JAKARTA, KOMPAS — Hingga tahun kelima implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional, banyak persoalan mendasar yang muncul. Salah satu hal yang harus ditata adalah penataan regulasi dan kelembagaan demi efektivitas pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui revisi Undang-Undang SJSN ataupun mengubah regulasi di bawahnya.
Demikian benang merah lokakarya bertema ”Peningkatan Efektivitas Implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui Penguatan Kelembagaan yang diadakan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN),” di Jakarta, Rabu (19/12/2018).
Anggota DJSN, Ahmad Ansyori, mengatakan, setelah lima tahun berjalan, pelaksanaan SJSN perlu dikaji dan dievaluasi secara komprehensif. Salah satu hal mendasar yang perlu dibenahi adalah tata kelola kelembagaan DJSN, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), kementerian, dan lembaga. ”Tata kelola DJSN dan BPJS perlu dituntaskan,” ujarnya.
Tata kelola DJSN dan BPJS perlu dituntaskan.
DJSN dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004. Posisi itu sangat strategis dalam implementasi SJSN. Jadi, DJSN berfungsi merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi SJSN. Selain itu, DJSN bertugas mengkaji dan meneliti jaminan sosial, mengusulkan kebijakan investasi dana jaminan sosial, mengusulkan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran, serta mengawasi kinerja BPJS.
Posisi kuat
Meski secara regulasi posisi DJSN kuat karena lahir dari UU, selama ini lembaga yang bertanggung jawab kepada presiden itu belum bisa memainkan peran sebagai pembuat dan penentu kebijakan. Itu disebabkan antara lain, aspek regulasi, implementasi regulasi, manajemen, sumber daya manusia, dan sumber pendukung lainnya.
Pakar hukum Oka Mahendra menambahkan, dalam perspektif regulasi, kelemahan fungsi DJSN berakar dari tiga hal, yakni inkonsistensi penggunaan frasa ”penyelenggara SJSN”, ambiguitas penafsiran frasa ”merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN”, hingga membuat tafsir beragam, dan disharmoni peraturan pelaksanaan UU SJSN dan UU BPJS.
Dalam Pasal 2 UU SJSN, DJSN merupakan penyelenggara SJSN, tetapi dalam Pasal 2 dan 4 UU No 24/2011 tentang BPJS disebutkan BPJS sebagai penyelenggara SJSN. Kekacauan konsepsional itu berdampak pada penyusunan norma. Terkait disharmoni peraturan pelaksanaan, kewenangan pengawasan DJSN terhadap BPJS tidak disertai instrumen untuk memastikan hasil pengawasan ditindaklanjuti BPJS dan lembaga lainnya.
Anggota Komisi IX DPR periode 2009-2014, yang saat itu menjadi Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang BPJS, Ahmad Nizar Shihab, mengatakan, sebagai lembaga negara yang bukan subordinat kementerian, DJSN memiliki fungsi luar biasa. Namun, peran dan keberadaannya kurang dikenal publik. Hubungan tata kelola DJSN dengan BPJS belum berjalan baik dan BPJS justru lebih menonjol dibandingkan DJSN.
Ketua DJSN Sigit Priohutomo memaparkan, dengan tugas dan fungsinya luar biasa, sesungguhnya DJSN berperan menentukan dalam implementasi SJSN. Karena itu, struktur dan lembaga DJSN perlu diperkuat. Banyaknya masalah dalam pelaksanaan SJSN tidak bisa dilepaskan dari seberapa aktif dan kuat DJSN.
Guru Besar Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara Bismar Nasution menyatakan, UU SJSN yang dibuat terburu-buru harus diubah. Prinsip pada UU itu bagus tetapi tidak tecermin dalam batang tubuhnya. Banyak hal tidak sinkron dalam UU itu. Satu hal penting adalah DJSN perlu jadi lembaga yang independen.
Mantan Ketua DJSN Chazali Situmorang berpendapat, UU SJSN memiliki kelemahan dan perlu direvisi. Namun, jika prosesnya lama, itu bisa disiasati dengan mengubah aturan di bawahnya, baik peraturan pemerintah ataupun peraturan presiden.
Atas persoalan tata kelola kelembagaan yang kacau itu, DJSN mengusulkan perubahan UU SJSN dan UU BPJS untuk memperkuat kelembagaan DJSN sesuai dengan amanat kedua UU itu sehingga DJSN menjadi lembaga negara yang independen, merevisi aturan pelaksana UU SJSN yang mengatur kelembagaan DJSN, dan agar ada sekretariat DJSN yang fungsional.
Menurut Ansyori, semua rekomendasi telah diidentifikasi dan dianalisis dalam berbagai tingkatan regulasi mulai dari revisi UU SJSN hingga peraturan presiden, yaitu Perpres No 46/2014 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja, Tata Cara Pengangkatan, Penggantian, dan Pemberhentian Angota DJSN.
Ternyata, DJSN tidak bisa menjadi pemrakarsa perubahan baik UU maupun perpres. Telah dua tahun perubahan Perpres No 46/2014 dititipkan pada Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan untuk diusulkan diubah tetapi hingga kini belum diproses.