PYONGYANG, SENIN — Pemerintah Korea Utara mengecam keras Amerika Serikat terkait dengan langkah-langkah sanksi terbaru Washington. Pyongyang pun memperingatkan bahwa pendekatan Washington dapat ”memblokade jalan menuju denuklirisasi di Semenanjung Korea selamanya”.
Dalam sebuah pernyataan yang disiarkan kantor berita resmi Korean Central News Agency (KCNA), Minggu (16/12/2018), Korea Utara mengatakan bahwa Presiden AS Donald Trump telah berulang kali menyatakan keinginannya untuk meningkatkan hubungan dengan Pyongyang. Akan tetapi, Departemen Luar Negeri AS justru dikatakan bertekad untuk membawa hubungan Korut-AS kembali ke status tahun lalu yang ditandai dengan pertukaran ”kemarahan”.
Setelah pemulihan hubungan diplomatik yang cepat tahun ini, yang memuncak pada Konferensi Tingkat Tinggi di Singapura pada Juni antara Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden Trump, prospek positif itu terhenti dalam pembicaraan tentang persenjataan nuklir Pyongyang. Di Singapura, kedua pemimpin itu menandatangani pernyataan samar-samar tentang denuklirisasi, tetapi sejak itu ada ketidaksepakatan tentang makna dan juga cara dari pernyataan-pernyataan kedua pihak.
Sekarang Pyongyang menuntut pelonggaran sanksi sekaligus mengecam keras desakan AS pada perlucutan senjata nuklirnya sebagai hal yang ugal-ugalan. Di sisi lain, Washington bersikeras mendorong mempertahankan langkah-langkahnya terhadap Korut hingga tercapai ”denuklirisasi yang bersifat final, yang diverifikasi sepenuhnya”.
Washington pekan lalu menambahkan jumlah tiga pejabat senior Korea Utara yang dijatuhi sanksi terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk Choe Ryong-hae, yang dianggap sebagai tangan kanan Kim. Pyongyang menyatakan, dalam beberapa bulan terakhir, para politisi AS termasuk Menteri Luar Negeri Mike Pompeo telah ”hampir setiap hari memfitnah Korut karena kedengkian belaka”.
Pyongyang mengatakan, pendekatan Washington dapat ’memblokade jalan menuju denuklirisasi di Semenanjung Korea selamanya’.
Pyongyang menyatakan bahwa menggunakan sanksi dan tekanan ”untuk membuat kita menyerahkan senjata nuklir” akan menjadi ”salah perhitungan terbesar”. Hal itu akan ”memblokade jalan menuju denuklirisasi di Semenanjung Korea selamanya”.
Pertemuan KTT kedua antara Trump dan Kim, yang sepanjang tahun 2017 melontarkan perang kata-kata berisi penghinaan pribadi dan ancaman perang, diperkirakan akan diadakan tahun depan. AS menghadapi kritik terkait dengan hal-hal itu, terutama sejak Korut telah mengambil beberapa langkah konkret untuk meninggalkan program rudal nuklir dan balistiknya.
Pyongyang telah lama mengatakan perlu senjata untuk menghalangi kemungkinan invasi AS dan telah menghabiskan waktu puluhan tahun mengembangkannya. Hal itu dilakukan dengan biaya besar di kedua sumber daya dan pengenaan sejumlah sanksi dari PBB, AS, Uni Eropa, dan sanksi lainnya. Namun, aset nuklirnya yang biasa dipamerkan secara mencolok itu tidak tampak pada pemberitaan peringatan ketujuh kematian Kim Jong Il, ayah dan pendahulu Kim Jong Un.
Bersamaan dengan cakupan luas acara peringatan di seluruh negeri, koran Rodong Sinmun, corong dari Partai Buruh yang berkuasa, menerbitkan editorial panjang memuji upaya Kim Jong Il untuk mengamankan ”jaminan militer yang kuat untuk perdamaian dan kemakmuran”. Itu merupakan aktivitas publik pertama pemimpin itu dalam dua minggu setelah mengunjungi pabrik sepatu di Wonsan, awal bulan ini.
Setahun sebelumnya, surat kabar yang sama memuji ”prestasi abadi” Pyongyang dalam membangun sebuah hal yang disebut dengan istilah ”negara kekuatan nuklir Juche”. ”Juche” (dibaca: JOO-chay) secara umum biasa diterjemahkan dengan ”menggantungkan pada diri sendiri”. Halaman depan Rodong Sinmun saat itu didominasi gambar besar tentara dan pejabat, termasuk Kim Jong Un, yang memberikan hormat di makam ayahnya, sebuah istana yang luas di pinggiran ibu kota.
Trump pada Jumat (14/12/2018) pekan lalu membujuk Pyongyang agar melepaskan senjata nuklirnya. Namun, pada saat yang sama dia juga menyatakan optimisme dengan mengatakan bahwa ekonomi Korea Utara memiliki ”potensi luar biasa” dan bahwa Kim ”lebih baik daripada siapa pun dan akan sepenuhnya memanfaatkannya untuk warganya”.
Atas permintaan Kongres, Pemerintah AS mengatakan pekan lalu bahwa mereka akan menyita aset AS dari tiga pejabat itu untuk menekan dalam isu kebebasan berbicara. Pembatasan semacam itu mungkin hanya berdampak kecil terhadap individu di salah satu negara paling tertutup di dunia itu, tetapi memiliki dampak simbolis ketika Korut mencari penerimaan yang lebih besar dari AS.