Bencana Emas Hitam di Kalimantan
Kamis (21/11/2018) siang, di tepi Sungai Mahakam. Sinar terik matahari menyengat kulit disertai terpaan debu yang membuat sesak. Debu-debu itu tidak hanya beterbangan di jalanan, tetapi juga menyusup masuk ke rumah-rumah warga.
Fenomena ini lazim terjadi saat musim kemarau di Desa Bakungan, Kecamatan Loa Janan, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Permukiman warga yang berada di tepi Mahakam tersebut hampir setiap hari terpapar debu.
Tak terkecuali rumah Marjuni (56) di RT 13, Desa Bakungan. Dengan hanya mengenakan singlet dan celana pendek, Marjuni berulang-ulang menyapu teras rumahnya yang dilapisi debu siang itu. “Sejak lima tahun terakhir selalu begini,” ujar Marjuni bersungut-sungut.
Debu yang singgah di rumah Marjuni berasal dari tumpukan batubara yang digeser dengan konveyor (alat mekanis pemindah batubara) menuju kapal tongkang yang bersandar di Sungai Mahakam. Deretan konveyor dari sejumlah perusahaan tambang itu tepat berada di atas permukiman warga Desa Bakungan.
Debu itu tidak hanya mengotori rumah, tetapi juga berdampak pada kesehatan Marjuni. Ia baru saja keluar dari rumah sakit setelah menjalani perawatan akibat penyakit paru-paru yang diduga dipicu oleh debu. Selain paru-paru, Marjuni juga mengalami gangguan jantung.
Debu itu tidak hanya mengotori rumah, tetapi juga berdampak pada kesehatan Marjuni. Ia baru saja keluar dari rumah sakit setelah menjalani perawatan akibat penyakit paru-paru
Tetangga Marjuni satu RT, Nenek Edo (60) dan Ibu Raja (36), juga mengeluhkan hal serupa. Debu telah mengganggu aktivitas mereka sehari-hari. Mereka sering batuk karena menghirup debu batubara.
Ibu Raja menuturkan, debu yang berwarna hitam pekat itu kerap mengakibatkan perabotan rumah tangga dan alat memasak kotor. Ketika hendak makan, piring yang digunakan bahkan harus dibersihkan karena berlapis debu.
Mereka mengaku situasi tersebut terjadi setiap hari dan hampir 24 jam. “Kalau debunya berlebihan, warga protes ke perusahaan agar mematikan konveyor-nya untuk sementara,” tutur ibu Raja.
Ketua RT 13 Desa Bakungan Rusdi bahkan mengalami sakit paru-paru. Namun, ia menyangkal kalau penyakitnya tersebut akibat debu batubara. Padahal, ia mengakui jika banyak warganya yang terkena penyakit paru-paru belakangan ini.
Sebagai bentuk kompensasi atas debu yang mengenai rumah warga, kata Rusdi, ada perusahaan batubara yang memberikan bantuan kepada warga berbentuk susu kaleng sebanyak 10 kali dalam sebulan. Ada juga perusahaan lain yang memberikan uang santunan sebesar Rp 830.00 untuk satu rumah setiap bulan. Di lain sisi, ada perusahaan yang tidak memberikan bantuan apapun.
Nenek Edo membenarkan bantuan tersebut. Setiap bulan, ia memperoleh uang sebesar Rp 830.000. Uang tersebut diberikan oleh orang suruhan dari Ketua RT. Namun, ia merasa uang itu tidak cukup untuk keluarganya.
Namun, Nenek Edo mengaku lebih memilih rumah dan tanahnya dibeli oleh perusahaan, sehingga dapat mencari tempat tinggal baru yang terbebas dari debu batubara. Hanya saja, hingga sekarang belum ada penawaran dari pihak perusahaan batubara.
Didominasi ISPA
Berdasarkan data Puskesmas Loa Janan, Kutai Kartanegara, terhitung dari Januari hingga Oktober 2018, infeksi saluran pernapasan bagian atas (ISPA) merupakan penyakit tertinggi yang diderita masyarakat Loa Janan, yaitu sebanyak 1.565 kasus. Pada tahun 2017, penyakit ini juga mendominasi, yakni sebanyak 1.760 kasus.
Kondisi serupa terjadi hampir di seluruh Kaltim. Sistem Informasi Data Kalimantan Timur yang diunggah Dinas Kesehatan Kaltim menunjukkan, tuberkulosis atau penyakit yang biasanya menyerang paru-paru menjadi penyakit dengan jumlah kasus tertinggi sejak 2014 hingga 2017. Bahkan, jumlah kasusnya terus meningkat. Pada tahun 2017, jumlah penderita tuberkulosis sebanyak 5.034 jiwa.
Lebih parah lagi, penyakit gangguan pernapasan ini juga diderita oleh balita atau sering disebut dengan pneumonia. Jumlah penderita penyakit ini lebih banyak daripada penderita tuberkulosis. Sejak 2014 hingga 2017, kasus pneumonia terus meningkat. Pada tahun 2017, penderita penyakit ini sebanyak 7.039 jiwa.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kalimantan Timur Soeharsono menuturkan, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan diare merupakan penyakit yang paling banyak diderita masyarakat Kaltim. ISPA disebabkan oleh virus atau bakteri karena polusi udara. Partikel debu melukai saluran pernapasan sehingga mudah terinfeksi.
Menurut Soeharsono tambang batubara berdampak pada polusi udara. Selain tambang batubara, polusi juga dapat berasal dari asap dan perubahan iklim. Kemarau panjang dan hujan yang datang tiba-tiba dapat memudahkan seseorang menderita ISPA. Penyakit ini sangat berbahaya apabila diderita oleh balita atau pneumonia karena dapat berujung pada kematian.
Soeharsono menanggapi adanya konveyor yang ada di atas Desa Bakungan. Menurut Soeharsono, debu dari partikel batubara menyebabkan polusi udara. “Kalau dia menimbulkan polusi udara, dia pasti mengganggu kesehatan. Masyarakat itu perlu udara yang sehat dan bersih,” tuturnya.
Bencana mengintai
Selain mengakibatkan debu, aktivitas tambang batubara dengan membuka lahan secara masif juga membuat bencana alam di Kaltim, seperti banjir dan tanah longsof, terus mengintai. Di Desa Mugirejo, Kecamatan Sungai Pinang, Samarinda misalnya, langsung terjadi genangan air setinggi sepuluh centimeter saat hujan lebat baru berlangsung sekitar lima menit. Di desa ini banyak terdapat tambang batubara.
Warga Mugirejo, Haryanto (60) menuturkan, banjir mulai terjadi sekitar tahun 2005. Adapun tambang batubara mulai ada di Desa Mugirejo pada tahun yang sama. “Banjir menyebabkan kemacetan karena banyak motor yang mogok,” tutur Haryanto.
Bencana banjir juga dialami petani di Kelurahan Makroman, Kecamatan Sambutan, Samarinda, Kalimantan Timur. Salah satu petani, Parsan (64) menuturkan, sawahnya sering kebanjiran ketika hujan lebat. Banjir tersebut terjadi sejak ada penambangan batubara di Makroman yang hanta berjarak sekitar 300 meter dari lahan pertanian.
Selain banjir, tanah longsor juga rawan terjadi akibat tambang batubara, seperti yang tampak di Kampung Jawa, Kecamatan Sanga-Sanga, Kutai Kartanegara, Kamis (29/11/2018) lalu. Akibat bencana ini, lima rumah warga amblas dan jalan utama dari Kecamatan Sanga-Sanga menuju Kecamatan Muara Jawa putus total.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, kemungkinan besar longsor tersebut dipengaruhi oleh tambang batubara yang ada di sekitarnya. Galian tambang batubara tersebut dalam dan cukup luas, serta berdekatan dengan pemukiman sehingga menyebabkan longsor.
“Apalagi kondisi topografi pemukiman datar dan tidak ada hujan. Proses penggalian yang terus-menerus mengganggu struktur lapisan tanah yang ada sehingga amblas,” kata Sutopo. Menurut Sutopo, seharusnya tidak boleh ada penambangan batubara yang mendekati jalan dan permukiman.
Terkait longsor tersebut, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kaltim menjatuhkan sanksi kepada perusahaan PT Adimitra Baratama Nusantara (ABN) dengan menghentikan sementara aktivitas pertambangan. Perusahaan juga diminta untuk bertindak cepat agar dampak longsoran tidak meluas serta mengevakuasi warga yang berpotensi terkena dampak.
Sebelum kejadian di Kampung Jawa pada 29 November lalu, tanah longsor yang dipicu tambang juga pernah terjadi pada 5 November 2013. Adapun banjir yang dipicu tambang tidak hanya terjadi di Samarinda tetapi juga di beberapa daerah seperti di Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara.
Pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Rustam menilai, tambang batubara seharusnya tidak diizinkan untuk beroperasi di dalam kawasan konservasi dan dekat dengan pemukiman. Ini dapat berdampak buruk bagi lingkungan karena merusak sumber air dan memicu bencana alam. “Izin yang tidak sesuai dengan peruntukan tata ruang dapat berujung pidana,” kata Rustam.
Tambang batubara seharusnya tidak diizinkan untuk beroperasi di dalam kawasan konservasi dan dekat dengan pemukiman. Ini dapat berdampak buruk bagi lingkungan karena merusak sumber air dan memicu bencana alam
Aktivis lingkungan Kahar Al Bahri menyebutkan, Kaltim adalah cermin buruk daerah yang terdampak pertambangan. Debu akibat aktivitas tambang batubara yang beterbangan dimana-mana memicu penyakit ISPA, pembukaan lahan yang masif juga membuat area resapan air menghilang serta mengakibatkan bencana bajir dan longsor sewaktu-waktu dapat terjadi.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kaltim Wahyu Widhi Heranata mengakui, pengawasan terhadap tambang-tambang bermasalah masih lemah. Namun, tambang-tambang bermasalah yang berstatus non-Clear & Clean atau Non-C&C akan ditindaklanjuti dengan pencabutan izin sesuai dengan rekomendasi Kementerian ESDM. “Hanya pencabutan izin ini akan dilakukan secara bertahap,” ucap Widhi.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kaltim Nur Sigit mengatakan, sudah berusaha membenahi kerusakan lingkungan akibat tambang batubara dengan memperbaiki kualitas air, udara, dan tutupan lahan. Selain itu, pihaknya berupaya menurunkan emisi gas buang.
Petaka debu tambang, tanah longsor, dan banjir bertautan dengan eksploitasi habis-habisan emas hitam di Kaltim. Kondisi ini menunjukkan potret buram tata kelola batubara. Jika hal ini terus dibiarkan, daerah berjuluk “Bumi Etam” ini tak akan lepas dari kubangan bencana.