Memotret ritual yang digelar suku Kajang di Kecamatan Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan, merupakan sebuah keberuntungan. Tak mudah masuk wilayah ini dan memotret tanpa seizin tokoh adat, terutama Ammatoa, pemimpin tertinggi suku Kajang.
Keberuntungan itu datang pada pertengahan September 2018 saat masyarakat Kajang menggelar ritual Andingingi dan Tunu Panroli. Andingingi adalah ritual mendinginkan bumi serta mendoakan keselamatan dan kedamaian pada umat manusia. Adapun Tunu Panroli adalah ritual menguji kejujuran seseorang.
Walau ritual ini digelar sekadar untuk memeriahkan dan sebagai bentuk partisipasi pada Festival Pinisi Ke-9 di Bulukumba, dan di Kajang luar, tetap saja semua pengunjung merasa beruntung.
Pagi itu ratusan suku Kajang berbaur dengan pengunjung yang umumnya wisatawan. Tanpa membedakan status sosial dan latar belakang, semua melepas alas kaki di gerbang masuk hutan.
Umumnya, para tamu menggunakan sarung hitam khas tenunan suku Kajang yang disebut tope le’leng dan kaum lelaki menggunakan penutup kepala yang disebut pasaapu’.
Setiba di tempat acara, semua tamu disambut dengan bedak cair berwarna kuning yang terbuat dari campuran tepung beras dan kunyit serta tanaman lain. Bedak cair ini dioleskan di kening.
Acara dimulai saat perempuan-perempuan paruh baya menyiapkan sesajian dan makanan. Ketan hitam dan putih, nasi, ikan, daging ayam, daging kerbau, pisang, telur, dan lainnya adalah bagian dari isi sesaji dan juga makanan.
Saat sesaji sudah diisi, doa-doa dibacakan. Selanjutnya, kaum lelaki mengambil sesaji dan membawa ke beberapa tempat, seperti hutan, sungai, dan kampung, di berbagai penjuru mata angin. Acara dilanjutkan dengan makan bersama sebagai tanda syukur atas ritual yang sudah dilaksanakan.
Selanjutnya, para tamu berpindah ke bagian lain di hutan, tempat ritual Tunu Panroli akan dilaksanakan. Sebuah lubang telah dibuat dan diisi kayu bakar. Sembari menunggu kayu terbakar hingga menjadi bara, tari pasaapu digelar.
Tarian ini dilakukan penari laki-laki dengan membuka pasaapu yang menutup kepala dan diayun-ayunkan seperti diadu.
Saat kayu sudah menjadi bara, sebuah linggis besar dimasukkan dan dibakar bersama bara api. Linggis panas ini kemudian dikeluarkan dan satu per satu tetua adat ataupun pengunjung meletakkan telapak tangan atau menggenggam linggis.
Di Kajang, ritual ini biasanya digelar jika terjadi selisih paham atau sengketa, terutama dalam kasus berbagai tuduhan. Biasanya orang yang berkata jujur tak akan merasakan panas saat menggenggam linggis.
Suku Kajang, salah satu suku tertua di Sulsel, hingga kini masih merawat tradisi dan kearifan lokal yang diwariskan dari leluhur mereka. Dalam keseharian, mereka hidup sederhana dan jauh dari hal-hal berbau modern, kecuali di luar kawasan.