Kangen padamu, Nybroviken
Yacht berukuran besar dan kecil berjajar rapi di antara embusan angin dingin di tepian Teluk Nybroviken, awal September 2018. Bus air menaikturunkan komuter dan pelancong di terminal feri. Namun, bukan dengan yacht atau kapal feri itu cara kami menikmati kota tua nan modern, Stockholm.
Jelang sore itu, kami memilih Ocean Bus. Itu adalah kendaraan amfibi berbodi bus beroda empat yang dioperasikan sejak 2014. Tarifnya sekitar Rp 500.000 per kursi, dengan jajaran kursi tanpa kaca samping.
Itulah cara kami berkenalan dengan Stockholm, ibu kota Swedia, setelah terbang belasan jam menempuh rute Jakarta-Singapura-Moskwa-Stockholm. Lagi pula, sepenggal teluk di Laut Baltik itu memberi pengalaman baru yang menggelorakan imajinasi.
Johny dan Amy, dua awak Ocean Bus, menyambut ramah. Pengemudi dan pemandu itu bertanggung jawab membawa kami, tiga orang Indonesia bersama belasan penumpang lain, pergi-pulang dengan selamat mengarungi Nybroviken.
”Well... selamat datang di bus amfibi yang akan membawa Anda semua hingga tiga jam ke depan,” kata Amy, perempuan pemandu berambut pirang terang khas Skandinavia. Ia menahan bicara, hening campur bingung. Amy segera menyambung kalimatnya, ”I’m joking. Hanya 75 menit.”
Bus amfibi mulai menyusuri sisi kota hingga masuk Jalan Dag Hammarskjolds. Nama mantan diplomat Swedia dan mantan Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa ini diabadikan sebagai nama jalan di area Diplomatic City, kawasan kantor kedutaan besar sejumlah negara.
Ocean Bus berhenti sesaat di ujung area itu, layaknya perenang mengambil jeda bernapas sebelum terjun ke kolam, lalu byuuurrr… lebih dari separuh tubuh bus seberat 10 ton itu mengapung di perairan Laut Baltik. Seru, tegang, dan tawa penumpang datang bersamaan.
Jangan bayangkan samudra lepas berujung garis cakrawala. Teluk di kota dengan 14 pulau kecil itu lebih menyerupai kanal atau muara Sungai Kapuas di Kalimantan atau Sungai Musi di Sumatera Selatan.
Namun, maaf, ini versi mimpinya: bersih dan berair tenang dengan deretan pepohonan, gedung-gedung tua terawat di tepiannya. Hawanya sejuk, jauh dari lembab dengan langit biru, meski sempat mendung siang itu.
”Ini keren sekali. Indonesia bisa bikin kayak begini asyik, nih,” kata Adrian Tirtadjaja dari Lexus Indonesia yang mengundang kami dalam perjalanan bisnis ke Stockholm.
Lupakan mimpi tadi. Amy menghujani kami dengan sederet informasi ringan, lucu, juga serius yang terdengar menarik. Dari perairan teluk, kami dibawa ke kisah-kisah populer.
Tua-modern
Tahukah Anda bahwa Stockholm adalah ”ibu kota” museum di Eropa? Puluhan museum besar dan kecil milik swasta atau pemerintah terawat baik di kota ini. Tentu saja mendatangkan pemasukan.
”Di sisi kanan itu, gedung tiga tiang, itu Museum Vasa,” katanya. Vasa adalah nama kapal kayu buatan 1628 dengan 48 meriam besi cor. Panjangnya 69 meter, tinggi 52,5 meter.
Kala itu kapal pesanan Raja Swedia tersebut dibangun untuk pamer kekuatan angkatan laut ketika berkonfrontasi dengan Polandia. Namun, hasilnya justru memalukan. Kapal kinyis-kinyis itu tenggelam dalam hitungan jam seusai keluar galangan. Lokasinya hanya 1.500 meter dari galangan.
Lebih memalukan, kapal dengan ratusan awak itu tenggelam di antara lambaian tangan warga Swedia kala itu. ”Raja malu bukan main sehingga enggan mengevakuasi,” kata Amy.
Teronggok 333 tahun di dasar teluk, kapal diangkat pada 1961 dan disimpan di Museum Vasa. Teknologi konservasi canggih diadopsi di museum dengan ratusan ribu kunjungan setiap tahun itu.
Mengunjungi Vasa, kami terkagum-kagum dengan penyajian informasi yang modern dan interaktif. Bangkai kapal kayu yang masih kokoh itu dirawat para ahli, berikut artefak yang turut tenggelam. Sensor suhu menjaga kapal tetap aman dari ancaman bakteri pembusuk kayu.
Tak jauh dari Museum Vasa terdapat Museum ABBA, kelompok musik asal Swedia beranggotakan empat personel pelantun ”Dancing Queen”, ”Chiquitita”, dan ”Mamma Mia”. Siapa generasi 1980-an yang asing dengan mereka? Museum milik pribadi itu memajang kostum, piringan hitam, alat musik, hingga miniatur studio yang sungguh amat vintage.
Museum Vasa dan ABBA adalah wajah Stockholm yang sukses besar memadukan masa lalu dan kekinian, yang terus memperbarui diri. Iklim kreatif dan modern, juga terwakili oleh mendiang DJ Avicii, musisi beraliran musik dansa elektronik. Kematian Avicii pada usia 28 tahun, April 2018 di Oman, cukup mengguncang penggemarnya.
Swedia juga negara asal Spotify, layanan musik streaming dan podcast yang diakses ratusan juta penduduk bumi. Tentu saja harus menyebut Volvo, merek mobil sepanjang masa.
”Sekarang, Swedia menjadi salah satu kota terkaya dan bahagia di dunia,” kata Amy. Gaya hidup kekinian menonjol di Stockholm. Kota kecil nan padat itu dijejali kafe, restoran, galeri, toko buku, dan toko barang bermerek, di antara jajaran bangunan tua berarsitektur gothic, baroque, art nouveau, dan lain-lain.
Tempatnya hipster
Dari Ocean Bus tampak fasad Gamla Stan, kota tua sejak abad ke-13, salah satu wajah kuno-modern di Stockholm. Dari namanya, Gamla berarti ’tua’, sedangkan Stan berarti ’kota kecil’. Gamla Stan merupakan pulau kecil yang diapit teluk dan danau. Di situlah berada Istana Raja Swedia yang bergaya baroque dengan 600 kamar lebih.
Kota tua berlantai batu itu amat terawat, terbaik di Eropa dalam hal pelestarian. Majalah Vogue juga pernah menobatkan Gamla Stan sebagai kota paling nyaman bagi kaum hipster. Bar-bar, kedai kopi, galeri seni, toko antik, toko perhiasan, toko buku, dan ruang pamer berlimpah di sana. Area ini kerap menjadi tujuan para lelaki berjenggot tebal atau berkumis ala setang sepeda dengan baju kotak-kotak flanel berikut tas dan sepatu kulit. Stereotip tampilan subkultur hipster.
Mengamati interaksi di Gamla Stan tidak cukup sehari. Muda-mudi dengan aneka dandanan trendi mudah ditemui di kafe, galeri, atau restoran beraroma kopi, kue, atau daging panggang. Perbincangan diselingi tawa tergelak atau cekikikan terdengar di antara dentingan gelas anggur, liquor, atau air mineral. Hal serupa dijumpai di Sodermalm, pusat kota saat ini.
Di seberang Gamla Stan, di bagian pulau kecil lain, berdiri wahana rekreasi Grona Lund. Ya... mirip lanskap di Ancol, dengan wahana kereta luncur. Di sana pula, sejumlah ikon budaya pop pernah tampil, dari Paul McCartney hingga Lady Gaga. Di sini, gitaris legendaris Jimi Hendrix bahkan pernah emohberhenti bermain. Ia baru berhenti setelah manajernya mencabut kabel gitar.
Kisah seru lain, ketika Ocean Bus melintasi kastil Stockholm. Di tiang puncak kastil itu, beberapa puluh tahun lalu berkibar bendera Norwegia. Tentu disambut heboh warga yang mengira kota itu dikuasai musuh.
Setelah diselidiki, ternyata ada dua pelajar iseng mencopot bendera Swedia pada malam hari, lalu menggantinya dengan bendera negara tetangga. Kami pun tertawa mendengar keisengan berdampak serius itu. Apa yang terjadi dengan dua pelajar itu? Entahlah.
Perjalanan puluhan menit itu sungguh padat informasi dan beragam kesan. Mengesankan. Mungkin benar adanya bahwa kisah sebuah kota tak melulu harus serius dan berat. Toh, hidup sudah berat, bukan?
Sore itu, pada jam-jam awal keberadaan kami di Stockholm, aroma dari Nybroviken sudah membuat kami kangen. Bahkan, sebelum kami beranjak pulang.