JAKARTA, KOMPAS--Defisit neraca perdagangan November 2018 merupakan yang terdalam, setidaknya sejak Januari 2014. Tren kenaikan volume impor minyak dan gas serta penurunan ekspor minyak sawit menjadi faktor penekan neraca perdagangan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dipaparkan Senin (17/12/2018), neraca perdagangan November 2018 defisit 2,047 miliar dollar AS. Dengan demikian, neraca perdagangan Januari-November 2018 defisit 7,515 miliar dollar AS.
Menurut ekonom Institute for Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira, defisit neraca perdagangan November 2018 menjadi lampu kuning bagi pemerintah. “Semakin dalam defisit neraca perdagangan, semakin dalam pula defisit transaksi berjalan negara. Akibatnya, kebutuhan terhadap dollar AS meningkat dan menimbulkan kerentanan terhadap nilai tukar rupiah,” katanya.
Penyumbang terbesar defisit adalah sektor minyak dan gas (migas). Pada November, defisit migas 1,4 miliar dollar AS, sedangkan pada Januari-November 2018 defisit 12,1 miliar dollar AS.
Kepala BPS Suhariyanto dalam jumpa pers, Senin, mengatakan, kendati harga minyak dunia turun, volume impor migas tetap harus dipantau.
Sejauh ini, perluasan pemanfaatan bahan bakar nabati, yakni 20 persen untuk setiap 1 liter solar, belum berdampak signifikan mengurangi defisit migas.
“Kuncinya pada industrialisasi dan hilirisasi. Hal itu membutuhkan waktu. Selain itu, berdasarkan tren, pada akhir tahun kegiatan ekspor-impor melambat akibat hari libur. Kegiatan perdagangan bergantung pada jumlah hari libur,” katanya.
Ekspor minyak sawit pada Januari-November 2018 yang turun 10,82 persen secara tahunan turut menekan ekspor nonmigas. Hal ini antara lain akibat permintaan India dan negara-negara Eropa yang anjlok.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo memaparkan, pihaknya tengah bernegosiasi dengan pemerintah India. “Dalam urusan minyak sawit, jangan sampai ada perlakukan berbeda (dari India) terhadap Indonesia,” ujarnya.
Sementara, untuk mengatasi defisit sektor migas di neraca perdagangan, Bhima mengusulkan kebijakan mandatori penggunaan B20 diperluas untuk subtitusi tenaga pembangkit listrik. Saat ini, pembangkit listrik masih membutuhkan impor solar.
Secara terpisah, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Agung Pribadi mengatakan, kewajiban pencampuran biodiesel ke dalam solar masih menjadi cara strategis untuk menekan defisit neraca perdagangan. Dalam jangka panjang, eksplorasi akan digiatkan untuk meningkatkan produksi minyak mentah di dalam negeri.
Makin menantang
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, upaya mendorong pertumbuhan ekspor semakin menantang, baik dari jenis komoditas maupun negara tujuan. Tantangan memacu ekspor dipengaruhi faktor eksternal dan kemampuan industri dalam negeri yang belum siginifikan untuk menghasilkan substitusi impor.
“Kita harus melihat berbagai komoditas yang pasarnya sensitif terhadap isu-isu non ekonomi yang jadi penghambat ekspor kita. Adapun pasar-pasar baru, dalam kondisi ekonomi sekarang tendensinya melemah. Jadi kemampuan menyerap ekspor terbatas,” katanya.
Sri Mulyani menambahkan, selama ini ekspor dipacu dengan cara meningkatkan daya saing melalui berbagai insentif. Namun, insentif yang diberikan kerap terganjal dinamika pasar global yang tak menentu. “Sektor migas dan non migas harus memperhatikan kemampuan industri dalam negeri untuk menghasilkan substitusi,” ujarnya.
(JUD/KRN/APO)