Tantangan Festival Musik Bambu
Bercita-cita menjadi kota musik dunia, Kota Ambon menyelenggarakan Amboina International Bamboo Music Festival. Pilihan cerdik untuk mengangkat musik bambu. Banyak harapan, tetapi masih banyak pula lubang yang harus ditambal.
Suara saluang meliuk membuka pentas malam itu. Setelah beberapa saat nada-nada dimainkan, menyusul terdengar suara suling khas Sunda, suling khas Sumatera Utara, dan lalove (suling khas etnis Kaili, Sulawesi Tengah), Kamis (15/11/2018) malam. Setiap musisi bebas memainkan melodi suling masing-masing.
Suasana itu seperti membawa kita melintasi masa demi masa, dari satu daerah ke daerah lain, dengan lengkingan, liukan, dan rasa yang tercipta dari tiupan suling demi suling. Meskipun hanya tampil sebentar, tidak sampai 10 menit, ide mengolaborasikan penampilan suling dari sejumlah daerah ini sangat menarik. Di situ diperlihatkan keragaman bunyi dan teknik permainan dari alat musik tiup bambu yang secara generik bernama suling.
Penampilan empat maestro suling menjadi pertunjukan paling menarik dan sesuai tema pada penyelenggaraan festival hari pertama itu. Mereka adalah Smiet ”Lalove” dari Sulawesi Tengah, Dede Yanto dari Jawa Barat, Marsius Sitohang dari Sumatera Utara, dan Piterman dari Sumatera Barat.
Keempat musisi ini hanya sempat berlatih bersama beberapa jam siang harinya. Karena sudah ahli dengan alat masing-masing, dalam waktu cepat mereka menemukan kesepakatan bunyi. Ini menjadi ”komposisi” yang akan dimainkan.
Semestinya tampil pula maestro suling dari Ambon, tetapi batal dan baru ikut tampil pada malam terakhir ketika berkolaborasi dengan Molucca Bamboowind Orchestra (MBO), kelompok orkestra bambu dari Ambon, Sabtu (17/11).
Kebudayaan bambu di Asia Tenggara sudah dikenal sejak 2500 tahun sebelum Masehi, seperti diungkapkan etnomusikolog dari Universitas Sumatera Utara, Rithaony Hutajulu, sebelum festival. Hampir semua kebudayaan di Asia Tenggara mengenal alat musik suling yang ditiup dengan mulut atau hidung. Alat musik ini bersifat privat karena bisa berdiri sendiri saat dimainkan. Alat musik bambu yang dikenal di Indonesia mendapat pengaruh dari budaya India, China, Eropa, dan Timur Tengah. Dalam khazanah musik modern, suling bertransformasi jadi flute.
Tidak berlebihan sebenarnya jika Ambon menggagas festival ini mengingat alat musik bambu dikenal di banyak negara dari sejumlah benua. Namun, keinginan menggelar festival ini kurang didukung oleh kemampuan penyelenggaraan yang memadai. Aspek panggung, tata cahaya, tata musik, dan tata suara tidak mendapat penanganan dengan baik. Begitu pula dengan manajemen waktu dan pengisi acara.
Band pop
Meski bertajuk internasional, penampil asing hanya dari Timor Leste dan penyanyi Oscar Harris yang membawakan lagu-lagu pop calypso-nya. Oscar sangat terkenal di Kota Ambon. Para penonton yang hadir hafal hampir semua lagu yang dibawakan penyanyi asal Suriname yang merintis karier di Belanda ini.
Sayang, penampilan Oscar lebih banyak diiringi band pop. Hanya saat tampil diiringi MBO, ada unsur musik bambu dalam penampilannya. Demikian pula dengan penampil lain, sebagian besar berupa band pop dengan kualitas sajian lokal.
”Tidak ada yang meragukan musikalitas orang Ambon. Namun, masyarakat setempat perlu memperluas apresiasinya. Musik-musik pop perlu ditambah dengan jenis musik lain agar mereka juga punya pengalaman dengan musik lain,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid di sela-sela festival.
Ia mengakui, masih banyak yang harus diperbaiki, seperti aspek tata suara dan tata cahaya. Ini merupakan kesempatan bagi panitia dan Pemerintah Kota Ambon sebagai penyelenggara untuk belajar dari pengalaman ini. ”Kami memang menyerahkan konten kepada Pemkot agar tidak Jakarta sentris. Ke depan perlu residensi. Kalau perlu, belajar ke luar negeri soal penyelenggaraan pertunjukan. Seperti kemarin, kalau waktunya memungkinkan, Oscar Harris bisa diajak workshop musik bambu. Pasti hasilnya akan lebih menarik,” kata Hilmar.
Musisi setempat Rence Alfons yang juga konduktor MBO mengakui, warga Ambon lebih akrab dengan musik pop. Suling sebenarnya dikenal sejak lama dalam lingkungan musik gerejawi, tetapi kini mulai jarang dimainkan. Ia kemudian menariknya ke ranah musik sekuler agar lebih menarik di mata masyarakat.
”Saya memadukan unsur tradisi dan populer agar generasi muda tertarik dan mau kembali memainkan suling,” katanya.
Ekosistem lokal
Seperti dalam penampilan MBO pada hari terakhir pelaksanaan Amboina International Bamboo Music. Mereka menampilkan 10 repertoar yang terdiri dari lagu daerah, lagu pop Barat, dan lagu pop nasional bertema nasionalisme, antara lain ”Laju-laju Perahu Laju”, ”Makan Patita”, ”Maluku Tanah Pusaka”, ”Save the Last Dance for Me” yang dipopulerkan The Drifters dan Michael Buble, ”Tinggikan” (Glenn Fredly), ”Bendera” (Cokelat), dan ”Pancasila Rumah Kita” (Franky Sahilatua).
Dalam pandangannya sebagai musisi lokal, Rence mengakui, ini kesempatan bagus untuk memperbaiki diri agar Ambon kelak benar-benar siap dan pantas mendapat penghargaan sebagai Kota Musik Dunia dari UNESCO. Ia sendiri berjanji turut mendorong tumbuhnya ekosistem lokal di bidang musik bambu.
”Barangkali bisa didatangkan ahli-ahlinya ke sini, seperti state manager, sound engineer, dan lighting engineering. Tenaga lokal kemudian diajak bekerja membantu mereka dalam penyelenggaraan acara agar bisa menyerap kemampuan dan pengetahuan para ahli ini. Harapannya, beberapa tahun ke depan sudah bisa mandiri menyelenggarakan festival dengan standar internasional,” kata Rence.
Dengan begitu, kelak akan kita dengar kisah tentang Amboina International Bamboo Music Festival yang benar-benar membanggakan. Festival yang jadi barometer bagi musisi dari negara mana pun yang ingin memainkan atau berkolaborasi dengan musik bambu. Diharapkan, festival ini mampu mengantar Ambon jadi Kota Musik Dunia.