Tuntaskan Kepemilikan KTP Elektronik
Publik menyadari kepemilikan KTP Elektronik bisa menjamin seseorang menjalankan hak politiknya di Pemilu 2019. Peran pemerintah sangat dinanti di tengah sejumlah persoalan yang muncul terkait KTP-el.
Kartu Tanda Penduduk Elektronik bukan sebatas penanda identitas diri. Ia merupakan dokumen administrasi kependudukan yang menjadi prasyarat untuk mengurus berbagai layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, telekomunikasi, perbankan, dan pertanahan.
Kesadaran publik terhadap fungsi kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) terekam dalam Jajak Pendapat Kompas pekan lalu. Hampir seluruh responden (95,7 persen) menyatakan telah memiliki KTP-el. Hanya sebagian kecil yang menyatakan belum memiliki KTP-el (3 persen memiliki surat keterangan dan 1,3 persen tidak memiliki apa pun).
Hasil jajak pendapat juga merekam penggunaan KTP-el oleh publik untuk membuka rekening bank (25,5 persen), menggunakan fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, klinik, dan dokter praktik (22,4 persen), membuat Kartu Keluarga (12,9 persen), membuat SIM/STNK (11,1 persen), mendaftar pendidikan (5,7 persen), membeli tiket perjalanan (11,3 persen), kepentingan pekerjaan (2,4 persen), dan mengajukan pinjaman (1,5 persen).
KTP-el dan Demokrasi
Tak hanya fungsi memperoleh berbagai layanan publik, responden jajak pendapat juga menyadari, dalam tahun politik, kepemilikan KTP-el sangat penting sebagai syarat untuk memilih pada Pemilu 2019. Penegasan tersebut disuarakan oleh hampir seluruh responden jajak pendapat (96,1 persen).
Meskipun demikian, publik juga sadar akan masih ada berbagai persoalan yang mengemuka terkait kepemilikan KTP-el, mulai dari hambatan dalam proses pengurusan hingga praktik kotor jual beli untuk kepentingan ekonomi dan politik.
Persoalan prosedur pengurusan KTP-el yang berbelit, baik pada proses pengurusan maupun pencetakan, masih disuarakan oleh 23,8 persen responden. Tidak mengherankan jika kemudian muncul iming-iming kepada sebagian masyarakat akan dibuatkan KTP-el dengan syarat memilih peserta pemilu tertentu (partai, calon legislatif, hingga calon presiden).
Sejumlah responden mengaku menjelang pelaksanaan pilkada maupun pemilu pernah ditawari KTP-el yang sudah jadi asalkan memilih pasangan calon tertentu dalam pilkada atau pemilu. Hal ini mengindikasikan pesta demokrasi sangat rawan terhadap upaya mencari dukungan kepada calon pemilih dengan memanfaatkan celah masih adanya persoalan dalam mendapatkan KTP-el.
Untuk pelaksanaan pemilu mendatang, lebih dari separuh responden menyatakan sudah memeriksa apakah nama dan identitasnya tercantum sebagai pemilih. Sedangkan 44,5 persen menyatakan belum mengecek daftar pemilih dalam pemilu mendatang. Hanya 3 persen yang menyatakan sudah mengecek namun belum terdaftar di daftar pemilih.
Menyadari pentingnya arti politik dokumen diri tersebut, hampir seluruh responden sepakat jika persoalan kepemilikan KTP-el bagi warga negara harus tuntas sebelum Pemilu 2019. Tetapi masih ada keraguan publik bahwa pemerintah mampu menyelesaikan persoalan tersebut sebelum Pemilu 2019. Sebanyak 44,2 persen menyatakan keraguan tersebut.
Rawan Penyalahgunaan
Keraguan tersebut bisa jadi berkaitan dengan sejumlah persoalan KTP-el yang ditemukan tercecer maupun terungkapnya praktik kotor jual beli blanko kosong. Hasil investigasi Kompas yang dimuat di harian ini dua pekan lalu mengungkap praktik penjualan blangko KTP-el asli di Pasar Pramuka Pojok, Jakarta dan di gerai daring Tokopedia.
Pada Desember 2018 ini pula ditemukan sebuah karung dan sebungkus plastik berisi ribuan KTP-el berceceran di Duren Sawit, Jakarta. Sebelumnya, pada Mei 2018 lalu, sekitar 6000 KTP-el rusak tercecer ketika akan dipindahkan dari Pasar Minggu, Jakarta ke Semplak, Bogor, Jawa Barat oleh petugas Ditjen Dukcapil Kemendagri.
Praktik jual beli KTP-el palsu sebenarnya sudah diketahui sejak 2016 lalu. Namun, praktik tersebut masih saja lolos dan terus berlangsung. Pada Mei 2016, misalnya, diketahui terjadi praktik pembuatan KTP-el di Jalan Pramuka, Jakarta dengan tarif Rp 600.000 – Rp 700.000 untuk sebuah KTP-el. Hasil jajak pendapat juga mengungkap ada 9,2 persen responden yang pernah ditawari dibuatkan KTP-el dengan memberi imbalan tertentu.
Sindikat penjualan KTP-el tampaknya dijalankan dan terorganisasi secara rapi dan sangat rahasia. Hanya 29,8 persen responden saja yang menyatakan pernah mendengar jika terdapat praktik jual beli blangko KTP-el yang dijual secara daring atau di lokasi-lokasi tertentu.
Responden juga mengaku pernah mendengar dan mengetahui jika KTP-el disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan penipuan. Pernyataan tersebut disuarakan oleh 54,9 persen responden. Lemahnya proses verifikasi keaslian KTP-el saat membuka rekening di suatu bank misalnya, berpotensi membuka celah transaksi seperti tindak pidana pencucian uang maupun korupsi.
Dengan seluruh persoalan yang ada, sebanyak 34,4 persen responden menyatakan tidak puas terhadap proses pembuatan KTP-el yang berlangsung selama ini
Pemalsuan KTP-el juga berpotensi mengancam keamanan negara karena para pelaku tindak pidana terorisme bisa saja menggunakan KTP palsu dalam melakukan transaksi yang mensyaratkan penggunaan KTP. Lagi-lagi, sistem keamanan negara dipertaruhkan pada sebuah keberadaan kartu identitas penduduk yang bisa dipalsukan dan diperjualbelikan.
Hingga saat ini di beberapa tempat penting seperti di bank, gerai operator telepon selular, dan bandara belum menerapkan penggunaan card-reader (mesin pembaca kartu) untuk memverifikasi secara fisik apakah suatu KTP-el asli atau palsu saat digunakan untuk mencocokkan data calon nasabah, pelanggan, dan penumpang. Pada umumnnya pengecekan hanya dilakukan secara kasat mata saja.
Dengan seluruh persoalan yang ada, sebanyak 34,4 persen responden menyatakan tidak puas terhadap proses pembuatan KTP-el yang berlangsung selama ini. Namun, mayoritas publik tetap melihat secercah asa jika suatu ketika nanti KTP-el bisa menjadi identitas tunggal warga negara.
Hak warga negara untuk dapat memiliki identitas yang asli dan sah (KTP-el) wajib segera dipenuhi oleh negara. Tanpa kepemilikan KTP-el yang asli dan sah akan membuat warga menjadi resah karena akan mengalami kesulitan maupun hambatan saat berurusan dengan birokrasi, membuka usaha, menjalankan profesi, dan menggunakan hak pilih dalam pemilu.