JAKARTA, KOMPAS - PPATK dan Bawaslu bekerja sama menelusuri transaksi keuangan mencurigakan berkait pilkada serentak. Hal serupa diantisipasi terulang dalam Pemilu 2019.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan bersama Badan Pengawas Pemilu akan mengawasi dana kampanye yang diduga dipakai sebagai sarana pencucian uang. Pola itu ditemukan dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2018 yang bisa terulang pada Pemilu 2019.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan, setiap peserta pemilu telah diketahui profilnya sehingga potensi pelanggaran dana kampanye yang digunakan untuk tindak pidana pencucian uang (TPPU) atau politik uang bisa terdeteksi.
”Yang pertama memang harus dilihat dulu dana (kampanye) yang masuk, transaksi itu di luar profil atau tidak. Kedua, kalau seseorang kemudian menerima uang di luar profil dia, itu sudah patut diduga (ada pelanggaran). Itu menjadi faktor penguat untuk transaksi dia layak ditelusuri,” ujar Kiagus seusai konferensi pers tentang ”Mewujudkan Pilkada dan Pemilu Bebas Politik Uang” di Jakarta, Selasa (18/12/2018).
Pernyataan itu tidak terlepas dari temuan PPATK pada Pilkada Serentak 2018. Sejak tahun 2017 sampai kuartal III tahun 2018, PPATK mengidentifikasi 143 laporan transaksi keuangan mencurigakan senilai Rp 47,2 miliar yang melibatkan penyelenggara pemilu, pasangan calon, keluarga pasangan calon, dan partai politik.
Transaksi mencurigakan itu meliputi TPPU, pelanggaran batas maksimal sumbangan, pendanaan dari hasil korupsi atau politik transaksional, penarikan tunai jelang pencoblosan, dan dana kampanye dari kredit bank.
Wakil Kepala PPATK Dian Ediana Rae menambahkan, pada dasarnya TPPU sudah bisa dilacak karena indikasi nama-nama yang terlibat kasus sudah terdata, seperti pengedar narkoba dan pengemplang pajak. Namun, lanjut Dian, modus yang paling rentan terjadi adalah politik transaksional. Modus ini terjadi ketika kontestan petahana masih memiliki kewenangan untuk mengambil kebijakan publik (politically exposed person).
”Mayoritas (dana) datang dari calon kontraktor, calon peminta izin. Itu semacam utang. Bahayanya sumbangan-sumbangan, yang seperti tidak mengikat, tetapi mengikat,” tutur Dian.
Pergeseran pola
Pola itu, menurut Dian, sangat berpotensi terjadi di Pemilu 2019. Dia juga menekankan pergeseran pola pendanaan kampanye melalui mekanisme penggalangan dana (donation crowdfunding) dengan menggunakan virtual account yang tidak terdaftar sebagai rekening khusus dana kampanye. Melalui mekanisme itu, nominal penggalangan dana tidak ada batasnya.
”Itulah sebetulnya kenapa kami harus bisa mengejar berbagai kemungkinan,” ujar Dian.
Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, mengatakan, dana kampanye memang tidak dapat hanya dilihat sekadar uang tunai, tetapi juga barang, jasa, termasuk penyaluran dana melalui virtual account.
Apabila kelak PPATK menemukan dugaan pelanggaran, Bawaslu akan meminta pertanggungjawaban peserta pemilu.
Terkait dugaan pelanggaran dana kampanye Pilkada Serentak 2018, Fritz mengemukakan, pihaknya akan mengirimkan surat kepada sentra penegakan hukum terpadu, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan bank penyedia.
”Nanti akan ditelusuri untuk ditemukan buktinya. Dari situ, nanti kami bisa lanjut ke proses pidananya,” kata Fritz. (BOW)