Pasar makanan dan minuman halal di tingkat global dinilai cukup besar. Indonesia berpeluang jadi produsen utama. Namun, pelaku usaha menyoroti mahalnya ongkos sertifikasi produk.
JAKARTA, KOMPAS – Peluang pasar makanan dan minuman halal di kancah internasional terbuka lebar bagi Indonesia. Namun, pelaku industri menyoroti mahalnya biaya sertifikasi halal dari pemerintah.
Mengutip laporan The State of the Global Islamic Economy 2018/2019, total pengeluaran dunia untuk konsumsi makanan halal tahun 2017 mencapai 817 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Sementara pengeluaran penduduk Indonesia untuk makanan minuman halal berkisar 170 miliar dollar AS.
Angka pengeluaran itu mencerminkan besarnya permintaan dan pasar makanan halal di tingkat global. "Indonesia jangan hanya jadi konsumen, tetapi harus jadi produsen utama di pasar internasional," kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang PS Brodjonegoro, dalam diskusi bertema rantai nilai halal di Jakarta, Selasa (18/12/2018).
Selain di sisi pasar, Bambang berpendapat, Indonesia berpotensi unggul di sektor makanan-minuman halal karena kinerja positif industrinya. Kinerja itu tampak dari pertumbuhan industri makanan-minuman yang meningkat dari 8,33 persen pada 2016 menjadi 9,23 persen pada 2017 menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).
Nilai ekspor makanan-minuman (tanpa minyak kelapa sawit) Indonesia pada 2017 mencapai 11,51 miliar dollar AS atau tumbuh 10,35 persen dari tahun sebelumnya. Neraca dagang produk makanan minuman pada 2017 tercatat surplus 1,63 miliar dollar AS.
Sertifikasi
Demi mendapatkan jaminan dan keyakinan pembeli, produk makanan-minuman itu memerlukan sertifikasi halal. "Pelaku usaha butuh mekanisme pendanaan dari pemerintah untuk sertifikasi halal karena biayanya mahal, terutama bagi pengusaha mikro, kecil, dan menengah,” kata Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik dan Hubungan Antarlembaga Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Rachmat Hidayat saat ditemui di Jakarta, Selasa.
Besarnya biaya sertifikasi mayoritasnya dari sisi nonadministratif. Anggaran untuk auditor, misalnya, dapat membengkak seiring naiknya tingkat kerumitan produk. Contohnya, jika bahan baku produk itu diimpor dan belum bersertifikasi halal, auditor harus dibiayai untuk mengecek dan meninjau ke tempat asal bahan baku tersebut. Hal ini memakan waktu enam bulan hingga tahunan. Oleh karena itu, biaya sertifikasi diharapkan tidak dibebankan ke pelaku industri.
Dalam jangka panjang, kata Bambang, memajukan sektor makanan-minuman berarti meningkatkan aktivitas salah satu industri riil nasional. Dampaknya diharapkan dapat menggerakkan perbankan syariah sebagai sumber pembiayaan.
Strategi rinci pengembangan sektor makanan-minuman sebagai industri halal tingkat global akan dituangkan dalam rencana induk yang diharapkan terbit akhir tahun ini atau awal tahun depan. Sektor potensial lain, seperti pariwisata, kosmetik, dan busana, juga dibahas dalam dokumen ini.
Dokumen itu digodok oleh Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS). Direktur Jasa Keuangan dan BUMN Bappenas sekaligus Kepala Sekretariat Satuan Kerja KNKS Muhammad Cholifihani mengatakan, dokumen itu memuat peta jalan dan target jangka waktu 5 tahun untuk mewujudkan industri halal Indonesia di pasar global. Sektor makanan-minuman menjadi prioritas.