Akhir-akhir ini ruang publik dijejali pemberitaan terkait hiruk-pikuk politik. Tak hanya media sosial, media arus utama pun, baik cetak maupun elektronik, didominasi berita politik. Bahkan, sebuah pernyataan sepele dan sederhana pun mencuat menjadi viral dan headline pemberitaan. Kalimat biasa, seperti tampang Boyolali, genderuwo, dan sontoloyo, tiba-tiba menjadi polemik berkepanjangan. Nyaris, tidak ada perdebatan dan diskursus publik yang benar-benar menyentuh persoalan utama masyarakat.
Gimik politik lebih menonjol daripada mengupas tuntas program nyata sebagai referensi edukatif dan mencerdaskan masyarakat. Pasalnya, pemilu merupakan instrumen vital dan utama yang menentukan arah kehidupan bangsa. Karena itu, penting mengedukasi agar mengedepankan pertimbangan rasional daripada emosional.
Minimal terdapat 10 masalah ekonomi krusial yang menjadi pekerjaan rumah, siapa pun presiden dan wakil presiden yang nanti terpilih. Pertama, memulihkan daya beli masyarakat. Kontributor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, lebih dari 56 persen, adalah konsumsi rumah tangga. Artinya, sektor konsumsi menjadi penopang utama akselerasi pertumbuhan.
Sekalipun inflasi terkendali, jika kemampuan konsumsi tidak terdongkrak, pertumbuhan ekonomi tetap akan terjebak pada stagnasi. Bahkan, berpotensi masuk jebakan masyarakat berpenghasilan menengah (middle income trap). Karena itu, butuh terobosan kebijakan dan program nyata yang mampu menggunting problem struktural tersebut.
Kedua, kedaulatan dan kemandirian pangan. Tercukupinya kebutuhan pangan merupakan tiang utama dan syarat mutlak kedaulatan sebuah negara. Karena itu, mengurus sektor pangan tidak sekadar memastikan pangan tersedia. Kemandirian pangan merupakan keniscayaan. Ketergantungan pada pangan impor tentu sangat rentan bagi stabilitas ekonomi.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis bahwa luas lahan baku sawah berkurang dari 7,7 juta hektar (ha) tahun 2013 menjadi 7,1 juta ha tahun 2018. Masalah pertanian sangat kompleks, dari hulu sampai hilir, antara lain soal masifnya alih fungsi lahan, hengkangnya tenaga muda, serta rendahnya kesejahteraan petani.
Ketiga, kedaulatan dan ketahanan energi. Energi merupakan ujung tombak produktivitas dan daya saing. Ketersediaan energi yang efisien menjadi syarat mendorong daya saing sektor riil. Jika impor bahan bakar minyak (BBM) terus meningkat, Indonesia niscaya sulit mencapai level energi yang efisien. Belum lagi fluktuasi harga minyak dunia akan sangat rentan berdampak pada perekonomian domestik.
Keempat, melawan deindustrialisasi dini. Dari catatan historis, industri terbukti menjadi penggerak utama pertumbuhan. Ekonomi Indonesia pernah mampu tumbuh di atas 7 persen ketika industri tumbuh double digit. Membangun kawasan industri yang berdaya saing merupakan syarat mendorong reindustrialisasi. Indonesia perlu membentuk Badan Pengusahaan Kawasan Industri Nasional yang dikelola dengan tidak hanya one stop service, tapi juga profesional, terkoordinasi, dan terintegrasi.
Kelima, ancaman penetrasi produk impor. Jika melihat data makro terkait struktur impor, seolah tidak ada yang perlu dicemaskan Indonesia sebab impor masih didominasi bahan baku penolong (75 persen), barang modal (16 persen), dan barang konsumsi hanya sekitar 9 persen.
Akan tetapi, jika dibandingkan secara silang dengan data jenis barang dan negara asal, ada hubungan yang tidak simetris. Sekalipun impor didominasi bahan baku, tetapi orientasinya pasar domestik.
Keenam, tekanan defisit transaksi berjalan yang jadi problem struktural puluhan tahun. Problem ini tidak semata masalah moneter. Penyumbangnya, antara lain defisit sektor jasa dan pendapatan primer. Ketergantungan terhadap kapal asing, misalnya, semestinya dapat ditekan dengan membangun pusat logistik nasional.
Ketujuh, keluar dari jebakan utang. Di tengah perlambatan ekonomi, kebijakan defisit anggaran sering diperlukan guna memberi stimulus fiskal untuk mendongkrak laju pertumbuhan. Perdebatannya bukan sekadar besaran dan rasio utang yang dinilai aman. Urgensinya adalah produktivitas utang yang mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Jika utang bertambah, tetapi sektor produktif justru melemah dan pendapatan pemerintah stagnan, pasti ada yang salah dalam tata kelola utang.
Kedelapan, tantangan ekonomi era digital. Perkembangan teknologi tidak mungkin dihindari. Tren ekonomi digital bukan ancaman bagi hilangnya lapangan pekerjaan, melainkan menjadi momentum menciptakan lapangan kerja yang lebih luas. Adopsi ekonomi digital di sektor pertanian, misalnya, adalah agar generasi muda tertarik mengefisienkan sektor pertanian. Bisa bergerak di jalur distribusi melalui e-dagang atau penerapan teknologi untuk memacu produktivitas.
Kesembilan, terciptanya lapangan kerja. Tersedianya lapangan kerja menjadi titik paling krusial, baik secara politik maupun ekonomi. Pekerjaan adalah sumber kehidupan. Jika lapangan kerja sulit didapat, jangankan negara berkembang, di negara maju pun akan berujung pada gejolak sosial. Bahkan, di Amerika, target angka pengangguran dapat menjadi sumber impeachment pada presiden.
Kesepuluh, menunaikan janji kesejahteraan. Secara statistik angka kemiskinan kronis telah mencapai satu digit (9,82 persen) atau tinggal sekitar 25,95 juta orang miskin. Namun, kemiskinan dan kesenjangan akan selalu menjadi isu paling seksi. Perbedaan benchmark dan interpretasi data menjadi sumber argumen.
Masyarakat tentu menunggu program-program konkret kedua kandidat presiden dan wakil presiden terkait sepuluh masalah krusial tersebut. Ayo adu program dan gagasan yang membangun peradaban.