Dari Lahan Parkir Uang Mengalir
Parkir liar di Jakarta menjadi bisnis yang menggiurkan. Karena itu, banyak pihak ingin menguasai lahan itu sebagai sumber uang. Gesekan tak terhindarkan demi pundi-pundi itu.
Pakir kendaraan sering kali dianggap hal sepele bagi sejumlah warga Jakarta. Karena itu, banyak yang membiarkan urusan ini berjalan tanpa aturan. Kesempatan ini menjadi ”makanan empuk” sejumlah orang menguasai lahan parkir untuk mendapatkan pundi-pundi uang.
Penguasa lahan ini seakan memiliki aturan di wilayah kekuasaan yang mereka buat sendiri. Hingga kemudian kerap memicu gesekan antarwarga dan penjaga lokasi. Konflik fisik di antara juru parkir liar di Cibubur, Jakarta Timur, Senin (10/12/2018) bisa terulang di tempat lain selama tidak ada penataan di sektor ini. Sayangnya, belum ada langkah dari pihak-pihak terkait untuk menertibkan mereka.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Sigit Wijatmoko mengaku hanya bisa mengelola lahan parkir yang diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 188 Tahun 2016. Di luar itu, lembaganya tidak memiliki kewenangan. ”Sementara kami fokus ke aturan itu dahulu,” katanya di Jakarta, Selasa (18/12/2018).
Dinas Perhubungan DKI Jakarta hanya berwenang menertibkan kendaraan yang parkir secara liar, tetapi bukan juru parkir yang mengoperasikan lokasi parkir liar. Beberapa kali, aparat Dinas Perhubungan memberikan sanksi ke pengemudi yang memarkir kendaraan bukan di tempat yang seharusnya ini.
Dari Januari hingga pertengahan Desember, 196.307 pengguna kendaraan terkena tilang atau mendapat sanksi lain berupa pencabutan pentil ban, pengangkutan, dan penderekan pada kendaraan dari lokasi parkir liar.
Aturan parkir
Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum menyatakan larangan parkir liar. Di pasal 10 ketentuan itu, setiap orang atau badan dilarang memungut uang parkir di jalan-jalan atau di tempat-tempat umum, kecuali mendapat izin gubernur atau pejabat yang ditunjuk. Adapun Pasal 11 Ayat 1 menyebutkan setiap orang wajib memarkir kendaraan di tempat yang telah ditentukan.
Pasal 11 Ayat 2 Perda Nomor 8 Tahun 2007 itu juga menyebutkan setiap orang atau badan dilarang menyelenggarakan dan atau mengatur perparkiran tanpa izin gubernur atau pejabat yang ditunjuk.
Kendati tegas dinyatakan, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta Yani Wahyu Purwoko mengatakan belum ada program khusus melakukan penertiban ke juru parkir liar. Menurut Purwoko, langkah tegas terhadap mereka membutuhkan koordinasi dengan Dinas Perhubungan DKI Jakarta lebih dahulu. ”Kami tidak tahu mana juru parkir resmi atau yang liar. Jadi butuh koordinasi pada dinas yang membina,” ujarnya.
Meski sudah ada lokasi parkir ditetapkan Pemprov DKI, namun tidak semua lokasi itu berfungsi secara efektif. Data Unit Pengelola (UP) Perparkiran DKI Jakarta saat ini terdapat 441 lokasi parkir ditetapkan dalam Pergub DKI Jakarta Nomor 188 Tahun 2016. Lokasi ini berada di ruas jalan dan zona campuran. Dari jumlah itu, 401 lokasi di antaranya yang efektif, sisanya tidak efektif sebagai lokasi parkir karena lebih difungsikan sebagai jalan untuk kelancaran lalu lintas kendaraan.
Ivan Valentino dari Humas UP Perparkiran DKI Jakarta mengatakan, hanya ada 288 juru parkir resmi yang bertugas di lokasi terminal parkir elektronik. Sementara 1.385 orang lain juru parkir (resmi) dengan menggunakan karcis.
”Juru parkir resmi ditandai dengan pakaian seragam, tanda pengenal atau surat tugas, memiliki karcis parkir berperporasi, dan bertugas di lokasi yang sesuai Peraturan Gubernur Nomor 188 Tahun 2016,” kata Valentino.
Sementara itu, Pemprov DKI Jakarta tak menutup pembukaan areal parkir di lahan pribadi atau swasta. Menurut Perda Nomor 5 Tahun 2012, areal parkir yang wajib mengajukan izin berukuran 12 meter persegi ke atas. Adapun area dengan luas kurang dari ukuran itu, pengelola lahan tak perlu mengajukan izin.
Ganggu lalu lintas
Ketentuan itu diakomodasi untuk memudahkan pengguna kendaraan mencari tempat parkir. Banyaknya pengguna kendaraan sering menjadi alasan juru parkir membuka parkir liar. Berdalih memudahkan warga, tetapi keberadaan parkir liar kerap mengganggu kelancaran arus lalu lintas kendaraan seperti yang terjadi di Jalan Bekasi Barat, seberang Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur.
Di lokasi itu terlihat juru parkir dengan kemeja biru menjalankan tugas. Namun, lahan parkir di badan Jalan Bekasi Barat menyebabkan penyempitan jalan menjadi sekitar 2,5 meter. Selasa (18/12/2018) siang, arus lalu lintas beberapa kali tersendat di jalan itu. Kondisi semakin parah ketika ada dua-tiga taksi ikut-ikutan ngetem di sana.
Di tempat itu ada tanda larangan parkir dan imbauan agar parkir di dalam kawasan Pasar Rawa Bening. Meski demikian, Arman (50), juru parkir setempat mengaku punya izin dari UP Perparkiran DKI Jakarta.
”Saya punya surat izin pengelolaan dari Dishub DKI. Karcis untuk pemakai jasa parkir juga ada,” katanya. Arman menyatakan rutin menyetor Rp 30.000 per hari kepada petugas dari UP Perparkiran sebagai retribusi, terlepas dari banyak ataupun sedikit orang yang parkir di sana.
Adapun tarif parkir di sana Rp 2.000 untuk pengendara sepeda motor. Namun, pengguna tidak mendapatkan karcis bukti parkir saat meninggalkan tempat itu. Arman hanya memberi karcis tersebut jika pengguna kendaraan memintanya. Sementara karcis disimpan di jok sepeda motor dalam keadaan lusuh.
Uang parkir
Merebaknya parkir liar di Jakarta tidak lepas dari besarnya uang yang beredar di sektor ini. Sebagai gambaran, dengan 401 lokasi parkir saja, pemasukan dari parkir ke Pemprov DKI Jakarta sekitar Rp 39,2 miliar pada 2015. Jumlahnya meningkat pada 2016 menjadi lebih kurang Rp 52 miliar, dan pada 2017 mencapai Rp 107,8 miliar. Adapun sepanjang 2018 hingga awal Desember, pemasukan dari parkir mencapai Rp 100 miliar.
Tidak ada angka detail terkait besarnya peredaran uang di area parkir liar. Untuk sepetak lahan parkir minimarket 15 x 15 meter saja, seorang juru parkir bisa mendapatkan uang Rp 250.000 per hari. Uang itu didapat Heri (21), juru parkir di salah satu minimarket di kawasan Cibubur, Jakarta Timur, setelah ia menyetor Rp 50.000 untuk organisasi kemasyarakatan (ormas) dan pihak lain di wilayah itu.
Lantaran tingginya pendapatan di lahan parkir itu, Heri membagi waktu kerja dengan teman-teman. Dia kebagian dua hari dari tujuh hari dalam satu minggu menjaga lahan parkir itu. ”Kami tidak mematok tarif parkir. Ada yang kasih Rp 1.000 ataupun Rp 2.000 untuk motor. Kalau mobil kebanyakan kasih Rp 5.000,” katanya.
Parkir di Jakarta benar-benar menjadi bisnis yang menggiurkan. Lalu ke mana selama ini sebagian uang parkir menguap? (Dionisio Damara Tonce/Yola Sastra)