JAKARTA, KOMPAS — Hilirisasi atau peningkatan nilai tambah dari batubara di Indonesia masih menjadi wacana. Pemerintah diharapkan menjadi yang terdepan untuk mewujudkan hilirisasi itu. Di satu sisi, pengusaha batubara di Indonesia menilai bahwa hilirisasi batubara menjadi gas masih menyisakan masalah.
Hal itu mengemuka dalam diskusi International Energy Agency (IEA) Coal Forecast to 2023, Selasa (18/12/2018), di Jakarta. Acara itu dihadiri Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Sumber Daya Mineral, Batubara, dan Listrik Garibaldi Thohir, serta pelaku usaha tambang batubara dalam dan luar negeri. Sekaligus diadakan peluncuran hasil analisis dan proyeksi batubara dunia hingga 2023 oleh IEA.
Mantan Ketua Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) Jeffrey Mulyono mengatakan, hilirisasi batubara menjadi gas di Indonesia sudah ramai dibicarakan sejak empat tahun lalu. Hanya saja, sampai sekarang belum ada tindakan nyatanya. Gasifikasi batubara, yaitu mengubah batubara berkalori rendah menjadi dimetil eter (DME), bahan baku utama elpiji, dapat memenuhi tingginya kebutuhan elpiji di Indonesia.
”Seharusnya, pemerintah yang memimpin langsung usaha hilirisasi batubara di Indonesia. Sudah sejak empat tahun lalu wacana batubara menjadi DME dibicarakan, tetapi belum ada wujudnya,” kata Jeffrey.
Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara pada Kementerian ESDM Muhammad Wafid mengatakan, upaya meningkatkan nilai tambah batubara sedang menjadi perhatian pemerintah. Gasifikasi batubara, yaitu memproses batubara menjadi gas, dapat mengurangi kebergantungan pada impor elpiji yang besarnya 70 persen dari total kebutuhan elpiji nasional. Hanya saja, hilirisasi batubara menjadi DME belum cukup ekonomis jiika tidak memperluas produk hilirisasi itu sendiri, seperti menghasilkan amoniak atau bahan bakar minyak dari batubara.
”Tetapi, jangan pesimistis. Harus terus melangkah ke depan. Empat perusahaan dalam negeri sudah berkolaborasi mewujudkan gasifikasi batubara. Kami juga menyiapkan payung hukum untuk hilirisasi batubara yang terintegrasi sehingga bisa tercapai nilai keekonomiannya,” ucap Wafid.
Sebelumnya, PT Bukit Asam Tbk kian menggandeng perusahaan asal Amerika Serikat, Air Products and Chemical Inc, untuk membangun industri gasifikasi batubara di Indonesia. Nota kerja sama dengan Air Products and Chemical Inc sudah ditandatangani Bukit Asam bersama Pertamina beberapa waktu lalu. Perusahaan Amerika itu menguasai teknologi gasifikasi batubara yang nantinya akan dimanfaatkan Bukit Asam.
Proyek gasifikasi Bukit Asam akan mengubah batubara menjadi bahan baku urea berkapasitas 500.000 ton per tahun, dimetil eter 400.000 ton per tahun, dan polypropylene 450.000 ton per tahun. Rencana lokasi unit gasifikasi batubara itu ada di kawasan tambang batubara Bukit Asam di Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.
Masih penting
Garibaldi mengatakan, batubara di Indonesia masih memegang peranan penting sebagai sumber energi primer untuk pembangkit listrik. Bukan hanya di Indonesia, batubara di Amerika Serikat menjadi sumber energi primer kedua untuk pembangkit listrik setelah gas. Di China, bauran energi untuk batubara masih sebesar 58 persen.
”Terhadap kontribusi nasional, sektor batubara memegang peranan penting. Pada 2017, penerimaan negara bukan pajak dari sektor mineral dan batubara sebesar Rp 40,6 triliun. Selain itu, terhadap penciptaan lapangan kerja, nilai penggandaan tambang batubara menyumbang hampir dua kali lipat,” ujar Garibaldi.
Ketua Umum APBI Pandu Patria Sjahrir menambahkan, hilirisasi batubara di Indonesia saat ini masih sebatas pada pembangkit listrik mulut tambang. Hilirisasi batubara menjadi gas, lanjutnya, masih belum dapat terwujud lantaran persoalan teknologi dan nilai keekonomiannya. Selain itu, pemerintah belum memiliki payung hukum untuk gasifikasi batubara.