Mendesak, Pengawasan terhadap Perlindungan Pekerja Migran
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Regulasi yang mendasari pelaksanaan pengawasan untuk Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia mendesak untuk segera disahkan dan diterapkan. Tanpa regulasi itu, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tersebut tidak akan efektif dalam melindungi pekerja migran Indonesia.
Komisioner Komisi Nasional Perempuan, Taufik Zulbahari, pada Selasa (18/12/2018) sore di Jakarta, mengatakan, dari berbagai peraturan teknis untuk mendukung implementasi UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, pengawasan menjadi aspek yang paling mendesak. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengawasan Perlindungan Pekerja Migran pun harus segera diselesaikan oleh pemerintah.
”Pengawasan itu adalah salah satu peraturan pemerintah yang menjadi prasyarat vital untuk menjamin terlaksananya perlindungan pekerja migran seperti amanat undang-undang,” kata Taufik dalam diskusi publik pada Festival Buruh Migran 2018 yang digelar Jaringan Buruh Migran di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.
Kegiatan ini digelar dalam rangka memperingati Hari Buruh Migran Internasional yang jatuh pada 18 Desember 2018. Dalam kesempatan ini, hadir juga Direktur Organisasi Buruh Internasional di Jakarta Michiko Miyamoto, Ketua Bidang Advokasi dan HAM Pergerakan Pelaut Indonesia Imam Syafii, dan Wakil Direktur Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Kementerian Ketenagakerjaan Yuli Adi.
Sejak diundangkan pada 22 November 2017, UU No 18/2017 dinilai oleh sejumlah kelompok masyarakat sipil belum dapat diimplementasikan secara efektif. Hal itu karena berbagai regulasi setingkat peraturan pemerintah (PP) dan peraturan menteri yang akan menjadi petunjuk teknis operasional belum dibuat.
Taufik mengapresiasi langkah pemerintah dalam pembahasan RPP Pengawasan Perlindungan Pekerja Migran karena melibatkan kelompok masyarakat sipil. Ia mengatakan, pada draf RPP, aspek pengawasan yang disusun bersama koalisi masyarakat sipil tersebut cukup komprehensif. Aspek yang diawasi dalam RPP itu tidak hanya pengawasan terhadap implementasi perlindungan, tetapi juga pada penempatan pekerja migran.
”Dalam draf RPP ini, entitas-entitas yang mengawasi adalah atase tenaga kerja dan komite pengawasan. Selain itu, ada pula lembaga-lembaga negara yang selama ini sudah melakukan pengawasan, tetapi belum melekat dengan perlindungan buruh migran, seperti Ombudsman,” tutur Taufik.
Aspek penempatan merupakan permasalahan yang cukup krusial dalam perlindungan pekerja migran Indonesia. Dengan UU No 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, kewenangan perusahaan swasta dalam menyalurkan calon pekerja migran lebih terkontrol.
Sementara itu, Yuli Adi mengatakan, pihaknya sedang mempersiapkan agar semua PP yang diperlukan untuk mendukung implementasi UU No 18/2017 dapat selesai pada 2019.
Ia melanjutkan, saat ini dokumen-dokumen rancangan PP tersebut sudah sampai pada tahap draf internal. Ia juga berjanji akan melibatkan masyarakat sipil dalam tahapan proses penyusunan PP selanjutnya.
Perlindungan kesejahteraan pekerja migran juga dinilai mendesak untuk diatur. Berdasarkan data Jaringan Buruh Migran, pada periode Januari-Juni 2018, permasalahan pembayaran gaji mendominasi laporan kasus pelanggaran hak pekerja migran dengan porsi sebesar 22 persen dari total 643 kasus.
Komunikasi berperan penting
Imam Syafii mengatakan, perlu ada komite pengawas kesejahteraan yang dapat memeriksa pemenuhan hak-hak kesejahteraan anak buah kapal (ABK). Hal ini dapat dilakukan untuk menghindari adanya kapten kapal atau perusahaan yang tidak menggaji ABK-nya sesuai peraturan.
”Selama ini, yang diperiksa hanya kelaikan berlayar sebuah kapal, termasuk masalah sertifikat awak kapal,” ujarnya.
Dalam skema jangka panjang, menurut Imam, Kementerian Ketenagakerjaan juga harus turut serta dalam pembentukan kurikulum pendidikan pelaut. Ia menilai, selama ini yang diajarkan kepada pelaut hanya hal-hal yang bersifat teknis dan tidak menyentuh aspek hak pekerja. Hal ini menjadi penting sebab pelaut berada di daerah yang tidak mudah diawasi secara langsung oleh aparat.
Untuk itu, Imam meminta kepada pemerintah untuk dapat mewujudkan hak atas alat komunikasi bagi pekerja migran dengan mewajibkan pemilik kapal untuk memasang jaringan internet di kapal. Hal ini, lanjutnya, dapat mempermudah pelaporan bagi ABK.
Pengawas ketenagakerjaan tidak bisa selalu menjangkau lokasi-lokasi itu. Maka dari itu, kita harus mengintensifkan proses informasi dan komunikasi.
Michiko Miyamoto mengatakan, jaringan pelaporan bagi pekerja migran memegang peranan penting dalam upaya perlindungan hak-hak pekerja migran. Ada faktor isolasi dalam sistem ketenagakerjaan pekerja migran, contohnya asisten rumah tangga yang bekerja di rumah-rumah pribadi dan ABK yang berada di laut lepas.
”Pengawas ketenagakerjaan tidak bisa selalu menjangkau lokasi-lokasi itu. Maka dari itu, kita harus mengintensifkan proses informasi dan komunikasi,” kata Michiko.