Perubahan rezim politik dari otoriter ke demokrasi ternyata tidak serta-merta mengubah kultur jurnalistik harian Kompas. Cara Kompas memberitakan masih tetap khas, yaitu cenderung sopan, hati-hati, halus, terutama ketika berhadapan dengan kekuasaan.
Argumen ini disimpulkan Wijayanto atau Wija, peneliti media sekaligus dosen FISIP Universitas Diponegoro Semarang. Sebelum menjalani ujian terbuka bulan depan, mahasiswa program doktoral Universitas Leiden, Belanda ini menyempatkan diri mampir dan berdiskusi di Kedai Buku Cak Tarno atau Cak Tarno Institute di kompleks Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, Sabtu (15/12/2018).
Diskusi Cak Tarno Institute kali ini mengangkat tema “Biografi Kompas: Sejarah Hubungan Harian Kompas dan Kekuasan, 1965-2015”. Tema ini diangkat dari bahan disertasi Wija berjudul “Between Fear and Power: Kompas, Indonesia’s Most Influential Daily Newspaper 1965-2015”.
Wija menyebut disertasinya sebagai sebuah karya etnografis. Untuk menyusunnya, ia mendapat keleluasaan Redaksi Kompas keluar masuk ruang redaksi seperti layaknya seorang wartawan, diberi meja khusus, bisa ikut semua rapat, hingga ikut ke lapangan selama setahun sejak 2014 hingga 2015.
“Saya menulis buku ini seperti menulis biografi seorang manusia. Kapan Kompas lahir, bagaimana dia tumbuh berkembang, peristiwa politik dan ekonomi apa saja yang membentuk nilai-nilai jurnalistik dan kultur-kulturnya, hingga pada rezim politik apa dia tumbuh dan berkembang berikut latar belakang di baliknya,”paparnya.
Selalu berhati-hati
Kompas terbit 28 Juni 1965 pada masa-masa akhir Orde Lama yang langsung beralih ke rezim Orde Baru yang otoriter. Dalam kondisi seperti ini, pemberitaan Kompas cenderung tidak frontal dan penuh kehati-hatian.
Meski sudah penuh kehati-hatian, Kompas pernah dua kali dibredel oleh rezim Orba, pertama ketika Pepelrada Jakarta Raya mengeluarkan larangan terbit untuk semua harian, termasuk Kompas pada 3-5 Oktober 1965 dan kedua pada 21 Januari 1978 sampai 5 Februari 1978 saat Kompas dilarang terbit bersama enam surat kabar lainnya karena memberitakan aksi mahasiswa menentang kepemimpinan Presiden Soeharto jelang Sidang Umum MPR 1978.
Setelah mengalami sejumlah guncangan, Kompas semakin berhati-hati menyensor diri sendiri. Bahkan, sampai memasuki masa reformasi pun, Kompas tetap mempertahankan habitusnya untuk selalu hati-hati seperti slogan Jawa njiwit ning aja lara (boleh mengkritik tetapi tidak menyakiti).
"Ada elemen kultur Jawa yang dibawa oleh Jakob Oetama (pendiri Kompas) seperti: buat apa kita menulis kalau hanya untuk menyakiti orang? Ada pelajaran tentang rasa yang diajarkan Jakob kepada para wartawan Kompas," ungkap Wija.
Jurnalisme rasa
Jurnalis legendaris Rosihan Anwar pernah melabeli Kompas sebagai koran dengan gaya jurnalisme kepiting. Dia maju ke depan dan kalau ada batu akan berputar lalu mundur dulu kemudian maju lagi.
Metafora ini menarik, meski menurut Wija kurang tepat. Ia justru mengistilahkan Kompas sebagai media dengan gaya jurnalisme rasa.
"Dalam menulis, wartawan-wartawan Kompas memakai rasa. Salah satu contoh menarik adalah peliputan kejadian luar biasa campak yang menewaskan 67 anak Asmat, Papua. Kompas memulainya dengan membuat headline selama beberapa hari dan kemudian baru diangkat media-media lain. Respon pemerintah cepat sekali menyikapi hal ini," paparnya.
Menurut Wija, Kompas tidak hanya media yang sekedar mencari uang saja tetapi juga membangun pengaruh. Ia sampai menggelar survei ke anggota legislatif, pejabat kementerian, hingga Istana Kepresidenan terkait pengaruh Kompas. Rupanya, mereka membaca dan percaya kepada Kompas.
Dalam bukunya, Wija juga menyampaikan beberapa kritik kepada Kompas, antara lain terkait keenganan media ini mengangkat beberapa isu ke permukaan yang dianggapnya sensitif. "Bagaimana mungkin kita bisa menyelesaikan masalah, tetapi untuk mengakui masalah itupun kita enggan?," ucapnya.
Rahmat Yananda, salah satu peserta diskusi mempertanyakan sikap kehati-hatian Kompas apakah sekedar untuk berlindung di balik kepentingan ekonomi saja? Menurut Wija, terlepas dari segala kekurangannya, selama 53 tahun Kompas tidak hanya menerapkan prinsip jurnalisme humanisme transendental tetapi lebih luas, yaitu jurnalisme rasa.