“Kami Tidak Miskin Uang, Tapi Miskin Akan Hak yang Tak Dipenuhi”
Alih-alih menggusur dan merelokasi, warga kampung lebih baik dilibatkan langsung dalam merancang pembangunan pemukiman mereka.
Oleh
Agnes Rita Sulistyawaty
·5 menit baca
[…] large development organizations like the World Bank, IMF, and the United States Agency for International Development (USAID), exercised power not only by controlling money flows but also by creating the dominant ideas, representations, and discourses (Peet & Hartwick, 2009).
Dalam buku Theories of Development: Contentions, Arguments, Alternatives (2009), Peet dan Hartwick menjelaskan, persepsi khas Barat tentang pembangunan diadopsi dalam praktik berbagai institusi. Karenanya, manusia, komunitas, dan pemerintah di negara berkembang, termasuk Indonesia, selalu mematok “kemajuan” dalam kacamata Barat.
Hal inilah yang kini coba dikikis dalam membangun perkampungan di Jakarta. Alih-alih menggusur dan merelokasi, warga kampung dilibatkan langsung dalam merancang pembangunan pemukiman mereka. Melalui program Rencana Tindak Warga (Community Action Plan/CAP), Minawati (49), warga Kampung Rawa Barat, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, memperoleh optimismenya.
“Mumpung Pak Gubernur (DKI Jakarta Anies Baswedan) terbuka, kami dapat kesempatan membuat pembangunan itu dari bawah ke atas (bottom-up),” kata Minawati, Minggu (16/12/2018), dalam pameran bertajuk “Ini Kampung” yang digelar Rujak Center for Urban Studies (RCUS).
Setelah 21 tahun menghuni pemukiman padat penduduk di tepi Kali Pesanggrahan itu, perjuangan Minawati dan warga lainnya berbuah. Melalui upaya memindahkan rumah tiga meter dari tepi kali serta berbagi lahan, akhirnya dibentuk Rukun Tetangga (RT) 16 di Rukun Warga (RW) 2 Kelurahan Kebon Jeruk untuk melegitimasi keberadaan mereka. Akses sebagai warga DKI Jakarta pun dapat terpenuhi, dimulai dari pembuatan Kartu Tanda Penduduk.
“Selama ini, kami enggak dianggap warga karena enggak punya RT. Kami harus numpang di RT 2 buat kegiatan. Sejak ada RT 15 dan 16, kami sudah bisa bikin KTP dan balik nama BPKB (Buku Pemilik Kendaraan Bermotor),” kata pegawai RS Pelni, Jakarta Barat, itu.
Masuk prioritas pembangunan dalam CAP, Kampung Rawa Barat pun mulai dihiasi lampu jalan dan tanaman hijau, serta dibuatkan jalan. Perusahaan konsultan pemegang tender juga terus menerima masukan dari masyarakat, seperti mengenai penyediaan toilet dan tangki septik. Meski demikian, Minawati dan warga RT 16 lainnya belum mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB) maupun hak guna bangunan (HGB) untuk memastikan keamanan tinggalnya di permukiman padat itu.
Sebelumnya, persiapan CAP diselenggarakan Jaringan Rakyat Miskin Kota di Waduk Pluit, Jakarta Utara, 14 Januari 2018. Gubernur Anies Baswedan menyatakan, CAP sebagai komitmen pemerintah bagi warga yang datang ke Jakarta dari daerah untuk memperbaiki taraf kehidupan.
Langkah ini sekaligus kolaborasi pemerintah dengan warga dalam perencanaan pembangunan sekaligus kelanjutan dari kontrak politik yang dibuat Anies-Sandi pada 8 April 2017.
Berpenghasilan
Menurut Bank Dunia, kampung dengan tingkat kesesakan tinggi (lebih dari dua orang dalam satu kamar), kualitas dan lokasi bangunan buruk, ketiadaan IMB dan HGB, serta sanitasi yang buruk dapat dikategorikan sebagai permukiman kumuh (slum). Bank Dunia juga mencetuskan, warga miskin cenderung tinggal di permukiman kumuh.
Kendati begitu, Minawati mengatakan, penghasilan dari profesi mayoritas warga, yaitu pengojek dan buruh bagi laki-laki dan pedagang makanan bagi perempuan, terbilang cukup. Dengan 100.000 per hari dari berdagang, para ibu dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, membangun rumah, dan menyekolahkan anak-anaknya.
“Sebenarnya kami ini bukan miskin uang, tapi kami miskin akan hak yang tidak dipenuhi. Kalau digusur, kan, kami tambah miskin,” kata dia.
Rini (43) merasa telah menjadi “korban” relokasi ke rumah susun (Rusun). Sebelum tinggal di Rusun Muara Baru, Jakarta Utara, ia tinggal di kampung yang kini telah menjadi Taman Waduk Pluit. Selain harus naik-turun ke lantai 5 rumahnya setiap hari, ibu rumah tangga ini merasa rusun telah merenggut kekeluargaan khas kampung seperti masak bersama dan cuci baju bersama.
Direktur Eksekutif RCUS Elisa Sutanudjaja mengatakan, hak untuk memiliki hunian memang menjadi masalah bagi warga kampung. Pemerintah seharusnya mempermudah akses pemberian IMB dan HGB bagi warga kampung.
“Untuk real estat saja, pemerintah mudah sekali memberi IMB maupun HGB selama 25-30 tahun. Tapi kenapa enggak buat warga kampung? Kan, warga kampung juga warga kota,” kata dia.
Ubah Paradigma
Menurut data RCUS, pada tahun 1950-an, di bawah Wali Kotapraja Jakarta Sjamsuridjal, kampung identik dengan perumahan rakyat. Tanpa perencanaan, kampung tumbuh di berbagai bagian Jakarta, mulai dari pusat kota, pinggir rel kereta, hingga rawa.
Kampung pun menjadi penyedia buruh, jasa, dan barang murah untuk kota. Gubernur Ali Sadikin pada 1969 memulai Kampung Improvement Program, yaitu pengembangan kampung tanpa merelokasi warga. Namun, seiring modernisasi pada 1980-an, kampung dianggap sebagai anomali dan tempat kumuh. UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun pun melembagakan pilihan untuk mencegah meluasnya kampung.
Adanya City Without Slums yang digagas Cities Alliance di bawah Bank Dunia, serta UN Habitat, membuat kampung dilihat sebagai permukiman kumuh. Kampung pun mendapat stigma sebagai sarang penyakit dan kriminalitas. Elisa mengatakan, hal ini menjadi pembenaran bagi pemerintah untuk menggusur.
“Padahal, kampung dibangun atas dasar hubungan sosial antarwarga. Ada fungsi gotong-royong di kampung, misalnya mereka membangun rumah dengan dana bergulir. Ini juga terlihat dari cara hidup warga, misalnya dengan menomorsatukan pejalan kaki, membuat hajatan di jalan, dan sebagainya,” kata Elisa.
Menurut Clifford Geertz (1965), kampung adalah wadah penyedia tempat tinggal terjangkau, terutama bagi kaum migran. Itu menjadikannya tempat bagi komunitas sosial beradaptasi dengan kehidupan urban serta berkolaborasi dengan orang-orang dari bermacam latar agama dan budaya. Bagi warga kampung, kampung juga menjadi tempat strategis untuk bekerja karena lokasi yang strategis di dalam kota.
Karena itu, Elisa berpendapat, rumah tidak boleh dilihat sebagai komoditas sosial semata, tetapi sebagai hak asasi manusia. Namun, hal itu tidak boleh hanya berhenti pada penyediaan.
“Kampung harus bisa menjadi hunian yang layak bagi warganya. Rumah di kampung harusnya bisa dilengkapi hak pakai, memiliki bangunan yang sehat dan baik, terjangkau, dan mendukung ekspresi budaya warganya,” kata dia.
Antropolog Kolombia Arturo Escobar (1995) mengatakan, pembangunan semestinya memberikan ruang bagi artikulasi paradigma lokal yang termarjinalkan di masyarakat. Kampung dapat menjadi ruang bagi suara-suara yang selama ini tak terdengar. (Kristian Oka Prasetyadi)