JAKARTA, KOMPAS — Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak agar penegakan hukum atas penyerangan kantor Polsek Ciracas, Jakarta Timur, dan rumah warga dilakukan secara transparan dan akuntabel. Koalisi meminta penegakan hukum tidak hanya tajam kepada pengeroyok anggota TNI, namun juga berlaku untuk pelaku perusakan kantor Polsek Ciracas.
Pernyataan itu dikemukakan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan di Jakarta, Senin (17/12/2018), di kantor Amnesty International Indonesia.
Direktur LBH Jakarta Arif Maulana mengatakan, koalisi menuntut kasus perusakan kantor Polsek Ciracas dan rumah warga disusut tuntas karena peristiwa tersebut menggambarkan pelecehan terhadap penegakan hukum. Perusakan kantor Polsek Ciracas adalah aksi main hakim sendiri yang menunjukkan ketidakpercayaan pada proses penegakan hukum.
Arif mengungkapkan, harus ada persamaan di muka hukum dalam kasus pengeroyokan ataupun perusakan. Pelaku pengeroyokan anggota TNI dalam waktu cepat ditangkap polisi, tetapi pelaku perusakan kantor polsek belum diketahui.
”Polisi harus melakukan penyelidikan secara imparsial. Warga sipil yang mengeroyok diusut dengan cepat, tetapi pelaku perusakan polsek yang lebih serius tidak segera diusut,” katanya.
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengungkapkan keheranannya, mengapa pelaku perusakan Polsek Ciracas belum teridentifikasi.
”Kenapa TNI membuat tim untuk investigasi kalau tidak ada indikasi keterlibatan TNI. Dugaan saya, kasus ini hanya sampai ke pengadilan militer. Tetapi, karena titik kerugian lebih banyak nonmiliter, lebih baik diadili di pengadilan umum,” tutur Usman.
Ia melanjutkan, tidak pada tempatnya apabila jiwa korsa anggota TNI menjadi alasan perusakan polsek. Sebab, tindakan tersebut menyebabkan terganggunya pelayanan publik, mengganggu ketertiban, dan membuat masyarakat trauma.
Menurut Usman, insiden tersebut menunjukkan anggota TNI tidak takut pada hukum. Pengadilan militer memberikan hukuman ringan terhadap pelaku, bahkan dalam kasus pelakunya justru mendapat kenaikan pangkat.
Kepala Divisi Pembela HAM Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Arif Nurfikri mengatakan, harus ada sikap tegas terhadap pelaku dari TNI. Meskipun pimpinan TNI dan Polri sudah bertemu untuk menyelesaikan masalah, proses hukum harus tetap dilakukan.
Arif menyebutkan, jiwa korsa yang sesungguhnya tidak dengan merusak fasilitas pemerintah. Jiwa korsa sering menjadi alasan untuk meringankan hukuman di pengadilan.
”Tindakan itu (perusakan) jangan dilihat sebagai jiwa korsa, tetapi sebagai balas dendam,” ujarnya.