Bekasi Pangkas Birokrasi
Di periode kedua memimpin Kota Bekasi, Rahmat Effendi berencana memperbaiki berbagai hal terutama pelayanan publik. Cita-cita ini perlu diimbangi kerja keras.
Di periode kedua memimpin Kota Bekasi, Rahmat Effendi berencana memperbaiki berbagai hal terutama pelayanan publik. Cita-cita ini perlu diimbangi kerja keras.
Aspam (48) menghela napas panjang saat keluar dari pintu Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Bekasi, Selasa (18/12/2018).
Kontraktor menara telekomunikasi dari Jakarta Pusat itu berhenti sejenak sambil membaca ulang lembaran persyaratan pengajuan izin mendirikan bangunan (IMB) menara baru. Dari 12 syarat, dua poin mengganggu pikirannya.
"Sebelum mengajukan IMB menara ini, ternyata saya masih harus ke instansi lain, tidak bisa selesai di DPMPTSP saja,” kata Aspam.
Petugas loket mengatakan, belum ada petugas Dinas Tata Ruang yang berkantor di DPMPTSP.
Ia juga diminta menyerahkan rekomendasi kawasan keselamatan operasi penerbangan (KKOP) dari Pangkalan Udara Halim Perdana Kusumah. Rekomendasi dari pangkalan udara tidak dibutuhkan jika menara tidak lebih dari delapan lantai atau ketinggian bangunan maksimal 32 meter dari permukaan tanah. Sementara itu, menara yang akan Aspam bangun tingginya lebih dari 32 meter.
Aspam tidak keberatan dengan berbagai persyaratan ini. Hanya, proses yang terpisah di berbagai tempat menyulitkan kalangan pengusaha karena harus bolak-balik ke berbagai kantor. “Mengurus izin di berbagai instansi juga masih membuka celah adanya pungutan liar.”
Ini merupakan kali pertama Aspam mendapatkan proyek di Kota Bekasi. Ia yang sudah berpengalaman membangun menara di berbagai kota di Indonesia mengharapkan pengalaman baru yang berbeda saat mengurus perizinan.
Menurut Aspam, di kota-kota lain, pembuatan IMB menara juga tidak terintegrasi di DPMPTSP. Saat mengurus dokumen dari dinas-dinas terkait, tidak jarang ia dimintai uang pelicin yang kerap memberatkan biaya operasional proyek. “Tarif yang ditetapkan beragam, mulai dari Rp 60 juta, Rp 80 juta, Rp 100 juta, bahkan lebih.”
Tidak hanya pada IMB menara, persyaratan serupa juga berlaku pada IMB rumah baru. Ketika menanyakan kepada petugas di DPMPTSP di Mal Pelayanan Publik (MPP) Pasar Proyek Trade Center, Kota Bekasi, Kompas diminta membawa sertifikat tanah, tanda pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB), dan keterangan rencana kota dari Dinas Tata Ruang.
Petugas juga mengaku tidak ada petugas Dinas Tata Ruang di DPMPTSP untuk membantu mengurus dokumen tersebut.
Di kantor DPMPTSP, warga dilayani oleh petugas di empat loket, yaitu informasi, izin reklame, izin selain reklame, dan loket one single submission (OSS) untuk mengurus surat izin usaha perdagangan dan tanda daftar perusahaan (SIUP-TDP). Petugas melayani warga dengan ramah. Warga dapat mengurus seluruh jenis perizinan dari pukul 08.00-16.00.
Sistem lemah
Selain pengurusan izin yang belum satu pintu, warga juga mengeluhkan ketidakpastian saat mengurus izin.
Dini Desiyanti (25), apoteker di salah satu rumah sakit, sudah lebih sebulan mengajukan surat izin praktik apoteker (SIPA). Sejak awal, tenggat waktu terbit SIPA tidak diberitahukan petugas, sehingga ia harus selalu memeriksa status pengajuannya di situs DPMPTSP.
Setelah menanti satu bulan, surat izin akhirnya dicetak. Namun, ia kecewa karena tanggal lahir di SIPA keliru. “Ketika mengajukan perbaikan pun saya dilempar kesana kemari tanpa kepastian kesalahan itu kapan akan diperbaiki. Saya diminta menunggu kabar dari DPMPTSP,” ujar Dini.
Petugas di DPMPTSP memintanya datang ke MPP karena pencetakan dilakukan disana. Akan tetapi, di MPP, ia diminta kembali ke DPMPTSP karena tidak ada petugas teknologi informasi yang berwenang mengganti keterangan tanggal lahirnya.
Dini yang tinggal di Cileungsi, Kabupaten Bogor, dan bekerja di Kota Bekasi itu harus menempuh jarak sekitar 20 kilometer untuk urusan ini. Belum lagi ia harus bolak-balik meninggalkan waktu kerjanya.
Safira (21), mahasiswa, juga kaget dengan waktu pengurusan izin yang mencapai tiga hari. Ia dan kedua temannya khusus datang ke Kota Bekasi untuk meminta data masterplan pengolahan limbah dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) sebagai bahan skripsi.
Setelah menyerahkan surat pengantar dan fotokopi kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) serta mengisi formulir permohonan data, ia hanya dimintai nomor kontak untuk dihubungi petugas jika permohonannya sudah dikabulkan. Pencatatan permohonan data belum memanfaatkan teknologi informasi. Safira pun khawatir, jika permohonannya terlewat karena tidak tercatat di dalam sistem.
Berkembang
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi mengatakan, sebagai kota yang mengandalkan sektor jasa dan perdagangan, ia berupaya meningkatkan pelayanan publik termasuk mempermudah proses perizinan. “Kami ini menjual perizinan, ketepatan waktu, dan perlindungan hukum,” ujar dia.
Kepala DPMPTSP Kota Bekasi Lintong Dianto Putra mengklaim telah menempatkan tim dari dinas-dinas teknis untuk bekerja di DPMPTSP. “Di DPMPTSP ada perwakilan dari Dinas Tata Ruang; Badan Pendapatan Daerah (Bapenda); Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air; Dinas Pariwisata dan Kebudayaan; Dinas Perdagangan dan Perindustrian; Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan; dan Dinas Lingkungan Hidup.”
Menurut dia, keberadaan keberadaan sejumlah personel dari dinas teknis itu dapat mempercepat proses penerbitan izin. Contohnya, IMB ditargetkan terbit dalam waktu 14 hari.
Di samping itu, pihaknya telah membuka dua MPP di Bekasi Timur dan Pondok Gede. Sebanyak 14 jenis izin dari total 75 izin sudah bisa diurus di sana. “Menurut rencana, kami akan membuka tiga MPP lagi, yaitu di Bantargebang, Cibubur, dan Harapan Indah,” kata Lintong.
Ia mengatakan, percepatan layanan perizinan terus dilakukan dengan mengembangkan kemampuan sumber daya manusia (SDM) agar berkomitmen memberikan pelayanan yang profesional.
Pihaknya pun tengah berupaya mengintegrasikan platform pengurusan izin secara daring www.silat.bekasikota.go.id dengan sistem OSS agar seluruh jenis perizinan bisa diurus secara daring. Kini, dari 75 jenis perizinan baru empat jenis yang bisa dilakukan secara daring, yaitu SIUP-TDP, surat izin usaha jasa konstruksi (SIUJK), reklame, dan izin penggunaan tanah makam (IPTM).
Tantangan
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Na Endi Jaweng mengatakan, pembenahan birokrasi perizinan merupakan agenda yang harus diprioritaskan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi.
Masih ada sejumlah kelemahan di antaranya belum semua perizinan dilimpahkan ke DPMPTSP. Padahal, semestinya dinas tersebut menjadi akses tunggal dalam urusan perizinan. Warga tidak perlu berurusan dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) lain saat mengurus perizinan.
Wewenang pengambilan keputusan mengenai perizinan juga seharusnya ada pada DPMPTSP. Hubungan dengan dinas teknis lainnya hanya sebatas koordinasi.
Ia menambahkan, konsep MPP yang sudah ada juga bisa diperbaiki. Hakikatnya, MPP merupakan reformasi organisatoris yang berusaha mengintegrasikan seluruh data masyarakat berbasis KTP-el. Dengan begitu, pelayanan terhadap warga hanya memerlukan KTP-el. Bukan sekadar mengumpulkan berbagai layanan dalam satu lokasi.
Menurut dia, Kota Bekasi telah begitu berkembang dalam berbagai bidang sehingga semestinya sudah bisa bersaing di kancah global. Kota itu mendapatkan berbagai keuntungan karena secara geografis letaknya berdekatan dengan DKI Jakarta dan pusat industri di Kabupaten Bekasi dan Karawang.
“Oleh karena itu, Wali Kota Bekasi harus sudah bisa membaca tren persaingan antarkota di level global. Untuk itu, ia juga harus mempersiapkan digital government dan konvergensi antarsektor yang merupakan ciri pemerintahan terbuka,” kata Robert.
Selain itu, Kota Bekasi merupakan tempat bertumbuhnya masyarakat urban kelas menengah. Hal tersebut menjadi modal daya tarik dari sudut pandang investasi. Namun, daya tarik itu perlu lebih ditingkatkan dengan membuat regulasi yang pasti serta memberikan insentif fiskal dan nonfiskal.
“Lebih dari itu, budaya kerja para birokrat juga harus dibenahi,” kata Robert. Perilaku birokrat yang mencerminkan kemalasan, kata dia, juga menjadi faktor yang bisa mengurungkan niat investor untuk berinvestasi.
Untuk itu, pembangunan Kota Bekasi membutuhkan kerja keras. Sebab, tanpa seluruh kepastian, bukan tidak mungkin Kota Bekasi justru ditinggalkan. Sebagaimana Aspam, yang masih akan mempertimbangkan pembangunan proyeknya setelah mengetahui kesulitan mengurus IMB. “Saya harus menghitung estimasi biaya yang harus dikeluarkan untuk perizinan yang tersebar di banyak tempat. Jika terlalu besar biayanya, lebih baik proyek dibatalkan,” tuturnya.