JAKARTA, KOMPAS — Tahun 2018 menjadi tahun bencana bagi Indonesia. Jumlah korban terdampak pada tahun ini merupakan yang terbanyak dalam sepuluh tahun terakhir. Masyarakat diimbau meningkatkan budaya sadar bencana dan kesiapsiagaan menghadapi ancaman bencana pada 2019 karena potensinya diperkirakan meningkat.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Willem Rampangilei mengatakan, hingga 14 Desember, jumlah bencana yang terjadi sepanjang tahun ini adalah 2.426 kejadian. Dampaknya, 4.231 orang dinyatakan meninggal dan hilang. Jumlah korban meningkat drastis dibandingkan tahun lalu meski jumlah bencana menurun 11,36 persen.
”Tahun ini menjadi yang paling memprihatinkan sejak 2007. Perbandingan dengan tahun lalu, jumlah korban meninggal karena bencana hanya 378 orang,” kata Willem saat memberikan keterangan kepada media di Jakarta, Rabu (19/12/2018).
Selain itu, 6.248 orang mengalami luka-luka akibat bencana pada tahun ini. Jumlah masyarakat yang terdampak bencana adalah 9,9 juta orang dengan total rumah rusak sebanyak 374.023 unit.
BNPB juga mencatat, 96,9 persen dari bencana yang terjadi merupakan bencana hidrometeorologi. Adapun 3,1 persen lainnya adalah bencana geologi. ”Meski begitu, bencana geologi tersebut memberikan dampak yang lebih besar,” ujar Willem.
Gempa bumi merusak terjadi selama 20 kali sepanjang 2018 dan mengakibatkan 572 korban meninggal. Selain itu, 2.012 orang juga luka-luka dan 483.364 korban harus mengungsi.
”Bencana terakhir yang menyebabkan lebih dari 1.000 korban meninggal terjadi pada 2009 dan 2010. Pada 2010, bencana terjadi hampir bersamaan di tiga tempat terpisah,” ujar Willem.
Ia menambahkan, kejadian bencana terbesar tahun ini terjadi di Sulawesi Tengah dan Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sulteng dilanda gempa bumi, tsunami, likuefaksi, dan longsor dalam satu waktu yang hampir bersamaan, sedangkan Lombok dilanda gempa bumi berkali-kali.
Kesiapsiagaan
Dengan gambaran kejadian bencana tersebut, Willem mengimbau masyarakat untuk meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi ancaman serupa pada 2019. Sebab, secara umum, tren bencana akan meningkat baik dari intensitas maupun frekuensinya.
”Perubahan paradigma perlu dilakukan. Budaya sadar bencana dan kesiapsiagaan harus ditanamkan. Selain itu, pembangunan harus berbasis pada analisis risiko bencana,” ujar Willem.
Menurut Willem, beberapa hal yang meningkatkan risiko bencana misalnya kerusakan lingkungan, daerah aliran sungai kritis, perubahan cuaca, pertumbuhan penduduk, masalah tata ruang, dan perilaku masyarakat.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menambahkan, adanya temuan 214 sesar baru juga harus diperhatikan. Kini, 295 sesar aktif tersebar di seluruh Indonesia. ”Pemerintah daerah hendaknya memetakan secara detail lokasi rawan gempa tersebut,” katanya.
Selain itu, ancaman bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor, dan puting beliung, masih akan mendominasi pada 2019. BNPB mencatat, setidaknya ada 489 kota dan kabupaten dengan populasi 63,7 juta jiwa berada dalam wilayah berbahaya tingkat sedang dan tinggi.
Adapun untuk longsor, 441 kota dan kabupaten berada dalam wilayah bahaya tingkat sedang dan tinggi. ”Gunung Sinabung masih berstatus Awas dan Soputan Siaga. Ada juga 18 gunung berstatus Waspada, termasuk Gunung Merapi. Namun, sejauh ini diprediksi tidak akan ada erupsi besar,” kata Sutopo. (FAJAR RAMADHAN)