Penyusutan Hutan di Jambi Ganggu Keseimbangan Ekosistem
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Luas tutupan hutan yang terus menyusut telah menyebabkan keseimbangan ekosistem di Jambi pada titik mengkhawatirkan. Diperlukan komitmen kuat para pemangku kebijakan dan kepentingan agar hutan tersisa tak semakin berkurang.
Data citra satelit Landsat yang diolah Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi mendapati tutupan hutan di Jambi tinggal 920.000 hektar atau 18 persen dari total wilayah Jambi. Luas ini jauh di bawah syarat minimum keseimbangan ekosistem, yakni 30 persen dari total luas wilayah satu daerah. Padahal, tahun 1990, luas hutan Jambi masih 2,5 juta hektar.
”Keseimbangan ekosistem di Jambi kini berada dalam kondisi yang memprihatinkan,” kata Rudi Syaf, Direktur KKI Warsi, Selasa (18/12/2018).
Ketidakseimbangan itu terjadi karena besarnya alih fungsi hutan untuk berbagai peruntukan. Ia pun merinci, perkebunan sawit mendominasi penguasaan lahan dengan 1,8 juta hektar atau lebih dari 30 persen total luas Jambi yang mencapai 4,5 juta hektar. Disusul peruntukan untuk tanaman industri seluas 776.652 hektar.
Penguasaan yang masif untuk tanaman monokultur, katanya, membawa dampak buruk bagi ekosistem sehingga membuahkan beragam bencana dan konflik.
Perkebunan sawit mendominasi penguasaan lahan dengan 1,8 juta hektar atau lebih dari 30 persen total luas Jambi yang mencapai 4,5 juta hektar.
Bandingkan dengan pemanfaatan hutan melalui agroforestri yang dikelola masyarakat masih sangat rendah. Pengakuan negara pada masyarakat untuk mengelola hutan melalui skema perhutanan sosial di Jambi baru mencapai 188.193 hektar. Ia menyebut kondisi itu sebagai bentuk ketimpangan pengelolaan hutan yang menyebabkan kemiskinan pada masyarakat yang hidup di sekitar hutan.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi mendata dari 3,5 juta penduduk Jambi, terdapat 278.610 jiwa atau hampir 8 persen hidup dalam kemiskinan. Penduduk miskin yang jumlahnya 160.110 jiwa itu hidup di desa dan sebagian besar menyebar di pinggiran hutan. Mereka yang tergolong miskin itu di antaranya komunitas-komunitas adat, seperti Orang Rimba dan Bathin IX.
Tambang emas ilegal
Selain peruntukan lahan secara legal, KKI Warsi juga mendapati perubahan fungsi hutan secara liar di sejumlah daerah. Salah satunya untuk tambang emas tanpa izin. Dari pantauan satelit, luas hutan yang berubah menjadi tambang liar meningkat dua kali lipat, dari 6.370 hektar pada 2017 menjadi 13.672 hektar pada 2018 di Kabupaten Sarolangun. Begitu pula di Kabupaten Merangin, luasnya naik tajam dari 4.556 hektar menjadi 9.679 hektar.
Terkait dengan maraknya aktivitas tambang emas liar tersebut, BPS Jambi menemukan pencemaran air sebagai bencana pencemaran lingkungan yang paling tinggi di Jambi dibandingkan dengan pencemaran udara dan tanah. Pada tahun ini terdata 614 desa mengalami pencemaran air, sementara 30 desa mengalami pencemaran tanah, dan 153 desa mengalami pencemaran udara.
Kepala BPS Jambi Dadang Hardiawan menyatakan, kondisi itu menunjukkan banyak wilayah yang mengalami pencemaran lingkungan hidup di wilayahnya dalam setahun terakhir.
Pencemaran air sebagai bencana pencemaran lingkungan yang paling tinggi di Jambi dibandingkan dengan pencemaran udara dan tanah.
Anggota Tim Penilai Komisi Amdal Provinsi Jambi, Husni Thamrin, menyatakan, meski telah berulang kali dipersoalkan perihal parahnya dampak tambang bagi kehidupan masyarakat, ternyata tak mengurangi aktivitas itu di berbagai lokasi. Bahkan, kelestarian hutan-hutan adat di Jambi tak pelak mendapatkan ancaman serupa.
Di wilayah Marga Bukit Bulan, Kabupaten Sarolangun, misalnya, kelestarian hutan adat terdesak oleh masuknya tambang-tambang emas liar yang menggunakan alat-alat berat.
Ketua Lembaga Pengelola Sumber Daya Hutan yang membawahi Hutan Adat Desa Lubuk Bedorong Zawawi mengatakan, alat berat milik petambang emas liar sudah beberapa kali masuk ke dalam hutan. Petambang membawa masuk alat beratnya untuk mengeruk hutan. Petambang nekat beroperasi meski telah dilarang.
Masyarakat sebenarnya sudah berjuang mempertahankan hutan mereka. Setiap kali mengetahui masuknya petambang liar, masyarakat berkumpul untuk mengusir. Alat berat milik petambang itu pun digiring ramai-ramai keluar hutan. Akhirnya alat berat mereka dibakar warga.
Menurut Zamawi, masyarakat berharap pemerintah turut mendukung upaya pelestarian hutan adat. Sebab, mereka sudah sangat kewalahan akan praktik tambang yang merusak keseimbangan ekosistem di wilayah hidup mereka.
Masyarakat suku Bathin IX yang hidup di tengah Hutan Harapan juga merasakan kuatnya ancaman pembukaan jalan tambang batubara. Salah satu warga komunitas adat itu, Bi Teguh, bahkan secara khusus menyerahkan surat kepada Presiden Joko Widodo saat melaksanakan kunjungan kerjanya ke Jambi, Minggu (16/12/2018).
Surat itu berisi permintaan agar pemerintah tidak memberikan izin pembangunan jalan tambang batubara dalam kawasan hutan hunian dan sumber penghidupan mereka. Adapun usulan pembukaan jalan tambang melintasi kawasan Hutan Harapan sepanjang 32 kilometer bakal membuka masif vegetasi tanaman kehidupan masyarakat itu.
Kami sangat berharap nian Bapak Presiden membantu kami menjaga hutan, karena kalau hanya kami, sangat berat rasanya.
Selain jalan tambang, masyarakat adat Bathin IX juga meminta pemerintah mendukung perlindungan kawasan hutan itu dari para perambah. Sudah lebih dari 20.000 hektar areal hutan itu dirambah untuk kebun sawit. Masyarakat sering kewalahan mengusirnya perambah, bahkan kerap mendapatkan intimidasi.
”Kami sangat berharap nian Bapak Presiden membantu kami menjaga hutan, karena kalau hanya kami, sangat berat rasanya,” katanya.