BASF adalah salah satu pemain global di industri kimia. Berkedudukan di Jerman, mereka melebarkan sayap hingga ke Indonesia. Di Tanah Air, BASF menyediakan produk petrokimia, monomer, bahan antara, resin, nutrisi, kesehatan, kimia kinerja, katalis, kimia konstruksi, pelapis dan bahan kinerja, serta solusi pertanian. Ada empat pabrik BASF yang beroperasi di Indonesia, yang berada di Cengkareng, Cikarang, Cimanggis, dan Merak. Pada akhir 2017, penjualan BASF Indonesia tercatat 512 juta Euro.
Untuk mengetahui permasalahan seputar bisnis global dan pandangannya tentang bisnis di Indonesia, Kompas memawancarai Board of Executive Director BASF SE Sanjeev Gandhi. Di mata dia, Indonesia masih menjadi pasar yang atraktif. Meskipun demikian, daya tariknya perlu diperkuat dengan fokus investasi di bidang manufaktur serta konsistensi dan keterbukaan soal kebijakan negara.
Bagaimana pandangan Anda terhadap ekonomi global saat ini?
Konflik dagang antara China dan Amerika Serikat (AS) saat ini menimbulkan ketidakpastian pasar. Akibatnya, mayoritas pelaku usaha kehilangan kepercayaan diri dalam berbisnis. Bisnis negara-negara yang masih berorientasi impor tidak diuntungkan dengan kondisi ini. Negara-negara terdampak pun cenderung melindungi pasar domestik. Selain itu, bagi kami yang induk perusahaannya ada di Jerman, permasalahan geopolitik menjadi sorotan. Contohnya, keluarnya Inggiris dari Uni Eropa (Brexit) serta konflik antara Italia dengan Uni Eropa. Di Indonesia, saya melihat fluktuasi nilai tukar. Namun, saya masih optimistis Indonesia memiliki fundamen yang positif untuk menghadapinya.
Spesifiknya, bagaimana pandangan Anda terkait turbulensi perekonomian global?
Berdasarkan pandangan kami dalam enam bulan terakhir, sentimen terhadap perekonomian global telah turun menjadi rambu hati-hati bagi pelaku bisnis dan industri. Padahal, sentimen pada awal 2018 sangat positif. Penyebab utamanya datang dari perang dagang China dan AS, dua negara dengan perekonomian terbesar. Kedua negara ini tengah melindungi pasar masing-masing sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi iklim industri.
Bagaimana pandangan Anda terkait dampak turbulensi perekonomian global di Asia?
Secara eksternal, kenaikan suku bunga Bank Sentral AS berdampak pada nilai tukar sejumlah negara di Asia. Secara internal, sejumlah negara akan mengadakan Pemilihan Umum, contohnya India dan Indonesia. Kedua hal ini memengaruhi sentimen ekonomi Asia. Berita baiknya, fundamen ekonomi tidak berubah. China, Indonesia, dan India masih mampu menunjukkan fundamen yang baik, misalnya ekonomi Indonesia yang masih bisa tumbuh di kisaran 5 persen. Kondisi ini memberikan sentimen positif pada pasar Asia. Meskipun demikian, pelaku industri dan bisnis cenderung memilih sikap menunggu dan melihat sampai mendapatkan kepastian dan kejelasan perekonomian.
Apa yang mendasari optimisme Anda pada pasar Asia?
BASF sudah beroperasi di Asia lebih dari 130 tahun. Kami sudah mencatatkan penjualan lebih dari 20 triliun dollar AS di Asia. Permintaan produk kimia di Asia sekitar 60 persen dari permintaan global. Hal ini membuat Asia menjadi mesin pertumbuhan ekonomi di dunia.
Bagaimana antisipasi BASF untuk menghadapi ketidakpastian global?
Kami memilih fokus pada strategi jangka panjang. Optimisme kami masih pada pasar Asia sebagai yang terbesar, contohnya China dan Asia. Oleh sebab itu, kami akan memperkuat pemanfaatan bahan-bahan lokal di tiap negara di Asia. Kami juga akan mendesain ulang rantai nilai dalam proses distribusi. Dalam strategi ini, kami memperhitungkan dampak ketidakpastian global pada pelanggan.
Perang dagang dimanfaatkan sejumlah pelaku industri untuk memindahkan pabriknya dari China. Bagaimana dengan BASF?
Rantai pasok itu kompleks. Kami harus mempertimbangkan bahan baku mentah yang bisa didapatkan di daerah pabrik berada dan pemrosesannya. Jika pindah, kami harus melakukan sejumlah tes dan mengubah mekanisme kontrol kualitas, baik dari segi pabrik maupun bahan baku.
Bagaimana pandangan Anda terkait negara yang pasarnya tengah berkembang (emerging market)?
Di negara-negara tersebut, daya beli konsumen domestik menjadi kunci. Semakin kuat industri dan perusahaan lokal, permintaan dalam negeri meningkat. Peningkatan ini membuat industri dan perusahaan lokal bertumbuh dan akhirnya membentuk suatu siklus timbal-balik. Kami juga siap membawa teknologi paling modern untuk mengembangkan bisnis di negara-negara ini, salah satunya Indonesia. Contoh teknologi yang kami tawarkan adalah otomatisasi yang berbasis analisis dari data raksasa.
Bagaimana pandangan bisnis Anda terhadap Indonesia?
Berdasarkan populasinya, Indonesia menjadi negara ketiga terbesar di Asia. Bonus demografi dan sumber daya alam menjadi keunggulan Indonesia saat ini. Contohnya, kami menggunakan minyak sawit dari Indonesia sebagai bahan baku untuk sabun dan shampo. Akan tetapi, manufaktur Indonesia masih perlu dibenahi, misalnya di bidang otomotif dan konstruksi. Seharusnya, manufaktur menjadi salah satu fokus sasaran investasi.
Bagaimana pandangan Anda terhadap sumber daya manusia Indonesia?
Bonus demografi Indonesia merupakan suatu potensi dibandingkan dengan sejumlah negara seperti Jerman, Jepang, dan Korea Selatan yang kini demografinya tengah menua. Saat ini, saya melihat begitu banyak populasi anak muda di Indonesia. Hal ini turut memacu BASF menggali peluang di Indonesia. Kami juga percaya akan menemukan ahli kimia di Indonesia.
Bagaimana dengan kondisi jasa pendukung yaitu jasa logistisk di Indonesia?
Dari sisi logistik, kami mengharapkan ada perbaikan dalam infrastruktur pelabuhan. Meskipun demikian, Indonesia merupakan pasar yang atraktif. Agar daya tariknya terjaga, transparansi dan konsistensi kebijakan negara menjadi kunci. Kedua aspek itu membuat kami, pelaku industri, mendapatkan kepastian proyeksi pengaruh kebijakan pada bisnis kami ke depannya.