Optimisme di Periode Kepemimpinan Kedua
Sekali sepekan, Kompas menurunkan wawancara khusus dengan kepala daerah terpilih di Jabodetabek dari Pilkada 2018 untuk mengulik rencana lima tahun mendatang.
Dilantik kembali sebagai Wali Kota Bekasi, Kamis (20/9/2018), Rahmat Effendi yang berpasangan dengan Tri Adhianto menyimpan sejumlah program prioritas. Berikut petikan wawancara khusus dengan Kompas pada 28 November.
Apa saja program prioritas di periode kedua kepemimpinan Anda?
Pertama, menyelesaikan persoalan banjir. Persoalan banjir ini juga terkait karakter dan budaya masyarakat. Harus ada komitmen dari pemerintah untuk menyelesaikan pembangunan infrastruktur drainase. Seiring dengan hal itu, pemerintah juga harus membuat tampungan atau polder air sehingga air dari hulu sampai hilir harus bisa ditangkap polder itu. Kami sudah memulai pembangunan polder air untuk 46 titik banjir.
Kota Bekasi ini dulu merupakan areal persawahan dan rawa-rawa. Saat ini dengan eskalasi penduduk yang mencapai 2,7 juta orang, lahan tersebut sudah habis. Oleh karena itu, bangunan dalam area bisnis tidak bisa lagi tapak, tetapi harus vertikal seperti apartemen.
Karena sudah tidak memiliki sumber daya alam andalan, kami menjadi kota jasa dan perdagangan. Itu kan artinya menjual trust. Jual perizinan, ketepatan waktu, dan perlindungan hukum. Menjual perizinan juga didukung infrastruktur yang terintegrasi.
Bagaimana masa depan birokrasi di Kota Bekasi?
Pertama, kita bukan saja melakukan ekspansi pelayanan keluar, melainkan kami juga menata birokrasi ke dalam. Pada tahun pertama, saya akan menata kelembagaan. Tahun kedua akan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM). Tahun ketiga, setelah kelembagaan dan SDM bagus, akan mengubah pola pikir (mindset) aparatur sipil negara (ASN). Mereka harus sudah think out of the box.
Apakah hal tersebut diwujudkan dengan memberikan pelayanan yang cepat?
Jadi, cara berpikirnya itu harus lepas dari birokrasi aturan, yang hanya bekerja berdasarkan aturan. Kalau seperti itu, daerah tidak akan berkembang. Kemudian, ASN juga harus melewati batas birokrasi performance sebab jika sebatas itu saja, mereka hanya akan bekerja tanpa melihat perkembangan. Birokrasi yang think out of the box itu bisa melompat jauh ke depan untuk merencanakan proses peradaban di Kota Bekasi.
Dalam bayangan Anda, Kota Bekasi dalam lima tahun ke depan akan menjadi seperti apa?
Dalam lima tahun ke depan, Kota Bekasi akan menjadi pusat kota perdagangan dan jasa. Pusat kota yang membuat orang nyaman tinggal di sini karena permasalahan banjir selesai, pelayanan dasar kesehatan terpenuhi, dan soal pendidikan wajib belajar 12 tahun terpenuhi. Di situlah akan terlihat bahwa negara hadir di atas komunitas yang bernama rakyat.
Hal apa yang mendesak dilakukan untuk mencapai cita-cita itu?
Kinerja, kinerja, kinerja, berbanding lurus dengan benefit. Saat kinerja meningkat serta tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat meningkat, pendapatannya pun akan masuk dari wajib pajak, retribusi. Dan, kita tidak terpisah dari bantuan pemerintah pusat.
Bagaimana mengatasi persoalan kinerja ASN yang kerap tidak optimal?
Itu dia, harus dengan pola think out of the box. Jadi, kinerja pemerintah harus melebihi swasta.
Apakah itu berarti memberikan kesempatan lebih besar kepada anak muda yang ada di birokrasi?
Motivasi akan diberikan kepada anak muda. Kalau yang sudah outdate ya akan ketinggalan dengan proses itu. Saat ini yang didorong adalah mobilitas kerja. Saya ingin membangun karakter disiplin ASN dari hal kecil, seperti disiplin saat mengikuti apel pagi. Jika karakter sudah terbentuk, mereka akan firm dalam melaksanakan kewajibannya.
Bagaimana dengan urusan perizinan, apakah warga masih akan kesulitan mengurusnya?
Oh tidak akan lagi. Sekarang, data kependudukan sudah ada di kecamatan. Sebelumnya, masih di dinas kependudukan dan pencatatan sipil, tetapi saya potong habis harus di kecamatan. Saya berharap data kependudukan itu antara lain kartu kematian, akta kelahiran, kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el), kartu keluarga (KK), enam bulan atau satu tahun ke depan (2020) itu semuanya sudah ada di kelurahan.
Pada saat datang ke kecamatan atau kelurahan lalu dokumen yang diurus belum selesai, semestinya ada laporan balik yang menyatakan bahwa prosesnya memang belum selesai. Laporan itu harus tertulis bukan secara lisan. Itu kepastian namanya.
Artinya, warga tidak perlu datang ke berbagai dinas untuk mengurus dokumen perizinan?
Tidak perlu. Nah sekarang soal proses perizinan, kantor dinas penanaman modal dan pelayanan terpadu satu pintu (DPMPTSP) itu sekarang kosong. Warga sudah berpindah ke mal pelayanan publik (MPP), yaitu di Atrium Pondok Gede dan Bekasi Junction. Nantinya kantor dinas akan sepi. Yang ramai adalah MPP sebagai tempat yang lokasinya paling dekat dengan masyarakat.
Sektor apa yang diharap bisa menggenjot APBD 2019?
Kalau pendapatan dari sekarang sebenarnya sudah kami siapkan. Sektor pendapatan yang akan kami sasar habis dengan perubahan regulasi adalah pajak restoran, rumah makan, dan kafe. Dengan metode manual saja saat ini, kami bisa mengantongi Rp 297 miliar per tahun. Apalagi jika dengan menggunakan sistem, menggunakan typing box. Makanya, kami berharap itu bisa menjadi dua kali lipat, bisa menjadi Rp 600 miliar.
Kedua, pengubahan zona peruntukan lahan terhadap Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Salah satunya di Pulogebang, itu kan jalan negara lalu masuk ke perbatasan Kota Bekasi. Di Jakarta nilai jual obyek pajaknya (NJOP) Rp 6 juta, kalau di Kota Bekasi hanya Rp 3 juta. Padahal kan sama-sama jalan negara dan memiliki potensi bisnis yang sama. Di situ akan ada penyesuaian. Begitu juga dengan di jalan-jalan arteri primer, seperti Pekayon-Pondok Gede, Pondok Gede-Hankam, kemudian Jatiwaringin, dan beberapa jalan arteri sekunder. Dari situ potensi pendapatan kami.
Ketiga, parkir. Itu potensinya juga luar biasa. Selama ini pajaknya mengalir begitu saja sama dengan restoran. Saya tidak berburuk sangka, tetapi yang dibayarkan kepada kami itu adalah hasil terakhir, bukan hasil bruto. Ini berlaku untuk parkir di jalan ataupun yang di gedung-gedung. Kami juga akan menggunakan sistem daring dengan menggunakan typing box pada perparkiran.
Bagaimana strategi untuk membangun sistem daring tersebut?
Pada awal ini, kami sudah mendapatkan 50 typing box dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) Bank Jabar Banten (BJB), tetapi kami membutuhkan di atas 2.000 unit, bahkan bisa 5.000 typing box. Membangun sistem daring itu memang membutuhkan alat, tambahan sumber daya manusia (SDM). Katakanlah kami membutuhkan uang Rp 100 miliar untuk membiayai itu, tetap saja kami masih untung.
Jadi akan banyak investasi di bidang sistem daring?
Makanya tadi, orang berinvestasi di Kota Bekasi harus diberikan kepastian dan jaminan hukum. Kepastian kecepatan dan jaminan hukumnya. Jangan orang sudah berinvestasi tetapi tidak ada kepastian dan perlindungan hukum, mereka pasti kabur.
Di beberapa kota, hal itu menjadi kendala karena investasi mendapat penolakan dari pemerintah setempat, menurut Bapak bagaimana?
Makanya, dijaga betul. Seperti orang mau membangun apartemen, dilihat peruntukannya. Kalau peruntukan dan RDTR sudah oke, ada orang yang tidak terima enggak jadi urusan, silakan gugat di pengadilan. Tetapi, jangan peruntukannya salah kemudian kita tabrak, itu salah.
Bagaimana langkah mengubah pola pikir yang sudah usang?
Dimulai dari hal kecil, nanti dilakukan terus secara bertahap. Nanti, strategi besarnya mereka mampu menciptakan ide dan gagasan. Jadi, saya bilang, jangan ada lagi kalimat, ”Pak mohon petunjuk atau arahan.”
Oleh karena itu, besaran tunjangan didasarkan pada kinerja setiap ASN?
Iya, makanya pada tunjangan mereka ada poin statis dan dinamis. Untuk statis 60 persen dan dinamis 40 persen, walaupun sekarang dinamisnya sedang terganggu (dipotong sekitar 30 persen karena APBD tidak mencapai target). Meski demikian, saya tidak menghilangkan tunjangan statis.
Berapa alokasi anggaran untuk pembangunan pada APBD 2019?
APBD 2019 kira-kira mencapai Rp 6,9 triliun. Untuk belanja modal, 40 persen dari APBD saja sudah bagus sekali. Padahal, idealnya belanja modal itu harus lebih tinggi daripada belanja wajib. Tetapi kan kita tidak bisa lagi dengan cara begitu. ASN kita saat ini kebutuhannya juga tinggi, biaya hidup di sini juga berbeda dengan di daerah-daerah lain.
Makanya, saya ambil jalan terbaik, yaitu memberikan tunjangan besar. Mereka harus kerja keras, mengikuti betul pola swasta. Di perusahaan swasta, jika revenue mereka berkurang, itu berarti kerjanya juga ada pengurangan. Kalau ASN tidak bisa bekerja optimal, berarti tunjangan juga akan berkurang.
Saya sudah mengajak birokrasi dengan cara berpikir seperti itu. Ini yang tidak bisa dilakukan kepala daerah lain. harus saya sampaikan seperti itu, beban kerja harus banyak dan berat untuk menyelesaikan permasalahan 2,7 juta orang. Saat ini kami sudah punya SDM-nya, tetapi hanya jumlah bukan kemampuannya. Oleh karena itu, yang perlu saya lakukan adalah meningkatkan kemampuan dan mengubah pola pikir orang. Itu yang terus dilakukan.
Mengenai partisipasi warga, apakah merasa perlu membuka pintu pengaduan secara langsung?
Hubungan saya dengan warga itu tidak pernah melalui staf. Dalam satu jam bisa ada 3.000-5.000 pengaduan lewat Whatsapp. Semua masuk ke nomor ini dan saya kendalikan langsung. Mungkin, ke depan enggak akan lagi kalau pengaduannya sudah terlalu banyak.
Kemudian, kami menyediakan berbagai aplikasi. Pendapatan pun sudah tercatat dalam aplikasi-aplikasi tersebut. Jika ada pajak yang masuk pun akan ada notifikasi persentase peningkatannya. Saat ini, semua dinas juga diwajibkan memiliki situs web dan media sosial.
Langkah itu efektif atau tidak, Pak?
Efektif. Misalnya, ada dinas yang saya instruksikan saat ini tetapi jam 22.00 dia baru bereaksi, berarti dia tidak aktif. Sekarang kan ada Instagram dan lain-lain. Sekarang kalau cara berpikir birokrasi masih birokrasi aturan, kota ini akan menjadi kota penyandang masalah sosial. Menjadi kota yang mati dan tidak aman karena tidak mampu melepaskan diri dari persoalan yang ada.
Di mana peran penting kerja sama antarkota?
Kalau saya sih sepakat karena sudah lama menjabat, dari 1999 sudah menjadi anggota DPRD Kota Bekasi, dari zaman Pak Sutiyoso. Yang memiliki kemampuan mengoordinasi kerja sama antarkota itu DKI Jakarta karena Jakarta pun punya kepentingan. Bagaimana interaksi warga di daerah mitra. Kami pun sekarang tidak mau lagi disebut daerah penyangga, kami adalah mitra.
Karena sekarang kami sudah sejajar, bermitra. Sebanyak 60 persen warga kita ke sana, kita juga menyumbangkan kualitas karena mereka bekerja di Jakarta. Banyak juga perusahaan-perusahaan kita itu NPWP-nya di Jakarta.
Meski demikian, kerja sama antarkota itu tidak bisa dikelola oleh seorang gubernur saja karena terdiri atas tiga regional, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Pemerintah pusat harus punya peran strategis, tidak hanya dengan DKSP yang setiap tahun berpindah tempat. Harus dikoordinasi oleh minimal setingkat menteri. Dengan demikian, baru ada percepatan pertumbuhan daerah mitra di pusat pemerintahan dan pusat ekonomi. Kecuali jika pusat pemerintahan mau dipindahkan dan Jakarta hanya menjadi pusat ekonomi. Sepanjang kedua pusat itu masih digabung di Jakarta, sulit memecahkan persoalan perkotaan itu. Sebab, urbannya sangat tinggi.
Contoh, perilaku membuang sampah dan pembuangan limbah di Bogor, dampaknya ke Kota Bekasi. Itu yang sampai ke Kota Bekasi pun bukan hanya sampah, melainkan juga kadang-kadang kasur.
Hal apa yang dibutuhkan dalam kemitraan antardaerah?
Ya kan Jakarta juga pasti melihat potensi dari sektor transportasi. Kemudian, potensi ekonomi lain adalah pengembangan wilayah. Jakarta kan sudah tidak bisa mengembangkan wilayah lagi, pasti untuk ekspansi kepentingan Jakarta kan bertumpunya di Tangerang, Tangerang Selatan, Depok, Bekasi, dan Bogor. Ini harus ada daerah yang dicakup dalam daerah koordinasi di atas dari regional (Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten). Makanya, harus ada yang memayungi, tidak bisa cuma DKSP saja. Misalnya, beberapa tahun dipegang Jakarta, itu tidak akan bisa concern karena mereka akan fokus pada kewilayahannya masing-masing.