, dan hal itu mencerminkan masyarakat sangat sabar. Di Amsterdam, meski tidak sepadat lalu lintas dengan Kota Semarang, pada jam tertentu polisi masih turun di jalan.
”Aku iki asline wis wegah urip (Saya sudah bosan hidup),” kata Ranty ketika ditanya berapa usianya. Gairah hidupnya agak menurun sejak istrinya, Anneke Louise Velthuis, asal Malang, Jawa Timur, meninggal. Dengan usianya yang sepuh dan tubuhnya mulai renta, Ranty membeberkan rahasia umur panjangnya. Dia tidak merokok juga sedikit minum wine. Hidup harus dinikmati, tidak perlu menyakiti orang lain, selalu bersyukur.
Hidupnya memang mengalir. Ranty saat muda, April 1946, diangkat menjadi pegawai sipir penjara bertugas di penjara Mlaten (kini sudah menjadi gereja) dan penjara Bulu di Jalan Soegijapranata (kini jadi penjara wanita). Sebagai pegawai sipir, gajinya ketika itu 95 gulden. Kemudian setelah diangkat jadi kepala penjara Demak, gajinya naik menjadi 140 gulden.
Gaji 95 gulden itu setara lebih dari Rp 7 juta per bulan, sekiranya kurs nilai satu gulden pada 1920-1950 setara sekitar Rp 73.000. Prestasinya jadi sipir, pada usia 22 tahun, Ranty sudah diangkat jadi kepala penjara Demak (lokasinya di utara lapangan alun-alun Demak) dekat dengan kantor Bupati Demak saat itu, KRT Rekso Hadiprojo.
”Selama saya bekerja, terus terang kerja paling nyaman ya di penjara Demak. Ketika itu jumlah tahanan di penjara itu 240 orang hukuman. Saya juga dekat dengan Bupati Rekso Hadiprojo,” ujar Ranty.
Ada kisah ketika dia di Demak, yaitu istrinya punya orang tahanan yang loyal dan menjadi pembantu di rumah. Untuk keperluan bepergian, penjara punya sarana sepeda ontel dan tiga kuda. Nama kuda-kuda itu di antaranya Bagong dan Sambleh. Suatu ketika, pembantunya orang tahanan itu pergi ke pasar Bintoro naik kuda. Dia kemudian ditelepon komandan polisi, Delsein. Komandan polisi itu menanyakan ada orang tahanan bebas pergi ke pasar naik kuda. Apakah tidak khawatir kalau melarikan diri. ”Saya jawab tidak usah khawatir. Dia belanja disuruh istri. Jangan takut, dia tidak kabur,” kata Ranty sabil tertawa.
Pada masa pergerakan Republik, Ranty termasuk salah satu dari 800 orang Belanda dan Indo-Belanda yang jadi tawanan di penjara Mlaten pada 1945. Ketika terjadi kerusuhan di penjara itu, akibat penjara diserbu pemuda Semarang, mereka minta bantuan tentara Ghurka, Inggris, yang berhasil membebaskannya. Tidak lama setelah itu, kemudian meletus pertempuran Lima Hari Semarang yang berpusat di Tugu Muda dan sekitarnya.
Penggagas Midden Java Reunie
Ranty mengisahkan, setelah tidak lagi jadi kepala penjara di Demak, dia balik ke Semarang. Sempat bekerja beberapa bulan di Hotel Dibya Puri kemudian bekerja sebagai tenaga keuangan di perusahaan Inggris. Dia juga bertugas yang menerjemahkan surat dari para buruh, dari bahasa Indonesia ke Belanda. Pekerjaan itu dijalani hingga Agustus 1961 ketika dirinya bersama puluhan orang Belanda harus kembali ke negeri asalnya.
Tjongkie Tio mengatakan, setelah cukup lama tinggal di Belanda, pada 1987-1995, melalui kerja sama dengan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, Johan Philip Ranty memelopori kegiatan Midden Jawa Reunie (MJR). MJR merupakan kegiatan reuni dan wisata bagi orang-orang Belanda juga keluarga dari orang-orang Belanda yang dulu pernah tinggal di Kota Semarang untuk pergi ke Semarang.
Anggota keluarga yang ikut termasuk anak, cucu, dan sanak saudara dari orang Belanda yang dimakamkan di Semarang. Bagi mereka, ketika ayah, ibu, kakek, dan neneknya tinggal di Kota Semarang (Indonesia) puluhan tahun silam telah membuat Indonesia sebagai Tanah Air-nya yang kedua.
”Ketika masih kuat dan muda, saya memfasilitasi dan mengadakan MJR sebanyak 8 kali. Peserta paling banyak sekitar 95 orang pada 1991. Mereka kangen dengan Kota Semarang sehingga tiba di Semarang untuk bernostalgia dan mengunjungi makam-makam familinya. Ada pula yang bisa bertemu dengan saudaranya, terutama yang Indo Belanda sehingga bisa saling melepas rindu,” kata Ranty.
Di Kota Semarang, peserta MJR bisa mengunjungi dua makam Belanda yang masih terawat, yakni everald (kerkhof) di Candi dan everald di Kalibanteng. Rombongan MJR biasanya menghabiskan waktu 17 hari. Mereka juga mengunjungi destinasi wisata, seperti Cilacap, Candi Borobudur, Candi Mendut, Kota Solo, dan Yogyakarta.
”Setelah 1995, kegiatan MJR berhenti karena saya tidak mampu lagi menjadi koordinator kegiatan. Anak-anak saya juga sibuk, tidak ada lagi orang Belanda yang sanggup melaksanakan Midden Java Reunie. Saya ke sini di antaranya melihat apakah kegiatan serupa bisa berlangsung kembali,” ujar Ranty.
MJR boleh jadi semacam jembatan bagi masyarakat Kota Semarang dengan masyarakat Belanda, terutama para keturunan warga Belanda yang pernah tinggal di Kota Semarang. Kegiatan itu jadi sarana pengembangan pemahamam juga belajar kebudayaan kedua bangsa ini. Diakui, permintaan orang-orang Belanda yang ingin ke Kota Semarang sangat banyak. Hanya saja kini harus ada generasi muda yang bersedia menggantikan posisinya untuk memfasilitasi mereka ke Kota Semarang.
”Aku iki wis tuwek, wis pingin ketemu karo istriku (Saya sudah tua, sudah ingin bertemu istri),” ujar Ranty berulang-ulang kali.