Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat melontarkan pertanyaan kepada hadirin peserta "CEO Forum: Embracing Industry 4.0 Opportunity" di Jakarta, pertengahan Desember 2018. Inti pertanyaannya, apakah Indonesia harus setara dengan Jepang dalam hal pemanfaatan teknologi, semisal teknologi robotik?
Kalla pun membuat perbandingan. Jepang saat ini merupakan negara dengan populasi penduduk menua. Sebaliknya, Indonesia memiliki banyak penduduk usia muda yang membutuhkan pekerjaan.
Apabila semua hal kemudian digantikan robot atau terotomatisasi, maka pertanyaan berikut yang muncul adalah siapa yang akan menjadi konsumer? Siapa yang akan membeli produk-produk industri kalau orang tidak lagi bekerja dan tak berdaya beli karena tergantikan robot?
Robot memang bisa menggantikan, bahkan dengan lebih efektif atau presisi, beberapa hal yang sebelumnya dikerjakan secara manual oleh manusia. Namun, berbeda dengan pekerja manusia, robot toh tidak berbelanja sepatu, pakaian, kendaraan, dan beragam kebutuhan lainnya.
Di titik ini dinilai perlu ada suatu penyesuaian sampai seberapa besar tingkat kebutuhan akan robotik dan sistem terotomasi. Namun, pada forum tersebut Kalla pun menyinggung peranan teknologi dalam meningkatkan produktivitas, termasuk yang dibawa di era industri 4.0.
Hal senada disampaikan Managing Partner Indonesia, McKinsey & Company, Phillia Wibowo. Ada kesempatan bagi Indonesia untuk meningkatkan produktivitas melalui industri 4.0.
Merujuk riset McKinsey, digitalisasi bisa mendorong pertambahan hasil ekonomi Indonesia sebesar 120 miliar dollar AS di tahun 2025 mendatang dengan 34 miliar dollar AS di antaranya dihasilkan sektor manufaktur.
Percepatan penerapan teknologi digital terbaru di sektor manufaktur dinilai sangat penting. Pertimbangannya, peran sektor manufaktur bagi produk domestik bruto cukup berarti, sumbangannya mencapai sekitar 18 persen.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian memperkirakan potensi industri digital di Indonesia pada tahun 2025 bisa mencapai 150 miliar dollar AS. Potensi penciptaan kebutuhan tenaga kerja mencapai 17 juta orang.
Perinciannya, sebanyak 4,5 juta orang adalah talenta yang terkait industri manufaktur dan 12,5 juta orang terkait industri jasanya. Hal ini dinilai menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk menggapainya.
Apalagi negeri ini memiliki potensi sumber daya manusia dari bonus demografi yang bisa dimanfaatkan hingga tahun 2030. Negara dengan usia produktif lebih banyak berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi 1 hingga 2 persen.
Kerap disebutkan bahwa produktivitas terkait erat dengan daya saing. Persoalan daya saing tenaga kerja pun mengemuka pada acara 5th Indonesia Industrial Relations Conference yang bertema The Alignment of New Industrial Relations Policy toward Industry 4.0 Era. Acara tersebut digelar oleh Apindo Training Center pada November 2018 lalu.
Peningkatan kualitas dan daya saing sumber daya manusia diperlukan agar bonus demografi benar-benar dapat memberi manfaat dan bukan justru menjadi beban. Hal itu semua membutuhkan kemitraan dan tanggung jawab pemerintah, pemberi kerja, dan termasuk serikat pekerja. Intinya, semua pemangku kepentingan memegang peranan.