Kisah Tugu-Tugu di Dua Desa Tugu
Siapa tak kenal Puncak? Kawasan wisata di Kabupaten Bogor ini masyur dengan pemandangan alam yang permai. Terkenalnya Puncak melampaui nama Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan, di kawasan ini. Bahkan, kisah tugu-tugu di kedua desa ini juga samar.
Siapa tak kenal Puncak? Kawasan wisata di Kabupaten Bogor ini masyur dengan pemandangan alam yang permai. Terkenalnya Puncak melampaui nama Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan, di kawasan ini. Bahkan, kisah tugu-tugu di kedua desa ini juga samar.
Kepala Seksi Pelayanan Umum Desa Tugu Selatan Iwan dan sejumlah pegawai di kantor desa itu mengaku tidak tahu sejarah tugu yang mengilhami nama desanya. Sebab, sepengetahuan mereka, tidak ada tugu khusus yang menjadi penanda desa.
“Paling adanya tanda batas desa, seperti batas-batas desa lainnya. Itu juga buatan zaman sekarang. Saya juga tidak tahu sejarah terbentuknya desa ini,” kata Iwan.
Baini (69), sejawat senior Iwan, juga tidak tahu pasti sejarah itu. “Katanya dulu ada tugunya, tapi dimana, saya tidak pernah tahu. Saya tahunya, desa menjadi dua, Tugu Selatan dan Tugu Utara, karena di belah oleh Jalan Raya Puncak,” katanya.
Namun, lanjut Baini, cikal bakal desa di kawasan perkebunan pegunungan ini adalah bentukan tuan tanah Belanda yang memiliki perkebunan di sini. Tuan tanah itu menamakan wilayahnya itu “Kemandoran”. Tuan tanah ini menunjuk Bungsu Astarif sebagai kepala Kemandoran.
Ia menjelaskan itu berdasarkan selembar fotokopi berisi catatan singkat bertajuk “Sejarah Desa”. Dalam catatan itu, tidak dijelaskan kenapa nama Tugu dilekatkan di wilayah ini. Tak ada pula penjelasan pembagian Tugu Utara dan Tugu Selatan.
Catatan itu mengatakan, masuk zaman penjajahan Jepang, wilayah ini berstatus desa dikepalai seorang “kuce” bernama Madja, sesuai undang-undang perang Jepang atau “Osamu Sairsi”. Setelah Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dibentuk menjadi desa tanpa menyebut nama desa itu. Kepala desanya bernama Tjetjep Soekandar, berdasarkan undang-undang kedesaan, apa yang disebut IGO.
Pada 1967, masih berdasarkan catatan itu, Desa Tugu Selatan dipimpin Haji Dudung Doelbari, sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979. Hingga catatan dibuat 4 April 1986, desa itu masih dipimpin orang yang sama. “Ini catatan dibuat atau diketik sendiri oleh Doelbari, saat masih menjadi kepala desa,” kata Baini, yang sudah menjadi pegawai di desa itu saat Doelbari berkuasa.
H Sofjan Hidajat (68), rekan Baini yang pernah menjadi juru tulis desa dan kini petugas penarik pajak bumi dan bangunan (PBB) desa, hanya mengingat bahwa dulu ada Desa Tugu. "Kantor desanya numpang di wisma Departemen Penerangan, yang kini menjadi wisma Infokom, tidak jauh dari kantor desa sekarang. Wisma itu kasih dua kamarnya untuk kantor desa. Penduduk juga belum banyak.”
Menurut Hidajat, banyak warga yang penasaran juga, kenapa desa ini bernama Tugu. Tak jarang orang mencari tahu dimana bangunan tugu. Ada beberapa cerita mengenai bekas bangunan tugu berada. Salah satunya, tugu berupa pilar pendek yang pernah berlokasi sekitar 200 meter dari rumah Hidajat. “Sekarang dibekas tugu itu jadi vila Eva Sari. Yang jadi teras vila itu, lokasi tugunya,” katanya.
Batu Panutugan
Cerita tentang tugu lainnya datang dari Ujang Sutinsa (73), Kepala Dusun 1 Desa Tugu Selatan. Menurutnya, asal nama Tugu karena dulu ada batu lonjong sebesar sapi dewasa, yang dikenal sebagai batu Panutugan. Lokasi batu itu di pinggir jalan di depan Wisma Jayakarta, Kampung Tugu. Lokasi itu kini menjadi halaman minimarket. Bangunan wisma yang ada, berlokasi di belakang minimarket.
“Saya tahu tentang batu Panutugan ini dari bapak dan kakek saya. Batu itu batu alam. Batu ini sebagai penanda, kalau sampai batu itu, berarti sudah sampai di Kampung Tugu. Yang dinamakan kampung Tugu tidak luas, mulai dari kantor desa yang sekarang sampai Riung Gunung. Kesananya, Kampung Citaringgul yang luas sekali, lalu kampung Puncak. Sekarang sudah banyak kampung baru di sana,” kata Ujang.
Menurut Ujang, Kampung Tugu tidak luas karena sekelilingnya kebun teh. Kala itu, orang yang melintas pun jarang. Pukul 14.00, masih ada satu dua orang yang lewat. Setelah itu, tidak ada lagi yang berani sebab jalannya gelap dan banyak hutan. Pohon-pohon di kiri kanan jalan tinggi-tinggi dan besar. Tajuk pohon pengapit jalan, menyatu sehingga membentuk lorong pohon.
“Kata kakek saya, batu itu dinamakan Panutugan karena setiap orang yang sudah sampai ke batu itu, tidak mau kembali ke kampung halamannya lagi. Pada betah dan tinggal di Kampung Tugu. Ini terbukti. Coba saja jalan-jalan di desa ini, yang penduduk asli Tugu, sedikit. Kebanyakan pendatang dari mana-mana,” tutur Ujang.
Ujang tidak tahu batu penada kampung itu dipindahkan ke mana dan siapa yang memindahkan. Iapun tidak paham betul, apakah nama desa sekarang diambil dari nama kampung atau karena ada keberadaan tugu lainnya, seperti Tugu Taruna Giri di Kampung Puncak, Ciloto, Cianjur. Yang diingatnya, perkebunan tehnya sangat luas sampai ke Megamendung dan hutannya juga lebat.
“Waktu akhirnya saya bekerja di kantor desa tahun 1960-an, nama desa sudah menjadi Desa Tugu Selatan dan Desa Tugu Utara. Desa dimekarkan jadi dua dan dipisahkan Jalan Raya Puncak. Belakangan, jalan ini juga diperbaiki. Ada jalan lama buatan Belanda yang tidak dipakai lagi karena tanjakan dan turunannya terlalu curam. Jadi, Jalan Raya Puncak adalah jalan baru, namun batas desa tidak diubah sehingga ada wilayah Tugu Selatan yang berada di Tugu Utara, karena ada perubahan jalan itu,” katanya.
Banyak tugu
Yudi Wiguna (52), tokoh masyarakat di Puncak Cisarua, mengatakan, nama pemukiman paling selatan di Kabupaten Bogor ini, terkait banyak tugu, baik secara fisik maupun bukan fisik, di kawasan Puncak. Tugu penanda wilayah dan batas jalan ini dibuat zaman kolonial dan juga setelah kemerdekaan.
“Tugu buatan Belanda yang tersisa tinggal dua. Yang satu berada pas ditikungan Pucak Pass. Satunya lagi dekat Jalan Gunung Mas dan Jalan Raya Puncak. Tugu itu sekarang sudah mau jatuh. Sudah saya ingatkan ke petugas di sana untuk menjaganya, jangan diapa-apakan. Tugu ini cukup besar dengan tinggi sekitar 1,5 meter dan dasarnya seluas satu meter persegi. Kalau tugu lainnya yang buatan Belanda, sudah tidak ada lagi,” katanya.
Dua tugu tinggi buat Belanda yang sudah hilang, lanjut Yudi, berlokasi di Pondok Golendang (sekarang pemakaman umum Golendang) di Tugu Utara dan di tempat yang kini menjadi halaman parkir minimarket di Pondok Caringin, Tugu Selatan. Tinggi tugunya, berdasarkan penuturan orangtua Yudi, sekitar tiga meter dengan luas dasar satu meter persegi. Saat anak-anak, Yudi sempat melihat tugu namun sudah berupa reruntuhan.
Tugu lain yang dibuat setelah kemerdekaan adalah Tugu Taruna Giri yang diresmikan Bung Karno dan M Yamin yang saat itu menjabat Menteri Pendidikan. Tugu di Kampung Puncak, Desa Ciloto, Cianjur, ini diresmikan pada April 1955. Kampung ini berbatasan dengan Bogor.
Menurut Yudi, Bung Karno mendirikan semacam vila untuk menjamu tamu-tamu negara waktu itu. Tempat itu dinamakannya Riung Gunung, karena lokasi itu dikelilingi gunung-gunung, bukan cuma Gunung Gede Pangrango. Saat itu juga Bung Karno beride agar restoran yang ada sejak zaman kolonial, menjadi hotel berwawasan lingkungan. Adapun restoran itu menjadi Puncak Pass Hotel. Di kompleks hotel itu, Bung Karno meresmikan Tugu Taruna Giri.
Tugu itu sebagai pengingat bahwa hotel harus menjaga kelestarian sekaligus memperkenalkan keindahan alam Puncak kepada wisatawan atau tamu-tamunya. Pengelola hotel ini adalah mahasiswa atau pelajar eks Tentara Pelajar, yang direhabilitasi dan diberdayakan di bidang pariwisata.
Menurut Alironi, manajer Puncak Pass Resort, Tugu Taruna Giri menjadi semacam peringatan pada yayasan dan manajemen hotel untuk menjaga alam dan hutan sekitar resort.
Para eks Tentara Pelajar setelah perang melawan agresi Belanda, juga dididik sebagai ahli pariwisata Indonesia. Hotel yang dikelola Yayasan DKM ini, melahirkan Dewan Pariwisata Indonesia serta tenaga ahli kepariwisataan yang kemudian menyebar ke berbagai hotel di masa itu. Selanjutnya, hotel ini berkembang jadi resort.
Tahun 1955, sebelum Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, berlangsung rapat-rapat persiapan KAA di Gedung Gede yang sekarang menjadi wisma Kementerian Perhubungan, di Tugu Selatan.
“Karena itu di Tugu Selatan, ada Jalan Pra Asia Afrika. Sampai sekarang, kawasan Puncak tetap jadi tujuan wisata dan tempat berbagai lembaga pemerintah maupun swasta membangun pusat pelatihan dan pendidikan. Sekitar 2-3 bulan lalu, diresmikan Pusdiklat Mahkamah Konstitusi,” katanya.
Lebih lanjut Yudi menuturkan, nama Tugu Utara dan Tugu Selatan muncul karena ada pemekaran wilayah. Saat itu, Bupati Bogor dijabat Wisatja. Sebelum tahun 1955, wilayah itu dikenal sebagai Kemandoran dan masuk Desa Tjilember, Kecamatan Megamendung.
Pada 1956 hingga 1967, wilayah ini disebut Kemandoran Tugu Utara dan Kemadoran Tugu Selatan. Baru pada 1968, resmi disebut Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan dan masuk ke Kecamatan Cisarua.
“Ayah saya, R Yoyo Mahmud Gunawihana, yang semula sebagai Mandor Kemadoran Tugu Selatan, menjadi kepala desa pertama Desa Tugu Selatan. Beliau menjabat sampai tahun 1972. Jadi, wilayah ini memakai nama tugu karena waktu itu masih banyak tugu peninggalan Belanda, ditambah Tugu Taruna Giri. Sekarang tugu-tugu buatan Belanda yang besar-besar tinggal dua, lainya hilang, termasuk patok-patok penanda kilometer jalan buatan Belanda,” katanya.