Kenaikan harga telur ayam dua bulan terakhir, barangkali dianggap lumrah, sebab biasa terjadi setiap menjelang Lebaran, Natal, atau Tahun Baru. Namun, kenaikan kali ini dilingkupi oleh sederet ironi, tentang ambisi produksi dan angka-angka yang bertentangan dengan situasi.
Harga rata-rata telur ayam ras di pasar-pasar tradisional di DKI Jakarta, Minggu (16/12/2018), mencapai Rp 26.268 per kilogram (kg). Angka itu 14,2 persen di atas harga acuan penjualan di tingkat konsumen sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 96 Tahun 2018. Selain itu, harga juga telah 21,7 persen lebih tinggi dibandingkan rata-rata harga dua bulan lalu, yakni berkisar Rp 21.000 per kg.
Benar bahwa kenaikan digerakkan oleh naiknya permintaan menjelang hari besar keagamaan. Namun, fluktuasi harga menandakan pengaturan produksi tidak berjalan dengan baik. Kenaikan harga bahkan terjadi di tengah klaim surplus produksi. Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian menyebut bahwa surplus telur ayam ras mencapai 77.000 ton pada Desember 2018 ini.
Selain itu, kenaikan harga telur ayam ras tidak benar-benar dinikmati peternak, sebab berlangsung di tengah lonjakan ongkos produksi. Apa artinya kenaikan harga jual jika temporer, sementara ongkos produksi secara pasti terus bergerak naik? Sepanjang tahun ini, harga pakan unggas telah tiga kali naik senilai Rp 600-800 per kg, belum termasuk kenaikan di tahun 2016-2017 yang sebagian besar dipengaruhi oleh harga jagung.
Jagung adalah komponen utama pakan unggas. Dalam struktur biaya pakan ayam petelur, porsi jagung mencapai 50 persen, selebihnya antara lain disumbang oleh bungkil kedelai, bekatul, serta meat bone meal. Oleh karena itu, sedikit saja suplai atau harga jagung terganggu, ongkos produksi segera terdampak.
Sayangnya, “gangguan” berulang terjadi sejak pemerintah membatasi impor jagung secara ketat tahun 2016. Peternak telah berulang berteriak karena kesulitan mendapatkan jagung atau karena harganya kian mahal. Kini harga jagung dengan kadar air 15 persen telah mencapai Rp 6.000 per kg di tingkat peternak atau 1,5 kali lebih tinggi dibandingkan harga acuannya. Padahal, produksinya diklaim surplus.
Data produksi tak tercermin di pasar. Alih-alih turun, harga jagung berulang bikin bingung, sebab konsisten di atas harga acuan. Peternak juga berulang teriak meminta jaminan pasokan. Terakhir, pemerintah mengambil keputusan tak biasa, meminjam 10.000 ton jagung milik perusahaan pakan untuk membantu peternak kecil. Bukan saja aneh, sebab bertolak belakang dengan klaim surplus, keputusan meminjam jagung itu merusak iklim investasi. Pemerintah juga memutuskan impor jagung maksimal 100.000 ton sampai akhir tahun.
Di luar hiruk pikuk perdebatan soal angka produksi, pelaku industri dan peternak terus bersiasat untuk bertahan hidup. Industri pakan, misalnya, mensubstitusi jagung dengan gandum. Sebagian peternak mengurangi porsi jagung untuk menekan ongkos meski berisiko ke produktivitas.
Pembatasan impor jagung dinilai justru memicu ketidakefisienan di sisi lain. Menurut hitungan Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka), kerugian ekonomi akibat pembatasan impor jagung selama 2016-2018 mencapai Rp 52,16 triliun, baik karena substitusi ke gandum atau kenaikan harga pakan. Apakah pemerintah menghitung segenap risiko itu? Jangan-jangan, peternak ikut menanggung rugi. "Buntung" karena jagung.