Indonesia Kaya Cerita Sejarah, Miskin Pemahaman Nilai
Oleh
Pascal S Bin Saju
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia kaya akan cerita sejarah, tetapi miskin dalam cara menafsirkannya. Proses pembelajaran sejarah idealnya tidak semata menyangkut informasi tokoh, waktu, dan peristiwanya, tetapi juga harus memahami esensi nilai dan pesan sejarah itu.
Penting untuk mendalami latar belakang peristiwa agar mendapat informasi hubungan sebab akibat dan tren. Untuk itu, peran guru di lembaga-lembaga pendidikan penting dalam memberikan konteks tersebut.
Sejarawan Bonnie Triyana yang juga Pemimpin Redaksi Majalah Historia, Selasa (18/12/2018) di Jakarta, mengatakan, selama ini ada yang salah dengan pembelajaran sejarah. Umumnya, pembelajaran sejarah berkutat hanya pada kisah peristiwa, tahun kejadian, tokohnya, dan abai pada esensi nilai sejarahnya.
”Indonesia ini kaya akan cerita sejarah, tetapi miskin tentang cara menafsirkannya,” kata Bonnie pada saat peluncuran buku Jejak Sejarah Indonesia oleh Forum Alumni Angkatan 1973 Institut Teknologi Bandung (Fortuga ITB) di Jakarta, Selasa (18/12/2018).
Menurut Bonnie, belajar tentang sejarah adalah belajar mengenai hukum kausalitas atau sebab akibat suatu peristiwa dan itu harus dipahami melalui pendekatan yang kritis. ”Sejarah itu menjadi menarik saat diberi pengayaan perspektif,” ujarnya.
Bonnie mencontohkan tentang metode pembelajaran sejarah melalui seni. Dari sebuah lukisan karya Sudjojono berjudul ”Kawan-kawan Revolusi” pada 1947, misalnya, orang bisa mencari tahu apa yang terjadi kepada tokoh revolusi bernama Dullah di dalam lukisan. Ternyata Dullah meledakkan dirinya ke tank milik Belanda menggunakan granat gombyok.
Penting bagi masyarakat, khususnya generasi muda, untuk belajar mengenai sejarah bangsanya.
Ketua Fortuga ITB Kelana Budi Mulya mengatakan, dengan belajar sejarah, masyarakat akan mengenal identitasnya. Hal itu dapat mencegah masyarakat untuk tidak mudah larut dengan budaya asing.
“Yang mengkhawatirkan adalah jika kita kehilangan identitas,” ujar Kelana.
Pemaknaan mendalam
Peran seorang guru amat penting untuk memberikan pemaknaan mendalam pelajaran sejarah kepada siswa. Bonnie menambahkan, saat ini masih banyak guru sejarah yang belum bisa memberikan konteks materi sejarah yang mereka ajarkan dengan latar belakang kejadiannya. Karena itu, tak jarang hal yang tertanam pada siswa adalah rasa dendam.
”Misalnya tentang peristiwa saling bunuh antara komunis dan jenderal pada tahun 1965. Ada latar belakang yang terputus,” ucap Bonnie.
Guru Sejarah MAN 1 Kabupaten Magelang, Zulfaeda Retnani, mengatakan, tak mudah mengajak murid berpikir kritis karena amat bergantung pada kemauan siswa. Ia pernah mengajak siswa menganalisis peristiwa, lalu mendiskusikannya. Hasilnya, dari delapan kelas, hanya satu yang berjalan sesuai rencana.
”Berbagai metode pernah dicoba, tapi sama saja, murid lebih senang pakai metode konvensional,” ujar Zulfaeda saat dihubungi.
Guru Sejarah SMA N 1 Geger, Madiun, Galih Puji Mulyadi, sering memberikan tantangan kepada siswa agar bisa melihat lebih dalam hubungan antar-kejadian sejarah. Namun, metode tersebut cenderung berhasil jika siswa diajak belajar di luar kelas.
”Mereka lebih antusias kalau diberi tantangan seperti itu, tapi tidak mungkin setiap hari dilakukan” kata Galih.
Malas membaca
Menurut Bonnie, ada banyak upaya yang bisa dilakukan untuk mendekatkan masyarakat dengan sejarah. Salah satunya, dengan mengemas informasi sejarah tersebut menjadi bahan bacaan yang menarik. Sebab, baik anak muda maupun orang tua kini cenderung malas membaca buku sejarah yang tebal.
”Jika informasi sejarah dikemas kreatif dan menarik, pasti akan jauh lebih diminati,” lanjut Bonnie.
Fortuga tengah mewujudkan hal itu dengan meluncurkan buku lini masa sejarah Indonesia berjudul Jejak Sejarah Indonesia. Buku yang didesain secara paralel sepanjang 11,73 meter ini berisi kronik dengan ilustrasi visual berwarna dari urutan peristiwa sejarah terpenting selama 6.000 tahun terakhir.
Menurut Kelana, buku itu dibuat untuk memberikan alternatif bacaan sejarah yang lebih menarik. Buku ini sebagai pemicu agar nantinya muncul buku-buku sejarah dengan tampilan yang lebih menarik. Beberapa informasi sejarah yang baru juga ditampilkan dalam buku berukuran 30 sentimeter x 42 sentimeter ini.
”Informasi baru itu misalnya mengenai kapan pendidikan agama pertama kali diajarkan di Indonesia,” ujarnya. (FAJAR RAMADHAN)