JAKARTA, KOMPAS — Perempuan dengan HIV rentan terinfeksi beragam tipe human papilloma virus atau HPV, termasuk yang bisa memicu kanker. Risiko kanker akibat infeksi HPV bisa meningkat seiring dengan menurunnya kekebalan tubuh. Untuk itu, perempuan dengan HIV dianjurkan melakukan deteksi dini dan imunisasi HPV.
Haridana Indah Setiawati Mahdi memaparkan hal itu saat memertahankan disertasinya pada sidang terbuka promosi doktor program studi doktor Ilmu Biomedik di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Jakarta, Selasa (18/12/2018). Haridana lulus dengan yudisium A atau sangat memuaskan dan menjadi doktor FKUI ke-40 tahun 2018 dengan indeks prestasi kumulatif 3,96.
Pada kesempatan itu, dokter spesialis penyakit dalam di bidang alergi-imunologi tersebut mempresentasikan disertasinya berjudul ”Respons Imun Sistemik dan Mukosa Serviks Terhadap Infeksi Human Papilloma Virus pada Perempuan dengan HIV (Peran Toll Like Receptor 7, 9, Tumor Necrosis Factor-alfa, dan Interleukin 10)”.
Ia meneliti 45 perempuan yang terinfeksi HIV dengan rerata usia 34,11 tahun. dari jumlah total subyek penelitian itu, sekitar 50 persen di antaranya terinfeksi HPV, yang kemungkinan besar dengan HIV memiliki jalur masuk yang sama, yaitu melalui hubungan seksual.
Pada penelitiannya, sekitar 65 persen orang dengan HIV yang terinfeksi HPV terjangkit beragam tipe virus, baik yang memicu kanker atau tidak. Lima tipe virus terbanyak bersifat memicu kanker seperti, tipe 33 (9 persen), 39 (8 persen), 58 dan 16 (7 persen), dan 18 (6 persen). HPV tipe 16 dan 18 dikenal memicu kanker serviks pada perempuan.
”Kekebalan tubuh yang tidak baik bisa memicu kanker pada mereka yang terinfeksi HPV bersifat kanker. Pada pasien HIV yang mengalami imunodefisiensi atau kekebalan tubuh lemah, sel CD4 yang memerangi infeksi rendah dan virus dalam darah meningkat,” ujarnya.
Kekebalan tubuh yang tidak baik bisa memicu kanker pada mereka yang terinfeksi HPV bersifat kanker.
Perempuan yang teridentifikasi positif HIV dianjurkan menjalani deteksi dini HPV yang bisa dilakukan dengan beberapa cara, seperti pengujian mukosa mulut rahim dengan tes IVA (inspeksi visual asam asetat) dan papsmear. Deteksi dini HPV juga bisa dilakukan dengan tes urine untuk melihat HPV risiko tinggi tipe 16 dan 18.
”Imunisasi HPV pada perempuan yang telah dinyatakan HIV positif juga perlu dilakukan. Tidak cukup dengan vaksin bivalen atau kuadrivalen, tetapi dengan nanovalen agar pasien HIV tidak terkena kanker serviks,” kata Haridana.
Pemberian vaksin pada pasien HIV akan membentuk antibodi lebih cepat dibandingkan pasien HIV yang belum mendapat obat antiretroviral (ARV) atau memiliki CD4 di bawah 200 milimeter.
Sejauh ini, di Indonesia baru tersedia dua jenis vaksin HPV. Vaksin bivalen untuk cegah virus tipe 16 dan 18 yang menyebabkan kanker serviks, lalu vaksin kuadrivalen yang dilengkapi virus tipe 6 dan 11, yang umum sebabkan kutil kelamin. Sementara itu, vaksin nanovalen telah diciptakan untuk mencegah sembilan tipe virus, yaitu tipe 6, 11, 16, 18, 28, 31, 33, 45, 52, dan 58. Imunisasi HPV efektif diberikan pada remaja mulai 9 tahun.
Guru Besar Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI Samsuridjal Djauzi, yang juga menjadi promotor dalam promosi doktor tersebut, tidak hanya menyarankan deteksi dini HPV, tetapi juga deteksi dini HIV.
”Kejadian kanker akibat HPV pada orang dengan HIV meningkat 3-5 kali daripada yang tidak terinfeksi HIV. Infeksi HPV pada orang HIV sama saja ketika mereka terinfeksi tuberkulosis atau infeksi lainnya karena mempercepat statusnya menjadi AIDS. Oleh karena itu, baik HIV atau infeksi seperti HVP harus diwaspadai karena keduanya tidak menguntungkan,” ujarnya.
Per tahun 2018, sebanyak 630.000 orang Indonesia terinfeksi HIV di Indonesia, menurut organisasi penanganan AIDS (UNAIDS) di bawah PBB. Namun, baru 48 persen dari atau sekitar 300.000 orang yang mengetahui bahwa mereka terinfeksi HIV. Padahal, infeksi HIV meningkatkan risiko berbagai infeksi dan kanker.
Virus HPV bisa menjangkiti 80 persen orang, terutama yang sudah melakukan hubungan seksual. Dari jumlah tersebut, 5-10 persen virus menetap dalam waktu puluhan tahun dan bisa memicu kanker. Data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyebaran Lingkungan Kementerian Kesehatan menunjukkan, setiap hari muncul 40-45 kasus kanker serviks pada perempuan dan 20-25 di antaranya meninggal. (ERIKA KURNIA)