JAKARTA, KOMPAS-- Defisit neraca perdagangan yang semakin dalam akan mendorong defisit transaksi berjalan ke level di atas 3 persen produk domestik bruto pada akhir 2018. Situasi ini bisa menimbulkan kerentanan terhadap nilai tukar rupiah.
Kebijakan memperbaiki defisit transaksi berjalan jangan bertentangan dengan upaya mendorong pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, neraca perdagangan November 2018 defisit 2,047 miliar dollar AS, yang terdalam setidaknya sejak Januari 2014. Neraca perdagangan Januari-November 2018 defisit 7,515 miliar dollar AS. Pada Januari-November 2017, neraca perdagangan surplus 12,082 miliar dollar AS. Transaksi berjalan defisit 8,846 miliar dollar AS atau 3,37 persen PDB per triwulan III-2018. Adapun nilai tukar berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Selasa (18/12/2018), sebesar Rp 14.523 per dollar AS.
Kepala Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Anton Gunawan mengatakan, semakin dalam defisit neraca perdagangan, maka defisit transaksi berjalan juga kian dalam. Defisit transaksi berjalan 2018 kemungkinan besar di atas 3 persen PDB, kendati neraca perdagangan bulan Desember surplus. Defisit transaksi berjalan bisa di bawah 3 persen PDB jika surplus neraca perdagangan mencapai 1 miliar dollar AS.
“Neraca perdagangan pada Desember bisa membaik, tetapi sepertinya agak berat (kalau surplus setinggi itu). Defisit transaksi berjalan pada triwulan IV-2018 diproyeksikan 3,5 persen PDB sehingga secara kumulatif tahunan sekitar 3,1 persen PDB,” kata Anton di Kantor Kementerian Perekonomian, Jakarta, Selasa.
Transaksi berjalan meliputi transaksi barang, jasa, pendapatan primer, dan pendapatan sekunder. Kondisi defisit menunjukkan keperluan terhadap dollar AS lebih besar dari kemampuan menghasilkan dollar AS.
Dampak defisit terhadap nilai tukar rupiah, lanjut Anton, sangat bergantung pada respons Bank Indonesia dan kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed. Pada Mei-November 2018, BI sudah menaikkan suku bunga acuan BI sebesar 1,75 persen menjadi 6 persen.
Lebih lanjut Anton menyampaikan, kebijakan mesti berorientasi jangka panjang dan berkelanjutan, sehingga yang ditingkatkan adalah kinerja komponen dalam transaksi berjalan, bukan menurunkan investasi.
Tetap fokus
Secara terpisah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyampaikan, kemampuan ekspor Indonesia bukan hanya terhambat dinamika perang dagang, tetapi juga respons negara tujuan eskpor. Misalnya, ekspor minyak sawit Indonesia ke India terkendala bea masuk yang tinggi.
Pemerintah, tambah Darmin, tetap fokus pada realisasi biodiesel 20 persen dalam setiap liter solar untuk mengendalikan impor minyak. Sejauh ini, realisasi B20 masih terkendala pembangunan penyimpanan terapung sebagai titik pencampuran solar dan sawit.
Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wapres, Jakarta, menyampaikan, percepatan penyelesaian perundingan kerja sama dagang dengan negara lain merupakan salah satu upaya pemerintah menekan defisit neraca perdagangan. "Langkah yang dilakukan pemerintah antara lain bagaimana kita masuk dalam pola kerja sama perdagangan yang lebih baik dengan negara-negara lain," tutur Kalla.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Widjaja Kamdani di tempat terpisah berharap, pemerintah tetap membuat kebijakan yang mendukung iklim usaha dan industri.
Sementara, ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro menekankan, neraca perdagangan yang defisit menunjukkan ada masalah struktural pada ekspor nasional. (KRN/NTA/JUD)