Mengatasi Ketertinggalan di Asia Tenggara
Tim nasional sepak bola Indonesia masih membutuhkan waktu untuk bisa disegani negara lain. Kebangkitan di Asia Tenggara menjadi target awal.
Ajang Piala AFF 2018 mempertontonkan kualitas tim nasional sepak bola Indonesia yang kembali merosot tajam. Menjadi juara kompetisi di level Asia Tenggara tampaknya masih sebatas mimpi bagi timnas senior. Memasuki tahun 2019, tidak ada cara lain kecuali kembali berbenah dari awal, dimulai dengan mencari pelatih yang tepat.
Tersingkir pada fase grup Piala AFF 2018 sudah cukup memalukan bagi negeri terbesar di Asia Tenggara dengan masyarakat yang begitu mencintai sepak bola seperti Indonesia. Dari lima tim di Grup B, skuad ”Garuda” hanya unggul di atas Timor Leste. Mereka tertinggal di belakang Singapura, Filipina, dan Thailand.
Indonesia terkejut melihat permainan Singapura yang begitu menekan, lalu mereka juga kalah dari sang juara bertahan Thailand.
Filipina, yang berhasil mengembangkan sepak bola dalam negeri dengan pesat dalam satu dekade terakhir di bawah seorang manajer yang visioner, Dan Palami, semakin menjadi tim yang sulit dikalahkan. Indonesia hanya bisa menang atas Timor Leste dan ini tidak terlalu mengejutkan.
Hanya dalam waktu dua tahun sejak penyelenggaraan Piala AFF sebelumnya pada tahun 2016, Indonesia menjelma dari tim finalis menjadi tim papan bawah. Indonesia tidak lagi segarang dua tahun lalu ketika tampil di final melawan Thailand. Waktu itu Indonesia masih diasuh pelatih Alfred Riedl, pelatih asal Austria yang juga berhasil mengantar Indonesia menembus final Piala AFF 2010.
Vietnam, yang dikalahkan Indonesia dua tahun silam dengan keunggulan agregat 4-3 di babak semifinal, tahun ini tampil sebagai juara. Tim ”Naga Emas” mengalahkan Malaysia dengan keunggulan agregat 3-2 dan meraih trofi Piala AFF 2018 pada laga final kedua di Stadion My Dinh, Hanoi, Sabtu (15/12/2018).
Jika ingin menjadi yang terbaik di Asia Tenggara, maka Indonesia harus bisa menaklukkan Vietnam, yang pada akhir November lalu masuk daftar 100 tim terbaik di dunia versi FIFA. Adapun Indonesia terpuruk di peringkat ke-160.
Namun, masih ada Malaysia, Filipina, Singapura, dan Myanmar yang perlu ditaklukkan sebelum berambisi mengalahkan Vietnam. Mereka semua adalah tim yang sudah bertahun-tahun bekerja keras dan berlari kencang untuk menjadi yang terbaik.
Sementara itu, pengembangan timnas Indonesia baru dimulai lagi pada awal 2017 setelah FIFA mencabut sanksi pembekuan.
Pada awal tahun 2017 itu Indonesia bangkit dengan menunjuk pelatih asal Spanyol, Luis Milla, yang memiliki kontrak sampai penyelenggaraan Asian Games 2018.
Mantan pemain Real Madrid dan Barcelona itu melatih pemain-pemain muda yang diproyeksikan untuk mencapai target juara di SEA Games 2017, lolos kualifikasi Piala Asia U-23, dan menembus semifinal Asian Games 2018.
Satu per satu target itu ternyata lepas dari genggaman. Milla akhirnya pulang ke Spanyol seusai tim Garuda disingkirkan Uni Emirat Arab pada babak 16 besar Asian Games pada 24 Agustus 2018.
Di Spanyol, pada Oktober, Milla baru berani mengungkapkan apa yang ia rasakan melalui akun Instagram. Ia mengatakan bahwa manajemen pengelolaan sepak bola Indonesia buruk dan ditangani para pemimpin (di PSSI) yang tidak profesional.
Akhirnya tim Garuda seperti anak yang kehilangan induknya menghadapi Piala AFF 2018. Dengan persiapan yang serba mendadak, PSSI kemudian menunjuk asisten Milla, Bima Sakti, sebagai pelatih timnas.
Bima dianggap sebagai sosok yang paling memahami karakter timnas saat ini dan diharapkan mewarisi ilmu yang diberikan Milla. Hasil Piala AFF pun jauh dari harapan dan peluang Bima untuk tetap melatih timnas pun sangat tipis.
Paling bergengsi
Satu hal yang terlupakan adalah Piala AFF merupakan ajang pertarungan tim senior di level Asia Tenggara yang paling bergengsi. Semua tim datang dengan persiapan matang. Sementara itu, Milla selama berada di Indonesia lebih banyak bergulat dengan para pemain muda U-23.
Maka tidak mudah bagi Milla sekalipun untuk mengusung tim senior di Piala AFF. Wajar pula jika Bima menggunakan para pemain U-23 sebagai tulang punggung tim. Namun, itu tidak cukup dan Indonesia sampai pada posisi terpuruk seperti ini.
Apalagi, Piala AFF 2018 berlangsung bersamaan dengan kompetisi Go-Jek Liga 1. Bergabung di timnas adalah kebanggaan, kewajiban, dan juga impian bagi pemain, tetapi kompetisi domestik tetaplah wadah utama untuk mematangkan kemampuan para pemain.
Keduanya tidak bisa tumpang tindih agar pemain bisa fokus. Situasi ini persis seperti yang dikatakan Milla bahwa manajemen pengelolaan sepak bola masih buruk.
Meski tidak mencapai semua targetnya, harus diakui Milla telah memberikan sentuhan baru di tubuh timnas pada 2018. Indonesia mulai bermain dengan cantik, memainkan bola-bola pendek, dan memanfaatkan serangan dari sektor sayap. Tidak seperti gaya timnas lama yang penuh dengan umpan-umpan lambung ke depan.
Lalu, jika sudah bisa bermain baik, mengapa hasilnya (dalam konteks pencapaian target) belum memuaskan? Mengapa tim Garuda masih kesulitan mencetak gol ke gawang lawan? Kuncinya adalah kemampuan dasar para pemain yang masih lemah.
”Kemampuan dasar tidak bisa diubah secara instan. Di Indonesia, para pemain muda kurang mendapat kesempatan belajar dengan benar dan program pelatihan tidak berjenjang. Saya mencoba membenahi itu dari awal,” kata Milla ketika mempersiapkan timnas di Bali, akhir Juli lalu.
Regenerasi
Di tengah keterpurukan ini, setidaknya ada angin segar ketika Indonesia memiliki para pemain muda di timnas U-16 yang mampu meraih tiga trofi dalam waktu sekitar satu tahun.
Di bawah asuhan pelatih Fakhri Husaini, timnas U-16 bisa meraih tiga gelar juara, yaitu Piala Tien Phong Plastic 2017 di Vietnam, turnamen Jenesys Jepang-ASEAN U-16 2018 di Jepang, dan terakhir Piala AFF U-16 2018 di Sidoarjo.
Timnas U-16 juga hampir melangkah ke ajang Piala Dunia U-17 Peru 2019 sebelum dikalahkan Australia 2-3 pada babak perempat final Piala Asia U-16.
Hampir sama seperti adiknya, timnas U-19 juga tinggal selangkah ke Piala Dunia U-20 Polandia 2019, tetapi kalah dari Jepang 0-2 pada perempat final Piala Asia U-19 2018.
Para pemain muda, terutama timnas U-16, sudah bisa menancapkan cakarnya di Asia Tenggara. PSSI juga patut diapresiasi dalam hal mempersiapkan kompetisi di level yunior untuk mempertahankan kualitas para pemain muda.
Mulai tahun 2018 ini sudah ada kompetisi Elite Pro Academy U-16 dan Liga 1 U-19, yang keduanya dijuarai Persib Bandung.
Namun, jika bicara mengenai harga diri, kualitas tim seniorlah yang diperhitungkan. Prestasi di level yunior sebatas modal untuk membangun timnas senior yang lebih baik. ”Waspadai juga star syndrome (sindrom cepat puas karena sudah dianggap sebagai bintang) terhadap pemain muda.
Mereka harus bisa berkembang dengan baik,” kata mantan pemain timnas Indonesia, Kurniawan Dwi Yulianto di Malaysia, awal Oktober, ketika melihat langsung perjuangan timnas U-16 di Piala Asia U-16.
Jadi, Indonesia sudah memiliki modal berupa talenta-talenta muda untuk membangkitkan kembali sepak bola di masa depan. Tahun 2019 harus dimanfaatkan sebagai titik balik. Jangan dulu bermimpi terlalu jauh dengan tampil di Piala Dunia karena Asia Tenggara belum kita taklukkan.